Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
December 12, 2014
Tentu saja hal ini mudah ditebak, bahwa “satu agama saja” yang dimaksud adalah Islam, mengingat jumlah pemeluknya mayoritas di Indonesia, kecuali Bali, Papua, dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur.
Wacana Pengaturan Doa di Sekolah: Mengetes Reaksi Publik?
Written By Sjam Deddy on 12 December, 2014 | December 12, 2014
“Kenapa muncul sekarang?” pertanyaan itu lebih tepat untuk Anies Baswedan sendiri, bukan pada publik
SEJAK berita mengenai wacana pengaturan doa di
sekolah dimuat oleh detik.com pada 1 Desember 2014, pro dan kontra
mengalir tajam. Hal ini sangatlah wajar mengingat semangat keberagamaan
di Indonesia boleh dibilang sangat kental. Dunia pendidikan sekalipun
tak lepas dari nuansa agamis, seperti tercantumnya faktor iman dan taqwa
pada visi atau misi sekolah.
Seperti diketahui, dua hari ini berita di Indonesia disibukkan dengan
isu Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Anies Baswedan
yang akan mengevaluasi doa dalam proses belajar mengajar yang selama ini
telah berlangsung di sekolah-sekolah negeri.
Yang menarik ialah, salah satu permasalahan yang sedang dievaluasi
berkenaan dengan tata cara membuka dan menutup proses belajar.
Persoalan ini dimunculkan oleh sejumlah orangtua murid yang
mengeluhkan tata cara agama tertentu yang mendominasi dalam proses
belajar mengajar. Hal itu membuat siswa penganut agama lain menjadi
tidak nyaman.
Berikut detik.com mengutip pernyataan mantan rektor Universitas
Paramadina ini, “Saat ini kita sedang menyusun, tatib soal aktivitas
ini, bagaimana memulai dan menutup sekolah, termasuk soal doa yang
memang menimbulkan masalah. Ini sedang direview dengan biro hukum,” ujar
Anies dalam jumpa pers di kantornya, Gedung Kemendikbud, Jalan Jend
Sudirman, Jakarta, Senin (1/12/2014).
“Sekolah di Indonesia mempromosikan anak-anak taat menjalankan agama,
tapi bukan melaksanakan praktik satu agama saja,” tuturnya.
Tentu saja hal ini mudah ditebak, bahwa “satu agama saja” yang dimaksud adalah Islam, mengingat jumlah pemeluknya mayoritas di Indonesia, kecuali Bali, Papua, dan beberapa daerah di Indonesia bagian timur.
Kenapa Baru Sekarang?
Banyak guru dan orangtua yang menampik isu tersebut sebagai suatu
ketidaknyamanan mengingat proses belajar-mengajar sudah diawali dan
diakhiri dengan doa sejak puluhan tahun republik ini berdiri, dan tidak
ada keluhan dari siswa yang beragama minoritas. Sekolah-sekolah negeri
selama ini menjadi pilihan netral bagi seluruh masyarakat Indonesia
karena mengakomodasi seluruh ummat beragama dengan baik.
Kekhawatiran kaum Muslim mengenai rencana “diaturnya” (baca:
dihapuskan) doa oleh pemerintah, khususnya, sangat beralasan, mengingat
mereka berharap bahwa pendidikan karakter dan keagamaan untuk
putra-putrinya dapat diperoleh di sekolah negeri. Sedangkan alternatif
sekolah Islam yang kebanyakan dikelola swasta, kendatipun menyediakan
pendidikan agama yang lebih berkualitas masih belum terjangkau oleh
sebagian kalangan.
Pertama, kalau guru dilarang meneladankan doa dalam
secara Islam, maka yang terjadi adalah sekulerisasi, yakni menjauhkan
kaum Muslimin dari ruh ibadah.
Selama ini, siswa Muslim yang belajar di sekolah non-Muslim juga
dibimbing doa menggunakan tata cara non-Islam, dan hal tersebut
dimaklumi oleh kaum Muslimin mengingat fungsi kelembagaan mereka memang
untuk mendidik sesuai ajaran agamanya. Jadi, toleransi beragama kaum
Muslimin sudah berjalan cukup baik dalam dunia pendidikan Indonesia.
Kedua, bila guru dituntut berdoa secara semua agama, maka itu pluralisasi.
Sebelumnya, Pjs Ketua bidang Pendidikan MUI Anwar Abbas di Jakarta,
Selasa (09/12/2014), menghimbau, “Jangan dibuat cara berdoa dengan
mengganti kata Allah menjadi Tuhan Yang Maha Esa” karena akan
mengaburkan identitas agama yang pada akhirnya pasti akan membuat ummat
Islam merasa tidak nyaman. Bila faktor dominasi agama tertentu menjadi
landasan bagi pemerintah untuk menetralisirnya, maka subyektivitas akan
menjadi liar, bisa-bisa akan muncul aturan untuk mengganti
“Assalaamualaykum” dengan “Selamat Pagi” sebagaimana yang pernah
diusulkan “Bapak Pluralisme Indonesia”.
Beginilah semestinya, pendidikan bagi ummat Islam merupakan bagian
dari ibadah, tak (boleh) terpisahkan. Selama ini umat beragama lain
diperbolehkan berdoa sendiri menurut keyakinannya, tanpa paksaan. Maka
biarlah tetap begitu. Sebagaimana bila dalam sekolah Nasrani,
murid-murid Muslim juga seharusnya diperbolehkan berdoa menurut
keyakinannya, tanpa tekanan.
Mengenali perbedaan itu upaya awal untuk saling menghargai. Kalau
identitas tidak boleh ditunjukkan, maka keberagaman akan menjadi tabu,
dan itu menghilangkan motto Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”.
Klarifikasi atau Pembatalan?
Namun kita bersyukur, bahwa Anies Baswedan menampik akan mengatur doa
di sekolah sebagaimana yang diberitakan di media massa. Dia menyebut
itu hanya wacana. Bahkan sebaliknya, beliau malah akan mendorong
semangat religiusitas.
“Kita menganjurkan agar sekolah itu dimulai dengan doa diakhiri
dengan doa. Ini baru wacana, dan kita ingin ini didorong,” ungkap
lulusan Universitas Maryland tersebut kepada ROL, Selasa (09/12/2014)
kemarin. Beliau akan mendiskusikan hal ini kepada kementerian agama.
Seandainya beliau lebih terbuka, mengenai materi apa yang hendak
didiskusikan dengan Kemenag, mungkin akan lebih jelas lagi. Sebab
memulai dan mengakhiri pelajaran dengan doa bukanlah wacana, melainkan
sudah diterapkan di sekolah-sekolah. Sehingga ketika beliau bertanya,
“Kenapa muncul sekarang?” pertanyaan itu lebih tepat beliau jawab
sendiri, bukan pada publik.
Lepas dari spekulasi apakah pernyataan beliau tersebut adalah
klarifikasi ataukah sebetulnya adalah pembatalan dari sencana
sebelumnya, masyarakat dapat kembali tenang dan melanjutkan proses
belajar mengajar sebagaimana biasanya. Yang menarik ialah reaksi publik
yang seolah terbagi secara dikotomis, ini tetap perlu untuk
ditindaklanjuti, terutama latar belakang yang mendukung, meskipun
jumlahnya tidak mewakili. Dalam rangka melindungi kebebasan beribadah
kaum minoritas, tanpa harus mengorbankan kebebasan beribadah kaum
mayoritas.
Di lain pihak, Ustadz Yusuf Mansur yang sempat mempertanyakan dan
mengklarifikasi kebijakan ini menekankan bahwa beliau (yang cukup
representatif di kalangan ummat Islam) akan tetap menegur pihak yang
meresahkan umat, khususnya pemerintah. Dalam tweet-nya, pimpinan Pondok
Pesantren Daarul Quran Bulak Santri ini mengapresiasi kaum Muslimin yang
telah melakukan peran pengawasan terhadap pemerintah, media massa, dan
masyarakat sendiri.
Begitulah seharunya tokoh masyarakat dan publik (khususnya kaum
Muslim). Dengan fenomena media sosial, sesungguhnya fungsi pengawasan
juga bisa lebih cepat dan efesien. Wallahu a’lam
oleh Gilig Pradhana
posted by @Adimin
Label:
TOPIK PILIHAN