Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
May 07, 2015
posted by @Adimin
Santri Cerdik dan Seekor Sapi
Written By @Adimin on 07 May, 2015 | May 07, 2015
Seorang santri baru saja lulus aliyah pesantren dengan nilai jayyid
jiddan (lumayan pintar). Dia pun berencana mengadu nasib di Jakarta.
Saat tiba di Stasiun Pasar Senen, dia melihat kerumunan orang. Rupanya sedang ada kecelakaan. Di Jakarta, kecelakaan biasanya memang menjadi tontonan yang menarik, maka dia pun memutuskan untuk ikut menonton.
Namun teryata kerumunan itu terlalu berjubel sehingga ia tidak bisa melihat korban dengan jelas, apalagi postur tubuhnya yang memang kecil. Jadi, jangankan mendekat, untuk melihat korban saja sulit. Berhubung karena merupakan santri berotak cemerlang, maka dia tidak kurang akal dan langsung berteriak-teriak sambil pura-pura panik.
"Saya keluarganya.. Saya keluarganya.. Minggir.. Tolong minggir !" katanya sambil mengacungkan jari dan mendesak maju menerobos kerumunan orang-orang tersebut.
Orang-orang pun memandanginya, dan ternyata si santri memang berhasil. Mereka langsung memberi kesempatan kepada santri itu untuk menghampiri korban kecelakaan. Santri itu pun langsung mendekati korban kecelakaan. Dan, betapa terkejutnya ketia dia melihat dengan jelas korban kecelakaan yang diakuinya sebagai keluarganya itu ternyata adalah seekor SAPI . . . . .!
Saat tiba di Stasiun Pasar Senen, dia melihat kerumunan orang. Rupanya sedang ada kecelakaan. Di Jakarta, kecelakaan biasanya memang menjadi tontonan yang menarik, maka dia pun memutuskan untuk ikut menonton.
Namun teryata kerumunan itu terlalu berjubel sehingga ia tidak bisa melihat korban dengan jelas, apalagi postur tubuhnya yang memang kecil. Jadi, jangankan mendekat, untuk melihat korban saja sulit. Berhubung karena merupakan santri berotak cemerlang, maka dia tidak kurang akal dan langsung berteriak-teriak sambil pura-pura panik.
"Saya keluarganya.. Saya keluarganya.. Minggir.. Tolong minggir !" katanya sambil mengacungkan jari dan mendesak maju menerobos kerumunan orang-orang tersebut.
Orang-orang pun memandanginya, dan ternyata si santri memang berhasil. Mereka langsung memberi kesempatan kepada santri itu untuk menghampiri korban kecelakaan. Santri itu pun langsung mendekati korban kecelakaan. Dan, betapa terkejutnya ketia dia melihat dengan jelas korban kecelakaan yang diakuinya sebagai keluarganya itu ternyata adalah seekor SAPI . . . . .!
posted by @Adimin
Label:
HUMOR,
TOPIK PILIHAN
May 07, 2015
Ilmu bermanfat adalah karomah. Para Imam ini memiliki ilmu yang bermanfaat dikarenakan, pertama, anugerah Allah dan kedua mereka menuliskan ilmu-ilmu yang telah mereka raih
posted by @Adimin
Pentingnya Jihad Bil Qalam
Ilmu bermanfat adalah karomah. Para Imam ini memiliki ilmu yang bermanfaat dikarenakan, pertama, anugerah Allah dan kedua mereka menuliskan ilmu-ilmu yang telah mereka raih
SALAH satu tugas dan tanggungjawab setiap
muslim adalah berdakwah. Dakwah artinya mengajak, menyeru dan menunjukkan jalan
kebenaran. Dakwah bukan tugas Kiai, Ustadz, Dai, Mubalig, dan penceramah saja.
Dakwah adalah tugas bagi semua orang sesuai kemampuannya. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassallam bersabda; “Siapa
yang menunjukkan jalan hidayah ia mendapat pahala seperti pahala orang yang
mengikuti seruan dakwahnya, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.”
(HR. Ibnu Majah)
Dakwah tidak sebatas pada kemampuan mengolah kata, lalu
disampaikan secara lisan kepada khalayak. Beragam metode bisa kita tempuh untuk
berdakwah. Dakwah lewat tulisan salah satunya. Dakwah lewat tulisan jauh lebih
efektif dan mampu menjangkau sasaran secara luas, menyebar hingga pelosok
dunia. Menulis akan membuat kita mampu mengemas apa yang sudah kita dengar dan
ketahui dari kebaikan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri
sekaligus bagi orang lain. Keengganan mencatat setiap membaca, menyimak
khutbah, kuliah, dan ceramah, akan membuat hikmah-hikmah yang kita sudah
dapatkan, menguap begitu saja. Padahal, Allah telah mengajarkan penggunaan pena
kepada manusia yang memiliki sifat lupa ini.
Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wassallam, beliau selalu berupaya menyerdaskan umat lewat baca-tulis.
Dalam suatu peristiwa usai perang Badar, Nabi memberikan tawaran kebebasan
kepada sebagian para tawanan dengan syarat mengajarkan baca-tulis kepada para
sahabat dan anak-anaknya. Baca-tulis sebagai syarat kebebasan merupakan
keputusan langka bahkan termasuk pertama kali yang pernah ada.
Hasilnya? Para sahabat menjadi “gila” menulis. Mereka
merasa bersalah jika tidak menulis wahyu atau hadis yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad. Bangsa Arab yang mengalami kemunduran di berbagai bidang kehidupan,
pelan namun pasti, beranjak menjadi bangsa yang maju dan memiliki peradaban
mulia.
Kalau tidak karena sikap Nabi yang tidak pernah memberi
motivasi menulis dan membaca kepada para sahabat, tentu kita tidak akan pernah
tahu seperti apa ayat dan surat dalam Al-Quran, karena tidak ada yang
menuliskanya. Kalau bukan karena usaha Nabi untuk membuat sahabatnya gila
menulis tentu kita akan buta tentang hadis-hadis yang berisi ajaran dan pola
hidup Nabi Muhammd Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Dakwah dengan pena bagian dari jihad. Inilah yang
disebut dengan Jihad bil
qalam yang artinya berjuang dengan pena, berjuang mengusir dan
membasmi kebodohan dengan tinta.
Seorang ulama pernah berujar, “Apakah seseorang mengira
bahwa dengan sibuk mengumpulkan harta di siang hari dan melakukan hubungan
intim di malam hari, ia akan menjadi golongan ahli fiqh? Tidak mungkin. Demi
Allah tidak mungkin, hingga ia menjadikan buku dan tinta sebagai kawannya dan
sikap wara`, selalu mencari ilmu di sepanjang hari, bersabar dalam suka dan
duka, dan bersabar dalam menanti cucuran rahmat.”
Pernah dikisahkan, ada seorang ulama yang ketika dalam
detik-detik kemangkatannya meminta sesuatu kepada muridnya. Permintaannya di
luar dugaan si murid. Sang guru memintanya untuk mengambilkan pena untuk
mencatat suatu ilmu. Padahal ia dalam kondisi sakaratul maut.
Suatu kali, guru saya Habib Shalih bin Ahmad Alaydrus
pernah menyampaikan suatu pertanyaan, “Apa karomah
para Imam Empat Mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Ahmad
bin Hanbal)?” Kami, santri di Pesantren Daruttauhid Malang, diam seribu bahasa.
Dalam alam pikiran kami, karomah
adalah hal-hal luar biasa yang terjadi di luar nalar manusia. Seperti, bisa
berjalan di atas air, berpindah dari satu tempat ke tempat berikutnya dalam waktu
singkat, atau merubah air menjadi sesuatu yang lain.
Setelah tahu tidak ada yang bisa menjawab, Habib Shalih
yang merupakan Alumni Pesantren milik Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki-Makkah
ini, mengatakan, “Karomah
mereka adalah ilmu mereka yang bermanfaat. Mereka sudah wafat ratusan tahun
silam namun sampai detik ini, jutaan umat Islam masih mengikuti ajaran dan
mengamalkan ilmu yang mereka sampaikan. Inilah karomah terbesar,” kata-kata beliau masih
terngiang kuat dalam pikiran saya sampai detik ini.
Ilmu bermanfat adalah karomah. Para Imam ini memiliki ilmu yang
bermanfaat dikarenakan, pertama, anugerah Allah dan kedua mereka menuliskan
ilmu-ilmu yang telah mereka raih. Semua imam tersebut memiliki karangan
sehingga kita mudah melacak, mempelajari, dan mengamalkannya. Imam Abu Hanifah
dengan karya Kitabul
Fiqhul Akbar-nya, Imam Malik bin Anas dengan Kitab Muwattho`-nya,
Imam Syafi`i dengan Kitab
Ar-Risalah dan Al-Umm-nya,
dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan Musnad-nya. Seandainya mereka tidak menulis
dari mana kita akan bisa memelajari ilmu mereka? Semuanya meninggalkan warisan
yang tak ternilai. Meski pun tubuh telah terbalut kafan dan terkubur dalam
timbunan tanah beratus-ratus tahun lamanya, namun karya tulisnya terkenang
sepanjang masa.
Jihad bil qalam harus menjadi kebiasaan dan tradisi
kita. Dunia selalu tergoncang dengan pena sebagai karya yang abadi. Niatkan
saat hendak menulis untuk ibadah dakwah agar tiap huruf yang tersusun bernilai
pahala di sisi Allah Subhnahahu Wata’ala. Milikilah prinsip, “Menulis apa yang
disampaikan dan menyampaikan apa yang ditulis.”
Wallaahu A`lam Bis Showaab.*
Oleh: Ali
Akbar bin Aqil
posted by @Adimin
Label:
TOPIK PILIHAN
May 07, 2015
Mendengar, Resep Menguatkan Rumah Tangga [2]
Karena berbeda itulah, semestinya berupaya untuk saling memahami
ALANGKAH indahnya, jika
kita pun bersikap layaknya Rasulullah Saw dan Khadijah ra. Bukankah
rentang waktu pernikahan mereka hingga kerasulan telah menjejak waktu 15
tahun? Namun, jika melihat apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam saat mengadu pada istrinya dan apa yang istrinya
lakukan, maka kita bisa mengetahui indahnya komunikasi mereka selama 15
tahun.
Indahnya Bicara
Kitapun juga pasti ingin mendapatkan
pasangan yang bersedia menjadi teman “curhat” yang mau menyediakan
perhatian dan hatinya. Mengapa pasangan yang mau diajak bicara ini
penting? Karena, yang tahu persis problem-problem yang terjadi dalam
rumah tangga adalah pasangan itu sendiri. Sehingga yang paling tepat
untuk melakukan evaluasi plus menyepakati solusi tentu adalah pasangan
sendiri. Bukan orang lain yang tidak mengetahui secara pasti masalah
yang sesungguhnya dan pastinya bilapun menjadi bagian dari solusi, maka
pelaku utama tetap kita sendiri.
Pasangan yang saling terbuka membicarakan
keinginan dan kekhawatiran mereka, biasanya akan tumbuh menjadi pasangan
yang saling mendukung. Sehingga mereka dapat tumbuh bersama termasuk
melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka berdua dan mengantisipasi
hal buruk yang mungkin terjadi.
Mulailah Bicara
Namun demikian, untu jadi pasangan yang
tumbuh bersama, semuanya justru diawali oleh perbedaan. Dari mulai beda
fisik, beda kebiasaan, bahkan bisa jadi beda pemahaman keislaman. Inilah
yang luar biasa bila memperhatikan firman Alah Subhanahu Wata’ala dalam
surat Ar-Ruum [30]: 21, “…supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang.”
Bagaimana mungkin jadi tumbuh rasa kasih
sayang kalau begitu berbeda? Karena berbeda itulah, semestinya berupaya
untuk saling memahami.
Memahami perbedaan inilah yang akan
membuat kita memahami bahwa waktu bicara dengan suami atau waktu bicara
dengan istri sangat berbeda. Bicara dengan suami butuh pengertian bahwa
mereka butuh waktu untuk dirinya lebih dahulu dan butuh verbalisasi yang
jelas. Sehingga istri memang tidak dianjurkan merajuk atau
bertele-tele. Sedangkan bicara dengan istri pasti butuh kesabaran untuk
membujuk dan mendengarkannya bicara.
Rasa dan upaya untuk bisa mencapai paham
inilah yang akan membuahkan kasih sayang. Bila langsung paham tanpa
belajar dan mengelola perasaan maka tentu tidak akan ada
pengalaman-pengalaman indah yang dapat dikenang. Tidak ada canda atau
tangis yang menguatkan perasaan memiliki. Juga tidak ada hikmah yang
dapat diambil bersama dan tidak ada saat-saat manis setelah berselisih
paham dan akhirnya berbaikan.
Akhirnya, dengan berbekal iman dan kasih
sayang, semoga kita termasuk orang yang diridhai Allah dan Rasul-Nya
karena berjuang mengikuti sunnah. Sebagaimana Rasulullah menyampaikan
berita gembira untuk Khadijah ra, “Aku diperintahkan menyampaikan berita
gembira kepada Khadijah berupa rumah dari qashab (mutiara) yang
didalamnya tidak ada teriakan keras dan kelelahan
Kartika Ummu Arina
posted by @Adimin
Label:
Keluarga,
TOPIK PILIHAN