Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
September 26, 2013
وَلِيُّ (Waliy)
jamaknya adalah أَوْلِيَاء (Auliyaa’) yang artinya –sebagaimana kata
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari- adalah para penolong (Anshar) dan kekasih
(Akhilla). (Jami’ul Bayan, 9/319)
posted by @Adimin
Bagaimana Seharusnya Memilih Pemimpin
Written By @Adimin on 26 September, 2013 | September 26, 2013
|
pkspadang.com, Ketika kita umat Islam dihadap kan pada pilihan-pilihan yang sulit terkait dengan pemilihan calon pemimpin ummat ini maka seharus nyalah kita sebagai ummat Islam yang sudah mem- punyai acuan abadi yaitu Al qur'an dan Sunnah maka tulisan ini ungkin bisa sedikiit membantu kita untuk menganalisa pemim- pin yang seperti apa yang mesti kita dukung ber- dasarkan tuntutan ilahiyah yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah dan juga pendapat ulama-ulama Salaf yang muktabar.
1. Tentang memilih orang kafir sebagai pemimpin selain Imamatul ‘uzhma.
Hal itu tetap terlarang secara mutlak, sesuai keumuman ayat:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
(QS. Al Maidah: 51)
Larangan dalam ayat
ini umum, tidak mengkhususkan pada satu jenis dan level kepemimpinan.
Dan, tidak ada keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah bahwa larangan
mengangkat orang kafir sebagai pemimpin hanya khusus berlaku bagi
imamatul ‘uzhma saja. Maka, berlakulah larangan ini secara umum; bahwa
orang-orang beriman dilarang memilih orang kafir sebagai waliyul amri
bagi mereka di semua level kepemimpinan.
Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa Al Waliy adalah An Naashir (penolong/pembantu). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa untuk Ali Radhilallahu ‘Anhu:
اللهم والِ مَنْ والاه
“Allahumma waali
man waalaahu.” (HR. Ibnu Majah No. 116, Al Hakim No. 4576, Abu Ya’la No.
6423, 6951, Ibnu Hibban No. 6931, Ahmad No. 950, Syaikh Syu’aib Al
Arnauth dalam Ta’liq Musnad Ahmad mengatakan: shahih lighairih)
Apa artinya? Syaikh Ibnu Manzhur mengatakan tentang makna terhadap doa ini:
أَي أَحْبِبْ مَنْ أَحَبَّه وانْصُرْ من نصره
“Yaitu cintailah orang yang mencintainya dan tolonglah orang yang menolongnya.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
Dengan demikian
Waliy adalah sesuatu tempat kita berteman dekat, minta bantuan dan
pertolongan, kekasih, pemimpin, dan yang mengurus urusan kita.
Imam Ibnu Katsir
Rahimahullah memberikan keterangan dengan sebuah kisah Abu Musa Al
Asy'ari Radhiallahu ‘Anhu yang mengangkat seorang sekretaris dari Syam
yang beragama Nashrani, lalu Umar Radhiallahu 'anhu merasa heran dan
mencegah pengangkatan itu, lalu Umar Radhiallahu 'Anhu mengutip ayat di
atas. (Tafsir Al Quran Al 'Azhim, 3/123)
Allah Ta'ala
menyebut munafik kepada orang yang sengaja memilih orang kafir sebagai
pemimpin, padahal dia tahu ada orang beriman yang seharusnya diangkat
menjadi pemimpin:
بَشِّرِ
الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138 (الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
(139(
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih
(yaitu) orang-orang
yang mengambil orang-orang kafir menjadi waliy dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir
itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An Nisa:
138-139)
Lalu bagaimana
dengan umat Islam yang terlahir di negeri mayoritas non muslim seperti
di Eropa atau Amerika, atau sebagian kecil di tanah air kita? Maka,
untuk mereka boleh saja memilih atau tidak memilih tergantung
kondisinya. Jika calon yang ada adalah sama-sama kafir dan membenci
Islam, dan semua calon yang ada sama-sama memusuhi kaum muslimin, maka
hendaknya golput saja. Tetapi, jika dari calon yang ada terdapat orang
yang lebih ringan permusuhannya dengan Islam, maka dia boleh saja
dipilih dengan asumsi dan harapan potensi kezaliman yang akan menimpa
umat Islam juga lebih ringan jika dia yang menjadi pemimpin. Sesuai
kaidah Al Irtikab Akhafu Dharurain, menjalankan mudharat yang lebih
ringan untuk menghindari mudharat yang lebih besar. Saat itu tidak bisa
dikatakan mereka telah memberikan wala’ (loyalitas) kepada orang kafir,
sebab mereka melakukan itu secara terpaksa.
2. Bolehkah memilih pemimpin orang munafik?
Memilih orang
munafik sebagai pemimpin, kawan dekat, dan penolong kita, juga terlarang
dalam syariat. Hal itu ditegaskan dalam ayat berikut:
فَمَا لَكُمْ فِي
الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا
أَتُرِيدُونَ أَنْ تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ
فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا (88) وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا
فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى
يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ
وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا (89)
Maka mengapa kamu
(terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik,
Padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan
usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada
orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan
Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk)
kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka
telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka
janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai waliy (pemimpin),
hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling,
tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah
kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan
(pula) menjadi penolong. (QS. An Nisa: 88-89)
Maka, larangan
menjadikan orang munafik sebagai pemimpin adalah jelas dan gamblang,
sebab hakikatnya mereka adalah kafir sebagaimana yang disebutkan oleh
ayat di atas. Namun, yang menjadi masalah adalah siapakah orang munafik
itu? Apakah dengan seenaknya seorang muslim menyebut muslim lainnya
adalah munafik? Misal dengan ringan kita berkata: “Si Fulan munafik
karena dia telah begini dan begitu ....,” apakah semudah itu? Tentu
tidak. Selama belum ada bukti kuat bahwa orang tersebut adalah musuh
dalam selimut yang berpura-pura sebagai seorang muslim yang baik,
padahal dia merusak Islam dan kaum muslimin. Maka, selama itu pula kita
menilai mereka sesuai zhahirnya, bahwa dia seorang muslim.
3.Bolehkah mengangkat orang fasik dan ahli maksiat sebagai pemimpin?
Pertanyaan nomor
dua (memilih orang fasik sebagai pemimpin) dan nomor empat (memilih ahli
maksiat sebagai pemimpin), kami gabungkan saja, karena orang dikatakan
fasik disebabkan maksiat yang dilakukannya.
Semua bentuk
kefasikan dan maksiat adalah penghalang seseorang diangkat menjadi
pemimpin, sebab pemimpin kaum beriman adalah juga kaum beriman yang
sejati; mereka shalat, zakat, dan tunduk kepada aturan-aturan Allah
Ta’ala. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Sesungguhnya waliy
kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada
Allah). (QS. Al Maidah: 55)
Bahkan jika seorang
yang menjadi pemimpin, dalam perjalanan kepemimpinannya mengalami
perubahan, dia menjadi fasik dan berbuat maksiat, hal itu membuatnya
boleh dicopot dari jabatannya menurut sebagian ulama.
Berikut ini
pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah
tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:
وإذا قام الإمام بما
ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له
عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به
عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه .
فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه
بشبهة ، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات
وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من
انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ،
فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد .....
Jika imam
(pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami
sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah
Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah
dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya. Pertama, ketaatan
kepadanya. Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.
Ada dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:
1.Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
2.Cacat tubuhnya
Ada pun cacat dalam
‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia
mengikuti syahwat; Kedua, terkait dengan syubhat.
Bagian pertama
(fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia
menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti
hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat
seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai
pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya. Jika sifat tersebut
terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari
imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak
otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ..........
(Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’
Al Islam)
Namun demikian,
jika tidak ada pilihan lain kecuali pemimpin muslim tapi fasik, itu
masih lebih baik dibanding memilih orang kafir walau nampaknya baik hati
kepada kaum muslimin. Hal ini sesuai kaidah Al Irtikab Akhafu Dharurain
(memilih mudharat paling ringan di antara dua mudharat). Sebab, seorang
muslim yang fasik tetaplah dia masih memiliki tauhid yang dengannya
merupakan modal untuk kembali ke jalan yang benar, ada pun orang kafir
walau pun adil, dia memiliki pondasi dan modal untuk memusuhi kaum
muslimin, sebab apa yang di hati lebih besar kebenciannya dibanding apa
yang mereka tampakkan.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا
يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ
مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا
لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
(QS. Ali ‘Imran: 118)
3.Memilih pemimpin wanita yang tidak bagus akhlaknya
Tidak ada
perselisihan pendapat, bahwa buruknya akhlak adalah penghalang seseorang
diangkat menjadi pemimpin, terlebih lagi jika dia seorang wanita.
Perselisihan yang
terjadi adalah jika wanita itu shalihah, adil, cakap dalam memimpin; di
sisi lain tak ada laki-laki yang kualitasnya sama sepertinya. Apakah
saat itu wanita lebih baik dijadikan pemimpin? Ataukah tetap memaksakan
laki-laki menjadi pemimpin betapa pun bengis dan bodohnya dia? Ataukah
ini termasuk keadaan yang dikecualikan? Dalam hal ini para ulama terbagi
menjadi tiga kelompok.
Pertama, melarang
secara mutlak, ini adalah pendapat imam empat madzhab dan jumhur
(mayoritas). Mereka berdalil dengan keumuman ayat Al Quran:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
... (QS. An Nisa: 34)
Ayat ini tentang
kepempimpinan laki-laki di rumah tangga, namun juga berlaku umum dalam
semua level kepemimpinan, sesuai kaidah qiyas aula, yakni jika wanita
bukan pemimpin di dalam keluarga, maka ditingkatan yang lebih besar dari
itu dia lebih bukan lagi sebagai pemimpin.
Dalil dari Sunah adalah:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي
اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ
بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ
مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Dari Abu Bakrah,
katanya: Sungguh Allah telah memberikan manfaat dengan kata-kata yang
pernah kudengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada
saat perang Jamal, setelah sebelumnya hampir saja aku mengikuti tentara
Jamal (yaitu pasukan yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta)
dan berperang mendukung mereka. Lalu dia mengatakan: Ketika sampai
berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa bangsa
Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, maka beliau
bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari
No. 4425)
Hadits ini sangat jelas mengecam kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin mereka.
Kedua, melarang
hanya pada level imamatul ‘uzhma (imam tertinggi seperti jabatan
khalifah atau presiden untuk zaman sekarang), sedangkan kepemimpinan di
bawah level itu tidak apa-apa. Sebab, saat itu wanita tetap masih di
bawah komando laki-laki. Mereka yang mendukung pendapat ini adalah Imam
Abu Hanifah, Imam Ibnu Hazm, Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Muhammad Al
Ghazali, dan lain-lain.
Alasan kelompok ini
adalah karena Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu pernah
mengangkat seorang wanita menjadi kepala pasar, padahal kaum laki-laki
masih banyak yang mampu. Maka, kedudukan wanita tersebut sebagai
pemimpin masih di bawah kendali Khalifah Umar. Saat itu tidak ada
sahabat nabi lainnya yang menentang hal ini. Ada pun hadits dari Abu
Bakrah di atas, adalah kepemimpinan wanita dalam urusan pemerintahan dan
kenegaraan tertinggi, seperti khalifah atau presiden untuk zaman tidak
ada khalifah seperti saat ini, karena hadits itu menggunakan kata wallau
amrahum (menyerahkan urusan kekuasaan mereka). Dan, latar belakang
hadits ini juga disebabkan karena terpilihnya seorang wanita sebagai
pemimpin negara di Persia. Sehingga kepemimpinan di bawah level itu
tidak mengapa, seperti pemimpin sebuah departemen, kepala daerah, kepala
sekolah, ketua senat, dan lainnya. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita
menjadi Qadhi (Hakim) untuk masalah-masalah khusus wanita.
Ketiga, melarang
kepemimpinan wanita kecuali calon-calon lainnya adalah laki-laki yang
dikenal zalim, maka keadaan itu adalah situasi khusus yang membolehkan
wanita –yang layak- menjadi pemimpin. Sebab kezaliman laki-laki
tersebut –yang dapat mendatangkan petaka bagi rakyatnya- bisa dicegah
dengan tidak memilihnya. Itu pun sifatnya sementara, jika dalam
perjalanannya bisa diketahui adanya laki-laki shalih yang cakap sebagai
pemimpin, maka wanita itu dapat dicopot lalu digantikan oleh laki-laki
tersebut. Inilah pendapat Al ‘Allamah Abul A’la Al Maududi Rahimahullah.
Kami memandang,
jika suatu tempat, zaman, dan situasi, tak ditemukan satu pun figur
laki-laki yang cakap menjadi pemimpin –kuat, amanah, terjaga, dan
berilmu- maka itu adalah berita duka cita bagi kaum laki-laki. Bagaimana
bisa dari sekian banyak laki-laki di sebuah negeri tidak ada laki-laki
pantas memimpin negaranya? Walau pun di level terendah ?!
Jika masih bisa
diusahakan dan ditemukan adanya laki-laki yang layak menjadi pemimpin,
walau dia sekadar yang terbaik di antara yang terburuk, maka
mendahulukan mereka adalah lebih utama dalam rangka menjalankan perintah
Allah Ta’ala secara wajar.
Demikian. Wallahu A’lam.
posted by @Adimin
Label:
INSPIRASI,
TOPIK PILIHAN