Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
October 15, 2012
Malah mendapat hadiah
Written By @Adimin on 15 October, 2012 | October 15, 2012
Pada suatu siang Abu Nawas berada di istana ketika Raja Harun
Ar-Rasyid sedang sibuk menerima rombongan tamu dari kerajaan sahabat. Saat itu
hanya ada dua orang pelayan. Abu Nawas diminta untuk membantu kedua pelayan
itu. Ketika Abu Nawas sedang membawa semangkuk gulai yang masih panas
untuk hidangan siang, tiba-tiba kakinya terpeleset. Gulai yang dibawanya pun
tumpah dan sebagian mengenai muka sang raja.
Sebenarnya Raja sangat marah atas kejadian tersebut. Tetapi karena
banyak tamu, ia tahan kemarahannya.
“Maafkan, Tuan-tuan, atas kelakuan pelayan kami yang kurang ajar
tadi,” kata Raja.
Dari balik pintu tiba-tiba Abu
Nawas membaca sepotong ayat Al-Qur’an, “.... Orang-orang yang bertaqwa, yaitu
mereka yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya....”
“Ya, aku memang sedang menahan amarah,” sahut sang raja.
“Dan memaafkan atas kesalahan orang...,” Abu Nawas
meneruskan pembacaan ayat.
“Baik, aku memaafkanmu atas
kesalahanmu,” sahut Raja.
“Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan (QS Ali Imran: 133-134),” Abu Nawas mengakhiri pembacaan ayat
itu.
“Hai pelayan, kemari! Ini terimalah uang lima ratus dirham sebagai
hadiah,” kata Raja. “Lain kali, tolong kamu siram lagi mukaku dengan gulai,
biar kamu bisa menerima hadiah lebih besar lagi dariku.”
***
Salah satu ibrah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah
kemuliaan menahan amarah.
Mungkin ada sebagian orang yang menganggap, orang yang bisa
mengumbar amarah adalah orang yang kuat. Tidak, tidak demikian.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Bukanlah kuat
itu dengan mengalahkan musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah orang
yang bisa menguasai dirinya tatkala marah.” (HR Bukhari Muslim dan Imam Ahmad).
Pada suatu hari, Nabi melewati sekelompok kaum yang saling
bergulat, maka beliau bertanya, “Apakah ini?”
Mereka menjawab, “Dia pegulat yang kuat, tidaklah seorang pun yang
bergulat dengannya kecuali dia mengalahkannya.” Kemudian beliau berkata, “Aku tunjukkan kepada kalian orang yang
lebih kuat darinya, yaitu seorang yang dizhalimi namun ia menahan kemarahannya.
Ia mengalahkan orang yang menzhaliminya dan mengalahkan setan yang ada pada
dirinya serta mengalahkan setan yang ada pada saudaranya.” (HR Al-Bazzar).
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tetapi orang yang bersabar
dan memaafkan, sesungguhnya hal demikian itu termasuk keteguhan yang kuat.” (QS
As-Syura’: 43).
Jelas dari kedua hadits dan surah Al-Qur’an di atas, justru orang
yang mampu menguasai dirinya saat marah adalah orang yang kuat. Bukan orang
yang mengumbar amarah dengan berteriak-teriak, mencaci maki, dan sebagainya,
misalnya. Sebagaimana yang sering kita saksikan akhir-akhir ini, yang mungkin
saja di antara pelakunya adalah saudara kita juga, umat Islam. Di jalanan,
bahkan di televisi, yang ditonton seluruh rakyat negeri ini, juga dunia.
Tentu tidak berarti kita anti demo, karena adanya demonstrasi adalah
salah satu ciri negeri yang demokratis. Hanya saja, demo yang Islami adalah
demo yang tidak mencaci maki, karena Islam tidak pernah mengajarkan kepada
umatnya hal yang demikian. Apalagi demo yang anarkis, karena Islam tidak pernah
mengajarkan kepada penganutnya untuk merusak.
Bagi mereka yang mampu menahan amarah, Allah telah menyediakan
ganjaran. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya sedangkan
ia mampu untuk melakukannya, Allah Azza wa Jalla akan menyeru dia di hadapan
seluruh manusia pada hari Kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang
dikehendakinya.” (HR Abu Daud).
Rasulullah juga bersabda, “Janganlah marah, maka bagimu adalah
surga.” (Hadits shahih Al-Jami’).
Lebih dari itu semua, menahan amarah adalah perintah Nabi SAW. Dan
karena itu perintah Nabi, tentu kita semua, sebagai umatnya, mesti
melaksanakan.
Disebutkan dalam hadits, seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW,
“Berilah aku wasiat.”
Beliau berkata, “Janganlah marah.”
Tahap selanjutnya, setelah mampu menahan amarah, yaitu memaafkan.
Allah berfirman, “Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi
dan terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan orang
lain, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ali
Imran:134). “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199).
Sering kita saksikan di televisi beberapa ahli mengatakan bahwa
serang-menyerang antar-rezim terjadi karena dendam sejarah.
Seseorang, atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili,
atau mungkin harus diadili. Tapi dasarnya mestinya adalah upaya penegakan hukum
dan keadilan, bukan dendam. Jika dendam yang dijadikan dasar, kesalahan yang
kecil pun bisa terlihat besar. Seorang bijak mengatakan, dendam itu ibarat batu
kerikil yang meluncur di lembah yang bersalju. Makin jauh, akan makin membesar. Seseorang, atau bahkan rezim, kalau bersalah memang boleh diadili,
atau mungkin harus diadili. Tapi, bukankah memaafkan itu lebih mulia?
Dalam konteks negeri ini, bisakah kita menutup semua lembaran
sejarah kelabu masa lalu? Bisakah kita cukup menjadikannya sebagai pelajaran?
Demi membangun Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang penuh
kedamaian, bisakah kita menjadikan langkah kita sekarang ini sebagai langkah
awal yang terbebas dari segala macam konflik, atau setidaknya meminimalisir?
Kalau kita ikhlas, mau, dan mampu mengendalikan sifat marah, jawabannya jelas:
Bisa!
Mengatasi Kemarahan
Untuk mengatasi kemarahan, Islam memberikan petunjuk.
Pertama, berlindung kepada Allah dari godaan setan. Karena, di
samping nafsu yang ada dalam diri kita, peran setan juga sangat dominan dalam
membangkitkan amarah. Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui satu
kalimat yang, seandainya diucapkan, niscaya akan hilanglah gejolak yang ada
pada diri:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (HR
Bukhari-Muslim).
Kedua, diam, tidak berbicara. “Apabila salah seorang di antara
kalian marah, hendaklah diam.” (HR Imam Ahmad).
Ketiga, tinggalkan tempat, berdirilah, lalu pergi.
Keempat, bersikap tenang, duduk apabila sedang berdiri, atau tidur
telentang bilamana sedang duduk. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah
seorang di antara kalian marah sedangkan dia berdiri, hendaklah dia duduk, agar
kemarahannya hilang. Apabila masih belum mereda, hendaklah berbaring.” (HR Abu
Daud).
Kelima, berwudhu. Nabi bersabda, “Marah itu adalah bara api, maka
padamkanlah dia dengan berwudhu’.” (HR. Al-Baihaqi).
Keenam, shalat. "Penghapus setiap perselisihan adalah dua
raka’at (shalat sunnah).” (HR Silsilah Hadits Shahihah).
Marah yang Terpuji
Pada umumnya marah memang tercela, tapi ada pula yang terpuji.
Misalnya marah karena ajaran-ajaran Allah dihinakan.
Kasus Ahmadiyah, misalnya. Dalam aqidah Islam, jelas, tidak ada
nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Pengakuan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah nabi dapat dikategorikan sebagai penistaan terhadap ajaran Islam.
posted by Adimin
Label:
HUMOR
October 15, 2012
posted by Adimin
Korupsi karena gaji . . ???
Baru baru ini wakapolri Nanan Sukarna menyatakan bahwa kepolisian sulit untuk keluar dari kasus kasus korupsi dikarenakan masalah gaji yang kurang mencukupi. Bahkan beliau secara pribadi menyatakan bahwa dirinya juga tidak cukup kalau hanya mengandalkan gaji saja.
Naudzubillah... mungkin itu yang bisa kita ucapkan jika mencermati pernyataan beliau, mengingat beliau adalah seorang wakapolri yang sejatinya bisa dikatakan mewakili institusi polri. Nanan adalah polisi berpangkat Komisaris Jenderal Polisi atau setingkat dengan Letnan Jenderal yang kita tahu berapa kira kira rata-rata gaji anggota Polisi berpangkat jenderal. Jika kita runut masalah pernyataan beliau, sungguh akan mempunyai dampak dahsyat terhadap para polisi yang notabene adalah anak buah beliau yang tentunya mempunyai gaji jauh lebih rendah dibanding seorang nanan, dimana seorang jenderal polisi tidak cukup hanya dengan mengandalkan gaji saja. Konsekuensinya adalah bagaimana dengan polisi yang berpangkat dibawah wakapolri...???, tentunya akan lebih merasa kekurangan . . . . . !!!!. Kita khawatir justru pernyataan wakapolri ini menjadi pembenaran untuk melakukan korupsi.
Pernyataan beliau bahwa korupsi sangat terkait dengan besar kecilnya gaji sangatlah memprihatinkan, karena sebenarnya menjauhi tindak pidana korupsi bukan
semata karena gaji, melainkan mentalitas. Terlalu banyak orang orang yang bergaji pas pasan tetapi sudah merasa cukup sehingga terhindar dari penyakit MENGHALALKAN SEGALA CARA termasuk korupsi.
"Gaji tinggi juga tidak ada jaminan orang terhindar dari korupsi. Yang utama adalah mentalitas untuk menghindari korupsi itu sendiri.
"Gaji tinggi juga tidak ada jaminan orang terhindar dari korupsi. Yang utama adalah mentalitas untuk menghindari korupsi itu sendiri.
Mudah mudahan mentalitas korupsi ini tidak merupakan penyakit masif yang sudah menyebar diseluruh lapisan birokrasi kita..... Semoga
posted by Adimin