Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
April 16, 2015
posted by @Adimin
Pemblokiran Media Islam dan Jebakan Huntington [1]
Written By Sjam Deddy on 16 April, 2015 | April 16, 2015
Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA akhir Maret 2015,
umat Islam Indonesia dihebohkan oleh peristiwa pemblokiran sejumlah
media on-line Islam oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi
(Kemkominfo) atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT).
Setidaknya ada 19 situs Islam yang diblokir, seperti panjimas.com, muslimdaily.net, kiblat.net, dakwahmedia.net, hidayatullah.com, era muslim.com, dan lain-lain. Seperti dilaporkan oleh www.harianterbit.com,
Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang juga
Direktur Deradikalisasi Irfan Idris, menjelaskan, ada empat kriteria
situs dinilai mengajarkan radikalisme.
“Ajakan propaganda mengafirkan pihak lain, tafkiri. Presiden dikafirkan, pemerintah dikafirkan, pemerintah thogut,
pemerintah syirik,” katanya di Jakarta, Selasa (31/3/2015). Hal ini
dikatakannya kepada perwakilan tujuh situs Islam yang mengajukan protes
karena diblokir oleh Kementerian Kominfo Kemudian mendukung dan mengajak
bergabung dengan ISIS atau Negara Islam. “Memaknai jihad dengan
sempit,” katanya.
Selain itu ingin melakukan perubahan
dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Ia
mengatakan, pihaknya memiliki tim kecil untuk menganalisis situs-situs
yang dinilai radikal.
Terkait dengan 19 situs yang diblokir oleh
Kemenkominfo atas permintaan BNPT, menurut dia, pihaknya mempunyai
bukti-bukti materiil terkait situs-situs yang dinilai radikal. “Ada
buktinya, saya ada gambarannya,” katanya.
Ketika catatan ini dibuat, berbagai pihak
sudah memberikan pandangannya tentang kasus tersebut. Catatan ini tidak
akan memasuki wilayah itu. Biarlah BNPT dan Kemkominfo
mempertanggungjawabkan tindakannya, di dunia dan akhirat. Secara
ringkas, dalam pandangan saya, jika situs-situs Islam itu melakukan
tindakan yang salah – menurut ajaran Islam – mereka wajib diingatkan,
diberitahukan kesalahannya, sebelum dijatuhi sanksi. Dengan
pemberitahuan itu, maka situs-situs Islam itu bisa memperbaiki diri, dan
meningkatkan kualitasnya, sehingga semakin baik dan bermanfaat.
Jika situs-situs itu menyampaikan
kebenaran Islam sebagai pelaksanaan kewajiban dakwah, dan kemudian
diblokir, maka yang rugi justru pihak Kemkominfo dan BNPT sendiri.
Sebab, mereka telah melakukan kezaliman dan menghalang-halangi orang
menyampaikan dakwah yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala. (QS An-Nahl:125).
Tindakan itu akan menghadapkan mereka
dengan Allah sendiri. Sementara para pengelola situs Islam itu justru
diuntungkan, karena mereka mendapatkan pahala dan terbuka peluang besar
doanya dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Karena itu, kita mengimbau, agar semua
pihak – khususnya yang muslim – segera menyelesaikan masalah ini dengan
baik, melalui mekanisme musyawarah dengan hati yang ikhlas dan menekan
perasaan dendam dan kebencian. Pada catatan kali ini, ada baiknya kita
menelaah kembali pemikiran Samuel Huntington yang berisi saran-saran
bagaimana seharusnya dunia Barat – khususnya AS – memandang dan
memperlakukan Islam.
Bagian ini pernah saya terbitkan sebagai satu artikel di Harian Republika, saat Huntington baru saja menerbitkan bukunya yang baru berjudul Who Are We? Tahun
2004. Meskipun sudah berlalu 10 tahun, tulisan itu masih sangat relevan
untuk kita telaah dan renungkan, agar kita tidak terjebak dalam
pemikiran dan skenarionya yang merugikan kita sebagai satu umat dan satu
bangsa.
****
Nama Samuel P. Huntington identik dengan wacana “Clash of civilizations”, meskipun wacana ini sudah diluncurkan oleh Bernard Lewis, melalui artikelnya berjudul “The Roots of Muslim Rage” di jurnal Atlantic Monthly, September 1990. Artikel Lewis ini merupakan persiapan untuk menentukan siapa “musuh baru” Barat pasca Perang Dingin.
Huntington kemudian mempopulerkan wacana Lewis. Pemikirannya tentang “clash of civilizations” –
khususnya antara Islam dengan Barat – masih terus menjadi perbincangan
luas. Bukan karena kualitas ilmiah wacana populer tersebut, tetapi
karena banyaknya kecocokan antara pemikiran dan saran Huntington dengan
perkembangan politik global saat ini. Khususnya, kebijakan politik Barat
(terutama AS) terhadap Islam.
Buku terkenalnya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order,
lebih ditujukan sebagai bahan nasehat bagi pengambil kebijakan politik
Barat, khususnya AS, dan bukan untuk satu kajian ilmiah dalam ilmu
sosial. Ia menulis dalam pengantar bukunya: “This book is not
intended to be a work of social science. It is instead meant to be an
interpretation of the evolution of global politics after the Cold War.
It aspires to present a framework, a paradigm, for viewing global
politics that will be meaningful to scholars and useful to
policymakers.”
Tahun 2004, Huntington kembali meluncurkan buku barunya, berjudul “Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity”
(New York: Simon&Schuster, 2004). Huntington adalah ilmuwan politik
dari Harvard University yang juga dikenal sebagai penesehat politik
kawakan Gedung Putih. Disamping pernah menduduki jabatan-jabatan
prestisius di bidang akademis, Huntington juga aktif terlibat dalam
perumusan kebijakan luar negeri AS. Tahun 1977-1978 ia bekerja di Gedung
Putih sebagai ‘Coordinator of Security Planning for the National
Security Council’.
Jika di dalam The Clash of Civilizations Huntington masih tidak terlalu tegas menyebut “Islam” sebagai alternatif musuh baru bagi Barat, maka dalam bukunya, Who Are We?
ia menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca
Perang Dingin adalah Islam – yang ia tambah dengan predikat “militan”.
Namun, dari berbagai penjelasannya, definisi “Islam militan” melebar ke
mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi
itu menjadi kabur.
Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War).
Jadi, Huntington memang menggunakan istilah ‘perang’ (war) antara AS
dengan Islam militan. Jika saat berperang dengan Uni Soviet yang
memiliki persenjataan seimbang dengan AS, masih digunakan istilah
“Perang Dingin” maka sekarang predikat “Dingin” sudah tidak ada lagi.
Penggunaan istilah “war” merupakan
refleksi kebijakan baru politik AS sebagaimana disarankan Huntington.
Saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada late spring 2003, Huntington mendukung dilakukannya “preemptive strike” terhadap kaum militan.
Nasehat Huntington memang telah dijalankan. Pada awal Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention
(intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin
ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola
“peperangan” melawan “musuh”. Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat
menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru – yang diberi nama Islam militan – AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention.
*.. (Bersambung)
posted by @Adimin
Label:
REFLEKSI,
TOPIK PILIHAN