pic

Powered by Blogger.

Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi

Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...

Search This Blog

Latest Post

Pelajaran tentang Ikhlas & Riya

Written By @Adimin on 21 March, 2013 | March 21, 2013



Dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya allah yang Maha Suci dan Maha tinggi pada hari qiyamat turun kepada para hamba untuk mengadili mereka, dan setiap umat itu berlutut. Orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang mengumpulkan (hafal) al Quran, orang yang terbunuh di jalan Allah dan orang yang berharta banyak. 

Allah berfirman: kepada Qari’: “bukankan AKU ajarkan kepadamu sesuatu yang AKU turunkan kepada utusanKU?” ia menjawab: “Ya, wahai tuhanku”. DIA berfirman: “Apakah yang kamu amalkan dalam apa yang kamu ketahui?”. Ia menjawab: “Saya selalu melaksanakannya tengah malam dan tengah hari”. Allah berfirman kepadanya: “Kamu berdusta”. Malaikatpun berkata kepadanya: “Kamu berdusta”. Allah berfirman: “Namun kamu menghendaki untuk dikatakan: “Sesungguhnya fulan itu qari’, hal itu telah diucapkan”

Orang yang berharta didatangkan, lalu Allah berfirman kepadanya: “Bukankan AKU telah memberi kelapangan kepadamu sehingga AKU tidak membiarkan kamu membutuhkan kepada seseorang?” Ia berkata: “Ya, wahai Tuhanku”. DIA berfirman “Apakah yang kamu kerjakan dalam harta yang AKU berikan kepadamu?” Ia menjawab: “Saya bersilaturahmi dan bersedekah”.Allah berfirman: “Kamu berdusta”. Malaikatpun berkata kepadanya: “Kamu berdusta”. Allah Ta’ala berfirman: “Tapi kamu ingin dikatakan: “Fulan itu dermawan, dan itu telah diucapkan”.

Orang yang terbunuh di jalan Allah didatangkan, lalu Allah berfirman kepadanya: “karena apakah kamu terbunuh?’ Ia menjawab: “Saya diperintah untuk berjuang di jalanMU, maka saya berperang hingga saya terbunuh:. Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Kamu berdusta”. Malaikatpun berkata kepadanya; “Kamu berdusta”. Allah berfirman: “Tetapi kamu berkeinginan untuk dikatakan: “Fulan itu pemberani, dan itu telah diucapkan”.
Kemudian rasulullah menepuk dua lututku seraya bersabda: “Wahai Abu Hurairah, tiga orang itulah makhluk Allah yang pertama kali dibakar oleh api neraka pada hari Qiyamat”

Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shahihnya bab Riya’ dan Sum’ah

KAJIAN :

1. Riya'
Sabda Rasulullah SAW: "Sesuatu yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya: “ Wahai Rasulullah, apakah syirik kecil itu?” Beliau bersabda: “Riya”. Allah Ta’ala akan berfirman kepada mereka pada hari dibalasnya para hamba atas amal-amal perbuatan mereka: “Pergilah kamu kepada orang2 yang kamu pameri sewaktu di dunia, maka lihatlah apakah kamu dapat memperoleh suatu kebaikan dari mereka.”
Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi SAW bersabda: Artinya: Allah Ta’ala berfirman: “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu syirik. Aku tidak membutuhkan amal yang didalamnya terkandung persekutuan kepada selain Aku. Barang siapa yang mengerjakan suatu amal perbuatan yang di dalamnya terkandung persekutuan selain Aku, maka Aku lepas daripadanya”

Riya’ adalah perbuatan buruk/tercela, riya’ dalam ibadah sama saja dengan menertawakan Allah SWT. Hakikat riya’ adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan ibadat dan perbuatan-perbuatan yg baik. Riya’ adalah syirik tersembunyi.

Waki’ menceritakan dari Sufyan Ats-Tsauri dari seseorang yang mendengar Muhahid berkata:
Artinya: Ada seseorang datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya akau bershadaqah dengan sesuatu shadaqah, kemudian dengan shadaqah itu saya mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dan saya juga ingin dikatakan orang yang baik (oleh orang lain):, kemudian turunlah ayat,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Artinya: “Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS: Al Kahfi, 18: 110)

Maksudnya hendaklah ikhlas karena Allah dalam beramal, jangan sekali-kali mengharap sesuatu selain kepada Allah yang akan menyebabkan pahala amalan tsb pupus/hilang. Sebagaimana firman Allah, 

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

artinya : “Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan 25: 23)

Mengapa Allah menghapus pahala amal karena riya’ tidak lain karena amal yang disertai riya’ itu pada dasarnya mempersekutukan sekaligus menipu Allah SWT. Orang-orang seperti inilah sebenarnya yang tertipu karena menyangka perbuatan mereka berpahala di sisi Allah SWT sebagaimana firmannya dalam Al-Quran :

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ

artinya: "Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah,tapi Allah lah yang menipu mereka.” (QS An Nisa’ 4:142)

Allah menipu mereka maksudnya Allah akan membatalkan / menghilangkan pahala amal karena riya’.

Dalam sebuah atsar diriwayatkan bahwa Umar ra melihat seorang laki-laki menundukkan tengkuknya. Umar berkata: Hai pemilik tengkuk, angkatlah tengkukmu, karena khusyu’ itu tidak di dalam tengkuk, tapi khusyu’ itu di dalam hati

Sayyidina Ali ra berkata, tanda orang riya’ itu ada 3: Malas bila sendirian, tangkas bila banyak orang, menambah amal bila dipuji dan berkurang bila dicela

2.Lawan dari Riya’ adalah Ikhlas.
Ikhlas hakekatnya adalah rahasia antara kita dengan Allah SWT. Menujukan seluruh amal Amar Ma’ruf Nahi Munkar Lillaahita’ala
Tanda orang yang ikhlas dalam beramal adalah tidak ingin amalannya dipuji oleh orang lain.

Allah SWT telah berfirman dalam Al-quran:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

artinya: "Mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama kepadaNya." (Al Bayyinah: 5)
Amal yang sedikit tapi ikhlas lebih baik daripada amal yang banyak tapi disertai riya’ / tidak ikhlas kepada Allah, sebab amal yang sedikit tetapi ikhlas itu akan dilipatgandakan oleh Allah atas kemurahanNya seperti dalam Firman Allah :

إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

artinya: ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesaar zarrah. Dan jika ada kebajikan (sekecil zarrah pun), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar di sisiNya.” (QS. An Nisa’, 4:40)

Oleh karenanya hendaklah kita selalu memulai setiap amalan dengan niat yang benar, ikhlas semata karena Allah dan mengharapkan keridhaan dan pahala hanya dari Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu (tergantung) dengan niatnya, dan seseorang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”

posted by Adimin

Belajar Mengakui Kesalahan


Abi Hurairah (semoga Allah meridoinya) berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia mempunyai amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudaranya (yang dizalimi) kemudian dibebankan padanya.(H.R. Al-Bukhari) Rasulullah Saw. mengajari kita untuk berani mengakui kesalahan.

Ini adalah tindak lanjut dari sikap takut membawa dosa kezaliman saat berjumpa dengan Allah. Kita dianjurkan untuk memiliki sikap berani mengakui kesalahan dan kemudian meminta maaf. Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw. memerintahkan, “Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat).”

Kezaliman tidak hanya dilakukan oleh seorang penguasa kepada rakyatnya atau seorang pemimpin kepada bawahannya. Setiap orang mempunyai celah untuk melakukan kezaliman kepada sesamanya.

Kezaliman bisa dilakukan oleh lidah atau tangan. Kata-kata yang menyakitkan, menistakan, memprovokasi, dan mengklaim hanya dirinya yang berjasa (dan menggap orang lain tidak punya kebaikan) adalah kezaliman. Tangan yang menyengsarakan, menghilangkan hak orang lain, serta meruskan adalah kezaliman.

Muslim sejati adalah orang yang tidak pernah menzalimi orang lain, baik dengan lidah maupun dengan tangannya sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Orang muslim (sejati) adalah orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari (gangguan) lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Manusia bukanlah malaikat. Siapa pun bisa melakukan kesalahan kepada sesamanya. Jika hal itu terjadi, sikap terbaik yang diajarkan Rasulullah Saw. adalah segera meminta maaf. Itulah yang dilakukan Abu Badzar terhadap Bilal (semoga Allah meridoi mereka) dalam kisah berikut.

Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku wahai anak perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar, benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah.”

Mendengar nasihat Rasulullah Saw. itu, Abu Dzar tersadar dari kesalahannya. Segera ia menemui Bilal. Abu Dzar kemudian meletakkan pipinya di tanah seraya mengatakan, “Aku tidak akan mengangkat pipiku dari tanah hingga kau injak pipiku ini agar engkau memaafkanku.” Namun Bilal tidak memanfaatkan momentum ini untuk membalas dendam. Bilal malah berkata, “Berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu.” Begitulah Abu Dzar dengan mudah dan berani mengakui kesalahan yang ia lakukan bukan dengan sengaja untuk menghinakan Bilal.

Sikap seperti itulah yang seharusnya ada pada diri kita saat kita berinterkasi dengan pihak lain, terutama orang-orang terdekat kita seperti suami, isteri, anak, orangtua, saudara, dan seterusnya. Orang yang tidak belajar mengakui kesalahan tidak akan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Memang, untuk belajar mengakui kesalahan, seseorang membutuhkan jenak-jenak untuk untuk melakukan perenungan. Dia harus bisa menyisihkan waktu untuk melepas berbagai kesibukan seraya merenungkan berbagai ucapan atau tindakan saat berinteraksi dengan pihak lain.

Kalau saja kita mengikuti nafsu, selalu ada pihak lain yang bisa disalahkan dalam hal apa pun. Misalnya ketika seorang anak disuruh membeli satu barang oleh ibunya dan ternyata ia pulang dengan membawa barang lain yang tidak disuruh, maka cara yang paling mudah (yang merupakan cara nafsu alias cara egois) adalah menyalahkan si anak dengan berbagai tuduhan.

“Tidak dengar, tidak perhatian. Nakal!” Mungkin kalimat itu yang akan meluncur dari mulut seorang ibu yang egois. Tidakkah kita berfikir, “Jangan-jangan, perintah saya tadi memang tidak jelas sehingga ditangkap oleh si anak secara samar atau ditangkap dengan persepsi lain.”

Pikiran serupa hendaknya diterapkan ketika orang lain merespon atau bereaksi negatif terhadap ucapan atau tindakan kita. Mungkin orang itu memang salah merespon ucapan kita. Tapi tidak mustahil juga memang kitalah yang salah. Tanpa kita sadari, mungkin kalimat yang kita ucapkan direspon sebagai kalimat yang melecehkan atau menyinggung perasaannya.

Ini adalah salah satu wujud kebenaran sabda Rasulullah Saw., “Orang mukmin itu cermin bagi saudaranya.” Bukankah cermin hanya akan memantulkan bayangan benda yang ada di hadapannya?

Dalam kondisi seperti ini, segeralah meminta maaf. Ini adalah cara yang bijak dan tepat. Katakanlah bahwa sebetulnya substansi yang kita maksud tidak terutarakan dengan tepat. Boleh jadi kita terkesan mengutarakan substansi kalimat dengan emosional atau mendikte.

Maka bukanlah pada tempatnya jika kita ngotot dengan dalih bahwa yang kita sampaikan adalah benar. Boleh jadi itu benar tapi kita seharusnya minta maaf karena menyampaikan keinginan dengan cara-cara yang tidak benar.

Al-Quran mengajarkan kepada kita, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (lurus, tepat), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)

Kata sadiida dalam ayat di atas berasal dari kata sadaad yang artinya lurus atau tepat. Bukankah kata-kata yang bagus adalah bagian dari ketakwaan? Perintah mengucapkan kata-kata yang lurus atau tepat setelah perintah takwa sungguh merupakan isyarat tentang betapa pentingnya dan hebatnya peran kata-kata dalam kehidupan serang muslim.

Bahkan ayat selanjutnya menegaskan bahwa dengan takwa serta kata-kata yang lurus dan tepat itu segala pekerjaan dan amal kita akan menjadi baik dan beres.

Sedemikian pentingnya urusan kata-kata ini sehingga kita dianjutkan untuk menggunakan pikiran jernih saat mendapatkan masukan, koreksi, ataupun nasihat dan bukannya sibuk mencari pembelaan. Pakailah rumus “Jangan-jangan dia memang benar” atau “Barangkali nasihat dia ada gunanya.”

Mencari-cari alasan bela diri untuk sekedar menampakkan bahwa diri tidak bersalah tidaklah menguntungkan sama sekali. Cara demikian tidaklah mengubah hakikat sesuatu. Contohlah cara yang dipraktikan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dengan tidak sungkan dan berani minta maaf.

Wallahu a’lam. 

Note : Jangan merasa terhina atau direndahkan jika dinasihati atau dikritik.

sumber : islamed


posted by Adimin

Pesan

More on this category »

Popular Post

 
Support : Creating Web | PKS Padang | Mas Temp
Copyright © 2011. PKS KOTA PADANG - All Rights Reserved
Template Created by PKS Padang Published by Mas Temp
Proudly powered by Blogger