posted by @Adimin
Memberantas Hoax Dimulai dari Elit Politik
Written By NeoBee on 13 October, 2018 | October 13, 2018
Para elit politik dan tokoh bangsa negeri ini bersama-sama bersinergi untuk memberantas hoax dengan memberi keteladanan
AKHIR zaman ditandai oleh menyebarnya
banyak kebohongan, kedustaan atau hoax.
Sabda nabi:
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ
“Akan muncul di akhir zaman para Dajjal, Pembohong yang
mendatangkan kepada kalian hadis-hadis yang kalian sendiri tidak pernah
mendengarnya, demikian pula bapak-bapak kalian. Jauhkanlah diri kalian dari
mereka dan upayakan agar mereka menjauhi kalian. Jangan sampai mereka
menyesatkan kalian dan menggelincirkan kalian ke dalam fitnah.” (HR.
Muslim)
Dalam hadits tersebut, disebut kata “dajjāl” dan “kadzdzāb”, yang berarti
banyak berdusta, Ini menunjukkan betapa kebohongan sudah begitu massif. Sebelum
dajjal asli datang, memang terdapat tanda-tanda jelas yang mengiringinya:
banyak tipuan, orang jujur didustakan, pembohong dibenarkan, orang amanah
dianggap khianat dan yang khianat dianggap amanah. (HR. Ahmad)
Dalam kondisi yang penuh hoax dan ketidakjelasan tersebut, muncullah
orang yang disebut “Ruwaibidhah”
yaitu orang yang pandir serta tidak memiliki kualifikasi keahlian tapi
berbicara banyak hal yang tak dikuasinya. Akibatnya, banyak sekali orang yang
disesatkan akibat ulahnya.
Di era digital seperti saat ini, khususnya dalam negeri,
terlebih sejak kran kebebasan reformasi terbuka lebar, hoax laksana air bah yang
menghantam jagat media. Perbedaan haluan politik atau apapun bisa melahirkan hoax–hoax yang destruktif.
Bayangkan! Misalnya, adanya bencana –seperti di Lombok
dan Palu– bukan malah dijadikan evaluasi bersama untuk berbenah dan membantu
saudara, malah ada yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi dengan
menyebar berita hoax
yang meresahkan masyarakat.
Persoalan ini mengimbas hampir pada segenap lapisan
masyarakat. Dalam ranah sosial terjadi krisis tabayyun. Budaya asal share yang fasilitasnya
tersedia di berbadai aplikasi media sosial menyeruak begitu saja tanpa ada
klarifikasi. Yang penting diri, kelompok atau dukungannya senang, maka masa
bodoh dengan tabayyun.
Terlebih, dalam dunia perpolitikan nasional, khususnya
menjelang Pilpres, masing-masing dari kubu –bisa saja—terutama pendukung
fanatic, mempro duksi hoax
demi kepentingan pihak yang didukung. Ini bukan berarti semua politisi itu suka
menyebar hoax,
namun lebih kepada fakta di lapangan yang menunjukkan seringkali perbedaan
pendapat atau pandangan dijustifikasi dengan hoax.
Kasus baru-baru ini yang mengguncang media terkait hoax aktivis bernisial RS,
adalah bukti bahwa hoax
begitu subur, terutama bila menyangkut masalah politik. Dari sini, penulis
berpikir bahwa jika mau memberantas hoax,
maka –disamping peran aktivitas individu– harus dimulaik dari para elit atau
tokoh-tokoh politik. Jika mereka berada di garda depan dalam memberi
keteladanan untuk tidak menyebar hoax
dengan menyiapkan berbagai sarana dan prasarananya, maka masyarakat bisa
meneladaninya.
Persoalan hoax
ini sejatinya harus ditangani dan ditangkal secara bersama-sama. Menarik sekali
apa yang ditulis oleh Lukman Hakiem dalam buku “Merawat Indonesia: Belajar dari Tokoh Peristiwa”
(2017: 101, 102) Dulu, di tahun 1955, pimpinan PKI dan Masyumi bersama-sama
menanggulangi berita bohong (hoax)
yang berujung bentrok fisik.
Alkisah, pada tahun itu (1955) di Jawa Barat, ada orang
Masyumi yang meninggal dalam keadaan yang mencurigakan. Kabar burung,
desas-desus di masyarakat dengan cepat menyebar luas bahwa kematian orang
Masyumi itu dikaitkan dengan oknum PKI. Ironisnya, berita yang belum tentu
benar itu diekspos sedemikian oleh media yang membuat suasana semakin panas.
Menanggapi tuduhan itu, PKI langsung mengirim utusan
kepada Pimpinan Masyumi Jawa Barat dan Bandung (Rusjad Nurdin dan Suriatmadja).
Kemudian kedua partai ini melakukan penyelidikan bersama-sama. Ternyata,
menurut petunjuk pemeriksaan awal, korban meninggal itu bukan akibat pembunuhan
tapi mati normal.
Setelah diadakan tabayyun
dan klarifikasi secara baik oleh para pemimpin parta politik, masalah
desas-desus yang dipropagandakan media itu akhirnya bisa teratasi. Dan konflik
antara pengikut keduanya pun bisa dihindarkan dengan baik.
Dari contoh sejarah itu, penulis membayangkan, jika para
elit politik dan tokoh bangsa negeri ini bersama-sama bersinergi untuk memberantas
hoax dengan
memberi keteladanan yang baik berawal dari diri mereka sendiri, kemudian tak
turut menyebarkan berita hoax
demi keuntungan pribadi, lalu disediakan sarana dan prasarana anti hoax yang disosialisasikan
kepada masyarakat secara berkesinambungan, niscaya hoax tak menggurita di negeri ini. Minimal,
masing-masing masyarakat punya kesadaran dan filter terhadap merebaknya
berita-berita hoax
(bohong).
Ada pribahasa menarik terkait kebohongan yang diangkat
oleh Ahmad Mahmud Faraj dalam “Belajar Bersahabat: Petunjuk Nabi Agar Menjadi
Pribadi Menarik dan Menyenangkan” (2013:139) yang bisa direnungkan, “Orang yang
senang menyusu pada kebohongan, dia akan sulit menyapih dirinya.”*/Mahmud Budi Setiawan
posted by @Adimin
Related Articles
- Lima Langkah Memperkuat Ikatan Ukhuwah Islamiyah
- Presiden PKS Intruksikan Kader Optimalkan Atribut Partai untuk Kampanye
- Koordinator Relawan PKS: Terima Kasih Masyarakat Palu Barat
- PKS Sudah Terjunkan Lebih Dari Seratus Relawan ke Sulawesi Tengah
- Delapan Arahan Presiden PKS Sambut Tahun Politik 2019
- PKS Sumut Optimistis Menangkan Pemilu
Label:
SLIDER,
TOPIK PILIHAN
Post a Comment