pic

Powered by Blogger.

Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi

Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...

Search This Blog

Latest Post

Fraksi: Kesenjangan Ekonomi Masih Sangat Lebar, Perlu Kebijakan Lebih Kuat

Written By mediapkspadang on 22 August, 2016 | August 22, 2016

Jakarta (21/8) - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Muharam menilai kesenjangan ekonomi masih sangat lebar.

“Memasuki 71 tahun kemerdekaan dan 2 tahun Pemerintahan Jokowi-JK, kita masih menghadapi persoalan ekonomi yang sangat berat terkait kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Angka yang baru dirilis BPS memang menunjukkan adanya tren penurunan kesenjangan pengeluaran. Tetapi ini masih jauh dari kondisi yang ideal dan memuaskan. Kondisi kesenjangan pendapatan dan penguasaan kekayaan jauh lebih buruk,” ujar Ecky di Jakarta, Minggu (21/8).

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis laporan terjadinya penurunan Gini Ratio. Dimana, hingga Maret 2016, Gini Ratio sedikit mengalami penurunan menjadi 0,397 dibanding September 2015 yang berada di level 0,402 dan Maret 2015 sebesar 0,408.

“Meski perkembangannya membaik, target Gini Ratio dalam APBNP 2016 sebesar 0,39 dan dalam RAPBN 2017 sebesar 0,38 belum meyakinkan dapat dicapai. Dibutuhkan kebijakan akselerasi untuk dapat mencapainya,” jelas Legislatos PKS dari Daerah Pemilihan Jawa Barat III yang meliputi Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor ini.

Diingatkan Ecky, Laporan Bank Dunia telah memberikan peringatan atas potensi terjadinya ledakan sosial yang diakibatkan dari Ketimpangan yang Semakin Lebar tersebut. Bank Dunia mengungkapkan bahwa di balik pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir, telah terjadi dimana 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset uang dan properti nasional.

Diperkirakan pula sekitar 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional. Sehingga, 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya menikmati distribusi kue pembangunan yang tak lebih dari 25 persen.

“Saat ini faktanya telah terjadi efek konsentrasi ke atas atau trickle-up effect dalam proses pembangunan selama ini. Pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar tidak dinikmati mayoritas rakyat,” risau Ecky.

Ecky menilai berbagai kebijakan dan program untuk mendorong perbaikan ekonomi yang berorientasi pada rakyat kecil juga belum terlaksana dengan baik. Beberapa indikatornya adalah, pertama, masih tingginya inflasi di pedesaan, terutama pada bahan makanan.Kedua, nilai tukar petani belum membaik secara signifikan. Ketiga, masih minimnya realisasi kredit UMKM, hanya 18 persen dari total kredit perbankan. Dan Keempat, implementasi paket kebijakan pemerintah belum menyentuh golongan menengah ke bawah.

“Rakyat miskin semakin miskin karena 65 persen penghasilan mereka habis untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Dan rakyat yang mendekati miskin jatuh dalam kubangan kemiskinan. Kondisi ini menandakan masih beratnya penderitaan yang dihadapi setiap hari oleh jutaan rakyat dan menjadi tanggungjawab besar bagi kita sebagai sebuah bangsa,” tegas Ecky.

Secara khusus Bank Dunia (2015) mencatat laju peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Timur. Bahkan, dalam hal distribusi aset, lebih memprihatinkan, yaitu Rasio Gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72. Angka ini jauh lebih tinggi daripada Rasio Gini pendapatan. Badan Pertanahan Nasional bahkan mencatat, 56 persen aset berupa tanah, properti, dan perkebunan hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 persen penduduk.

“Kesenjangan yang semakin besar akan menimbulkan kecemburuan, meningkatkan ketidakpercayaan baik secara vertikal maupun horizontal dan berpotensi menimbulkan ledakan sosial. Rakyat yang terbelah akan mengancam kohesi sosial dan menghancurkan sendi-sendi bangunan kepercayaan sebuah negara-bangsa. Ketimpangan ekonomi yang kronis akan menjadi faktor pendorong revolusi sosial, politik, dan krisis ekonomi. Ini harus menjadi warning serius bagi kita semua,” tutup Ecky. [PKS.ID]


posted by @Adimin

Timteng dan Ketahanan Energi

Pemerintah berencana meningkatkan cadangan minyak mentah dan bahan bakar minyak menjadi lebih dari 30 hari (Republika Online). Menurut Sudirman Said, menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu, peningkatan cadangan minyak mentah dan BBM perlu untuk antisipasi pertumbuhan konsumsi BBM delapan persen per tahun.

Saat ini, cadangan minyak mentah Indonesia hanya cukup untuk kebutuhan domestik 14 hari. Adapun cadangan BBM hanya cukup untuk 22 hari, elpiji untuk 17 hari. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, kalau cadangan BBM itu dipakai perang, hanya cukup untuk tiga hari.

Sebagai perbandingan, cadangan BBM Singapura cukup untuk kebutuhan domestik 90 hari. Cina juga menumpuk cadangan BBM untuk 90 hari. Amerika Serikat yang belajar dari pengalaman pahit diembargo minyak oleh OPEC pada 1973-1974, memiliki cadangan BBM hingga 260 hari.

Karena itu, pemerintah berniat meningkatkan kapasitas cadangan minyak. Pemerintah harus membeli tambahan komoditas minyak dan tangki sebagai sarana penyimpanannya. Masalahnya, upaya peningkatan kapasitas cadangan butuh dana tak sedikit.

Pemerintah dan juga publik, bisa jadi tak mendapat dorongan urgensi membangun ketahanan energi nasional karena harga minyak mentah yang murah saat ini. Maklum, fluktuasi harga minyak dunia berpengaruh terhadap biaya impor minyak. Kalau harga minyak dunia naik, harga BBM juga ikut naik.

Ada dua penyebab rendahnya harga minyak dunia. Pertama, perang harga minyak yang dilancarkan negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang dipelopori Arab Saudi terhadap industri shale oil (minyak serpih) di AS. Minyak serpih adalah minyak yang diambil dari fragmen batuan serpih di perut bumi.

Minyak serpih dapat diolah menjadi bahan bakar, seperti bensin, solar, atau avtur. Minyak serpih muncul sebagai substitusi yang sempurna untuk minyak bumi. Industri shale oil pun marak di Amerika.

Saudi, pemimpin de facto OPEC, gerah dengan kemunculan minyak serpih yang mengancam eksistensi minyak bumi konvensional. Saudi lantas menggalang kampanye menyingkirkan industri minyak serpih, dengan meningkatkan produksi minyak dan membanjiri pasar global.

Dengan harga minyak yang rendah, konsumen lebih memilih untuk membeli minyak bumi daripada minyak serpih. Pada saat bersamaan, akibat pasokan berlimpah, harga minyak mentah di pasar komoditas global pun turun. Harapannya, ini akan memukul industri shale oil.

Kenyataannya, teknologi ekstraksi minyak serpih yang tak mudah dan proses pengolahan yang rumit memerlukan biaya tak sedikit. Kajian Bloomberg Intelligence membuktikan, break even point industri shale oil ada di level 55-65 dolar AS per barel. Maka itu, harga minyak bumi sengaja ditekan di bawah 50 dolar AS per barel.

Ini penyebab dari sisi suplai. Sisi permintaan juga menyumbang porsi bagi anjloknya harga. Sebab, permintaan terhadap minyak sangat bergantung pada gerak laju pertumbuhan ekonomi. Makin kencang pertumbuhan, makin besar kebutuhan akan minyak.

Masalahnya, saat ini ekonomi dunia sedang loyo. Amerika dan Eropa masih terlilit resesi. Emerging market powerhouse seperti Cina juga melambat. Suplai membanjir, sementara permintaan melemah. Harga minyak pun terjun bebas.

Karena itu, banyak pihak meramal, harga minyak akan terus tertekan. Kajian Morgan Stanley bahkan memprediksi harga minyak bakal terus anjlok sampai ke level break even point 35 dolar AS per barel.

Problemnya, ramalan ini tidak memasukkan perkembangan situasi geopolitik dan keamanan di Timur Tengah. Saat ini Timur Tengah menghadapi ancaman destabilisasi masif. Irak, Suriah, Yaman, dan Libya sekarang praktis menjadi negara gagal karena perang saudara.

Runtuhnya kekuasaan negara dan merebaknya konflik, membuka peluang bagi kelompok teror, seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), untuk muncul dan mengobarkan konflik menjadi semakin berdarah.

Skala konflik yang masif di Timur Tengah nyatanya tidak diperhitungkan dalam analisis ekonomi global kontemporer. Banyak orang lebih khawatir dengan implikasi Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Ini terjadi karena konflik di Timur Tengah tidak terefleksikan di harga minyak dunia akibat banjir suplai dan defisit permintaan.

Keruntuhan sistem di Suriah, Irak, dan lainnya membuka mata akan problem fundamental eksistensial negara-negara Arab. Kebanyakan mereka adalah entitas yang kosong. Maksudnya, konsepsi bangsa dan negara belum merasuk karena sistem politik yang berlaku adalah monarki dan dinasti raja.

Akibatnya, di benak rakyat, konsepsi negara dipahami sebagai milik seorang raja atau penguasa tertentu. Keseluruhan eksistensi negara bergantung pada seseorang atau suatu keluarga.

Di Arab, kejatuhan seorang pemimpin berarti kejatuhan keseluruhan sistem politik dan pemerintahan karena fondasi demokrasi, baik secara konsepsi maupun institusional, sesungguhnya minim. Alternatifnya hanya anarki. Ini yang terjadi di Irak, Suriah, dan Libya.

Jatuhnya seorang pemimpin mengakibatkan hancurnya sistem kekuasaan, yang memunculkan aktor tribal nonnegara. Belum adanya nationhood, hancurnya sistem pemerintahan juga berarti menguatnya sentimen suku, etnis, dan paham keagamaan seperti di Yaman.

Dengan political underlying condition yang nyaris serupa di banyak negara Arab, fenomena negara gagal harus diwaspadai sebagai potensi terjadinya failed region atau wilayah gagal di seluruh Timur Tengah. Terbukti, setelah Irak dilanda perang saudara, Suriah terjerumus pada konflik berdarah yang sama. Konflik sektarian di kedua negara akhirnya menyulut konflik serupa di Yaman.

Harus diwaspadai potensi menularnya konflik di negara-negara Arab lain, yang meski sekarang stabil, saat ini terjepit dan terkepung konflik di wilayah tetangganya. Kalau konflik meluas, pasokan minyak dari Timur Tengah dipastikan terganggu.

Produksi minyak Suriah, misalnya, sebelum konflik mencapai 400 juta barel per hari. Sekarang, produksi minyaknya hanya 25 juta barel per hari. Dengan cadangan minyak 810 miliar barel (separuh dari total cadangan minyak dunia) dan produksi 28 juta barel per hari (30 persen dari total cadangan minyak dunia), meluasnya konflik di Timur Tengah akan merusak suplai minyak global dan meroketkan harga minyak.

Karena itu, meski sekarang harga minyak dunia rendah, upaya meningkatkan cadangan minyak seperti yang sudah dicanangkan harus segera diimplementasikan. Harga minyak dunia yang rendah justru harus dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan energi kita.

Oleh Dedi Supriadi
Ketua DPP PKS, Peserta PPRA LV Lemhannas
Sumber: republika.co.id


posted by @Adimin

Pesan

More on this category »

Popular Post

 
Support : Creating Web | PKS Padang | Mas Temp
Copyright © 2011. PKS KOTA PADANG - All Rights Reserved
Template Created by PKS Padang Published by Mas Temp
Proudly powered by Blogger