Masyumi
memang mempunyai pendirian yang tegas. Ketika Soekarno membentuk
Kabinet Gotong Royong, merangkul PKI dan menyebarkan ide-ide komunis,
Natsir, Prawoto, HM Rasyidi dll. menyatakan sikapnya untuk menjadi
oposan Presiden Soekarno. Akibatnya, hampir semua tokoh Masyumi
mengalami beratnya perjuangan dengan "gemblengan" di rumah-rumah tahanan
negara.
Sikap oposan terhadap Soekarno memuncak, ketika Soekarno
dengan tanpa alasan yang jelas membubarkan Partai Islam terbesar itu.
Lewat Keputusan Presiden RI No. 200/1960 tertanggal 17 Agustus 1960 (dan
merujuk Penetapan Presiden No.7/1959) Soekarno embubarkan Masyumi.
Alasannya, menurut Soekarno, "Partai melakukan pemberontakan, karena
pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan apa yang disebut
dengan "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" atau "Republik
Persatuan Indonesia" atau telah jelas memberikan bantuan terhadap
pemberontakan, sedang partai itu tidak resmi menyalahkan perbuatan
anggota-anggota pimpinan tersebut."
Menanggapi keputusan Presiden
yang semena-mena dan mendadak itu, Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum)
dan HM Yunan Nasution (Sekretaris) menyampaikan surat pembubaran Masyumi
dan sekaligus menyampaikan "memorandum keras" kepada ayahnya Megawati
itu. Dalam pengantar memo itu, Prawoto mengungkapkan bahwa Masyumi sejak
didirikan selalu berpegang teguh pada hukum dan kesepakatan bersama
dalam bernegara.
"Umat Islam dibesarkan untuk memegang janji itu,
tidak terkecuali janji yang diberikan kepada golongan lain, sampai pula
janji yang diberikan kepada golongan yang menurut faham Islam dinamakan
golongan kafir," tulis Prawoto, tertanggal 13 September 1960.
Memo
itu selanjutnya meminta kepada tokoh-tokoh Masyumi untuk tetap
memperjuangkan hukum Islam dan menyindir kekuasaan Soekarno yang
cenderung diktator. "Orang-orang yang benar-benar memperjuangkan Islam,
tidak bisa lain dari bertujuan supaya hukum Islam berlaku dan terutama
untuk si pejuang sendiri, hukum Islam dengan segala batas dan
larangan-larangannya, yang tidak boleh dilanggar oleh si Muslim yang
kebetulan berkuasa." Sebelum Masyumi dinyatakan bubar, Prawoto
sebenarnya telah memberikan kuasa hukum kepada Mohammad Roem, Mr.
Madoeretno Haaznam dan Mr. Djamaluddin Dt. Singo Mangkuto untuk
menggugat Soekarno lewat Pengadilan Negeri Istimewa, Jakarta. Gugatan
itu kemudian disampaikan oleh Mohammad Roem 9 September. Roem menulis
bahwa Penpres No. 7/1959 itu, tidak mempunyai kekuatan hukum dan
merupakan penyimpangan UUD 45.
Karena itu, Kepres 13/60 juga batal demi hukum. Pembubaran Masyumi,
menurut Roem, menutup pintu bagi berjuta-juta warga negara untuk beramal
dan karena itu menimbulkan kerugian yang tak terhingga.Tapi
usaha rehabilitasi Masyumi gagal, karena Pengadilan Negeri Istimewa
Jakarta lewat Ketua Pengadilannya M Rochjani Soeoed, menyatakan
Pengadilan itu tidak berwenang memeriksa perkara gugatan yang
disampaikan Masyumi.Tidak mengenal letih, Prawoto dan
kawan-kawan terus mengusahakan rehabilitasi Masyumi pada masa awal
Soeharto berkuasa. Tapi, sayangnya Soeharto seperti juga Soekarno
menolaknya, meski Orde sudah berganti. Bukan hanya Masyumi yang gigih untuk memperjuangkan kembali
eksistensinya, PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang juga dibredel
Soekarno juga aktif melakukan usaha rehabilitasi. Di masa Soeharto,
dalam Musyawarah Nasional III Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum
Indonesia) dikeluarkan tuntutan agar partai-partai yang dibubarkan
Soekarno (Masyumi, PSI,KAMI dan Murba) direhabilitasi kembali (3
Desember 1966). Tapi usaha itu lagi-lagi gagal. Dalam pidato-pidato usai pembubaran Masyumi, Prawoto sering menguraikan secara menarik isu-isu Masyumi waktu Soekarno berkuasa.
Perjuangan Islam
Salah satu diantaranya uraiannya mengapa Masyumi menolak tegas
gagasan Presiden agar kabinet disangga empat kaki, yaitu Masyumi, NU,
PNI dan PKI. "Kita tidak bisa berkompromi dengan kaum komunis sehingga
sampai-sampai kita dinyanyikan berkepala batu," urainya pada reuni
Keluarga Besar Bulan Bintang di Jakarta, pada 24 Oktober 1966.
Prawoto
dalam kesempatan itu juga menyebut adanya phobi kepada Masyumi. Ia
menyebut ada mitos yang diciptakan (Soekarno dan pengikutnya) bahwa
Masyumi anti Pancasila dan Masyumi akan membawa revolusi ke kanan. Ia
mengakui bahwa Masyumi memang berjuang menegakkan hukum Islam. Lain
dengan beberapa "partai Islam" sekarang yang ragu-ragu memperjuangkan
hukum Islam, dalam Anggaran Dasarnya, Masyumi secara eksplisit
mencantumkan terlaksananya hukum Islam sebagai tujuan. Masyumi juga
menegaskan bahwa anggota partai adalah mereka yang beragama Islam. Perjuangan
Masyumi untuk mendukung Piagam Jakarta, tidaklah setengah-setengah.
Tokoh-tokoh Masyumi saat itu, rajin melobi partai-partai lain sehingga
dukungan untuk Piagam Jakarta sampai meraih 43% suara dalam pemungutan
suara di Konstituante. Tapi, perlu dicatat, menurut Prawoto, yang
menolak Piagam Jakarta ada penyokong palsu. Yaitu PKI, yang saat itu
setuju digunakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja.
Sebenarnya
cukup aneh bila ada partai yang mengaku partai Islam, tapi Agak enggan
dalam memperjuangkan terlaksananya Islam dalam masyarakat dan negara.
Padahal Soekarno sendiri yang mazhab ideologinya "gado-gado" pernah
menyatakan silakan masing-masing golongan memperjuangkan ideologinya. "Kalau fihak Islam menghendaki suatu Undang-undang Dasar yang sesuai
dengan cita-citanya, berjuanglah sekeras-kerasnya di dalam
permusyawaratan perwakilan itu. Jika golongan Kristen, ingin supaya
cita-citanya termasuk Undang-undang Dasar, berjuanglah sekeras-kerasnya
juga," kata Soekarno.
Karena itu, Hamka sebagaimana juga Prawoto
tidak mengenal lelah untuk perjuangan tegaknya Islam itu. Hamka, ulama
dan tokoh Masyumi lainnya sering mengingatkan, "Selama kita hidup,
selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah
sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di
alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Dan jika kita yang
berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, 'Adakah kamu, hai umat
Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan
menjalankan hukum Syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu?'
Janganlah berbohong dan mengolok-olok jawaban. Katakan terus terang,
bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita
yang telah digariskan Tuhan dalam al Qur'an kita pungkiri?" (Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 6). Partai
Islam mestinya kukuh dalam memegang prinsip-prinsip Islam dan
sepatutnya mengambil keteladanan politisi-politisi Muslim pendahulu di
negeri ini.
Pertama, dalam berpolitik, ia dikenal pembela Islam, dan
berani dalam menegakkan amar makruf nahi munkar dengan jalan
konstitusional.
Kedua, hidup dan berperilaku sederhana. Bukan untuk
sekedar menumpuk kekayaaan atau bergaya-gaya telah memegang kekuasaan.
Bila demikian tujuannya, apa beda dengan politisi sekuler?
Nah, bila politisi Muslim, khususnya mereka yang tergabung dalam
Partai Islam, berperilaku sama dengan partai lain, khusunya tidak
menjaga diri dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, maka
bisa dipastikan masyarakat akan meninggalkannya. Nanti, yang tersisa
adalah kader-kader yang kurang bermutu, yang tidak menjadi kebanggan
umat
Nuim Hidayat
posted by @Adimin