Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
December 19, 2013
Siapa masih punya Malu, tanda Dia masih Beriman !
Written By Sjam Deddy on 19 December, 2013 | December 19, 2013
SATU di
antara sebab utama terjadinya problem bahkan konflik di muka bumi ini
adalah karena tidak adanya rasa malu. Nihilnya rasa malu, menjadikan
manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa dan lebih jahat
dari binatang buas lainnya.
Tetapi
tetap saja, rasa malu dianggap sebagai hal biasa. Sudah tidak banyak
lagi yang menyadari bahwa rasa malu sejatinya sangat menentukan segala
sesuatu, termasuk nasib suatu bangsa dan negara.
Seperti
apa yang belakangan ini marak terjadi, korupsi, ketidakadilan,
perselingkuhan, perampokan dan pembunuhan dan berbagai macam tindak
kemaksiatan, termasuk yang kini lagi populer di ibu kota negara dengan
istilah ‘cabe-cabean’, semua berawal dari tidak adanya rasa malu.
Malu
ini adalah satu bentuk akhlak yang paling penting dari setiap Muslim.
Akhlak yang sangat berpenaruh pada individu, keluarga, dan masyarakat.
Namun sayang, akhlak ini seakan-akan sudah asing dalam kehidupan.
Kini,
banyak berita di media yang isinya saling salah-menyalahkan, saling
berlomba untuk diakui yang terhebat, terdepan dan terpercaya. Bahkan ada
yang pamer aurat, cipika-cipiki dengan lawan jenis yang tidak halal.
Arti Malu
Dalam buku Akhlaq al-Mu’min
yang ditulis oleh Amru Muhammad Khalid, malu diartikan sebagai
terkendalinya jiwa. Yakni, ketidakmampuan seorang Muslim melakukan
perbuatan-perbuatan tercela atau sesuatu yang buruk. Dengan kata lain,
Muslim yang pemalu adalah Muslim yang tidak bisa melihat dirinya hina di
hadapan Allah Ta’ala, di hadapan manusia, atau di hadapan dirinya
sendiri.
Dengan
demikian, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang mulia. Ia memuliakan
dirinya di hadapan Allah, di hadapan manusia, dan di hadapan dirinya
sendiri. Berarti, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang benar-benar kuat
keimanannya, sehingga ia tidak melakukan kehinaan meski terhadap
dirinya sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, apalagi kepada Allah
Ta’ala.
Kata haya’ yang artinya malu berasal dari kata ‘hayah’
yang artinya ‘Kehidupan.’ Karena itu kalau kita berkata, “Orang itu
malu,” berarti orang itu memiliki denyut kehidupan yang kuat, sehingga
ia benar-benar menjaga diri agar tidak terperosok dalam kehinaan.
Jadi,
tidak salah jika ada ungkapan seperti ini, “Manusia yang paling
sempurna hidupnya adalah manusia yang paling sempurna rasa malunya.”
Malu bukan Minder
Namun
demikian, masih banyak orang yang salah paham. Malu kadangkala dianggap
sebagai sifat rendah diri alias minder. Padahal, keduanya sangatlah
jauh berbeda. Menurut satu pendapat, minder diartikan sebagai
kebingungan yang muncul pada diri manusia sebagai akibat dari situasi
tertentu.
Lebih
dari itu, minder tidak berasal dari keimanan yang kuat. Ia justru lahir
dari sifat pengecut dan dari sifat takut. Karena pribadi yang minder
adalah pribadi yang lemah, yang tidak mengetahui nilai dirinya.
Sedangkan
malu, tidak bersumber dari sifat buruk seperti pengecut dan penakut.
Malu bersumber dari keimanan yang kuat, sehingga Muslim yang pemalu
adalah Muslim yang menjauhi segala bentuk kehinaan.
Bagian dari Iman
Rasulullah bersabda, “Iman mempunyai enam puluh lebih cabang. Dan malu adalah salah satu cabangnya.” (HR. Bukhari).
Mari
kita kaji secara logis, mengapa dari enam puluh cabang iman malu yang
beliau sampaikan? Berarti, malu adalah pengantar terbaik seorang Muslim
sampai pada 59 cabang iman lainnya. Mengapa?
Dengan
malu, seorang Muslim tidak akan berzina, menampakkan auratnya kepada
semua orang, mencuri apalagi korupsi. Bahkan dengan malu seorang Muslim
tidak akan menghina atau membicarakan aib saudaranya. Jadi, malu bisa
mencegah seorang Muslim dari berbuat jahat.
Kemudian, secara naqli, Rasulullah menjelaskan pada hadits yang lainnya. “Malu seluruhnya baik.” (HR. Muslim). Kemudian pada hadits lainnya lagi, “Malu selalu mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari).
Dengan
demikian, maka malu adalah out put keimanan. Siapa yang keimanannya
baik maka rasa malunya akan sempurna. Atau, siapa yang malunya kuat,
maka imannya sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah, “Malu dan iman saling bertaut. Jika salah satunya diangkat, yang lainnya juga terangkat.” (HR. Hakim).
Jadi,
tidak salah jika ada ungkapan, “Milik siapa kebaikan, iman dan akhlak?”
Semuanya adalah milik Muslim yang memelihara rasa malu.
Tidakkah Kita Malu?
Suatu
ketika datang seorang lelaki kepada Ibrahim ibn Adham dan berkata,
“Wahai Imam, aku ingin bertaubat dan meninggalkan dosa. Tetapi,
tiba-tiba aku kembali berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa
melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allah.”
Ibrahim ibn Adham pun menjawab, “Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di bumi-Nya.”
Orang
itu pun bertanya, “Lalu di mana aku bisa bermaksiat, sementara seluruh
bumi ini adalah milik Allah?” Ibrahim ibn Adham pun menjawab, “Tidakkah
engkau malu seluruh bumi ini milik Allah tetapi engkau masih bermaksiat
di atasnya?”
“Jika
engkau ingin bermaksiat, jangan memakan rizki dari-Nya. Orang itu pun
bertanya, “Bagaimana aku bisa hidup?” Ibrahim bin Adham pun berkata,
“Tidakkah engkau malu memakan rizki dari-Nya, sementara engkau bermaksia
kepada-Nya?” “Tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya, sementara
Allah senantiasa bersamamu dan dekat denganmu?”
Lalu,
Ibrhamin ibn Adham melanjutkan, “Jika engkau tetap ingin bermaksiat,
maka apabila malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu,
katakan padanya, ‘Tunggu sampai aku bertaubat!’”
Orang
itu menjawab, “Adakah yang bisa melakukan itu?” Ibrahim berkata,
“Tidakkah engkau malu malaikat maut datang kepadamu dan mengambil ruhmu
sementara engkau dalam kondisi bermaksiat?”
Bercermin
dari kisah hikmah ini, tentu kita tidak punya ruang sesenti pun untuk
berbuat hina, kecuali Allah mengetahui. Sementara, setiap hari kita
memakan rizki dari-Nya, hidup di bumi-Nya dan menikmati seluruh
anugerah-Nya. Lantas, masihkah kita tidak malu kepada-Nya dengan tetap
bangga di atas salah dan dosa-dosa yang setiap jiwa pasti pernah
melakukannya?
Sekiranya
penduduk negeri ini benar-benar beriman, tentu mereka akan malu
bermaksiat kepada Allah. Dan, sekiranya penduduk negeri ini benar-benar
serius memelihara rasa malunya, tentu tidak akan terjadi segala bentuk
kerusakan moral, kerusuhan sosial, atau pun kehidupan bebas tanpa aturan.,
Dan seandainya rasa malu itu masih ada pada para pemimpin negeri ini, tentunya negeri ini akan terbebas dengan penyakit bangsa yang amat memalukan yaitu KORUPSI.....
posted by @Adimin
Label:
MUHASABAH,
OASE,
TOPIK PILIHAN