Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
March 09, 2017
posted by @Adimin
Jadilah Muslim yang Pandai Mengambil Hikmah
Written By NeoBee on 09 March, 2017 | March 09, 2017
“SESEORANG akan terus
menghadapi ujian yang sama jika setiap kali ujian datang, ia tak pernah lulus
dari ujian tersebut,” demikian ungkapan seorang pengusaha kala memberikan
motivasi.
Ia
pun menyontohkan, “Misalnya ada orang tiba-tiba sakit perut. Ia terus mencari
obat, reda. Dan, tidak lama lagi, sakit perut lagi. Loh, kenapa jadi sering
sakit perut,” urainya.
“Orang
yang seperti itu tidak mengambil hikmah. Sebenarnya ketika sakit perut pertama,
ia mestinya mengambil hikmah, cek kebiasaan makannya. Apakah makanannya
berdasarkan kebutuhan atau nurutin selera, sambel yang banyak misalnya. Jika
dia tidak mengambil hikmah, sampai kapanpun, sekalipun ia minum obat, sakit
perut itu akan terus menimpanya. Kenapa, ia bersandar pada obat dan tidak
benar-benar ingin sehat. Kalau mau sehat, ambil hikmah dan berhenti makan
secara tidak sehat,” jelasnya.
Pandangan
tersebut patut memantik kesadaran kita untuk melihat hidup ini dengan menemukan
atau mengambil hikmah dari setiap kejadian yang mewarnai kehidupan ini.
Allah
Ta’ala pun memerintahkan kita untuk berpikir dengan kisah-kisah, perumpamaan
yang Allah jabarkan di dalam Al-Qur’an.
“Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar merepa berpikir.” (QS. Al-A’raf: 176).
Dalam
bahasa umum hikmah dipahami sebagai kebijaksanaan atau bijaksana. Dan, di dalam
Al-Qur’an istilah ‘hikmah’ yang merupakan langsung dan asli dari Al-Qur’an itu
disebut sebanyak 20 kali. Hamid Fahmy Zarkasy dalam artikelnya yang berjudul
“Hikmah” menjelaskan bahwa Hikmah juga berkaitan dengan berpikir yang logis dan
mendalam. Karena itu Ibn Rusyd menerjemahkan ‘hikmah’ dengan filsafat dan hakim
dengan filosof.
Tentu
saja, makna praktis yang bisa kita ambil adalah bagaimana kita senantiasa mau
mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang mengitari kehidupan sekaligus
mengambil ibrah (pelajaran) dari kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, perubahan mindset dan perilaku bisa secara perlahan diupayakan
di dalam diri kita.
Sebagai
contoh, mari kita pelajari mengapa Abu Bakar diberi gelar Ash-Shiddiq. Aisyah
Raiyallahu ‘Anha mengatakan, “Ketika Nabi Shallallahu alayhi wasallam dalam
perjalanan ke Masjid Aqsha saat Isra Mi’raj, banyak orang membicarakannya.
Beberapa
orang yang telah beriman pun berbalik tidak percaya, lalu mendatangi Abu Bakar
dan berkata, “Apa pendapatmu tentang cerita temanmu itu? Dia mengaku telah
diperjalankan ke Baitul Maqdis semalam. Dia mengaku telah diperjalankan ke
Baitul Maqdis semalam.”
Abu
Bakar balik bertanya, Dia mengatakan demikian?” Mereka menjawab, “Ya.” Abu
Bakar menimpali, “Kalau begitu dia benar.”
“Jika
dia pergi ke Baitul Maqdis semalam dan kembali sebelum pagi hari ini, apa
engkau akan membenarkannya juga?” tanya mereka lagi.
Abu
Bakar menjawab, “Seandainya dia mengatakan lebih jauh lagi dari itu, aku akan
membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.” Hal inilah yang
menjadikan Abu Bakar dijuluki dengan Ash-Shiddiq.
Kisah
di atas memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan segala
kebenaran yang belum bisa dijangkau oleh rasio dan cara berpikir saat itu sama
sekali bukan penentu untuk mengukur kebenaran dan keabsahan kerasulan Muhammad.
Toh, dalam praktik keseharian, Nabi Muhammad adalah orang yang berkahlakul
karimah, menghendaki hidayah bagi umatnya dan tidak pernah berpikir bagaimana
mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi. Dengan logika sederhana bisa
dipahami, “Jadi apa untungnya Nabi Muhammad berbohong dan itu sangat mustahil.”
Oleh karena itu, keimanan Abu Bakar tidak pernah goyah dengan ketidaktahuan masyarakat
Arab pada umumnya.
Secara
lebih utuh, kisah Nabi Yusuf adalah kisah terlengkap di dalam Al-Qur’an yang
terurai secara keseluruhan di dalam satu surah, yang tentu saja memudahkan kita
untuk mengambil pelajaran (hikmah) di dalam kisah tersebut.
Sampai-sampai
Allah Ta’ala menegaskan
نَحْنُ نَقُصُّ
عَلَيْكَ أَحْسَنَ
الْقَصَصِ بِمَا
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
هَـذَا الْقُرْآنَ
وَإِن كُنتَ
مِن قَبْلِهِ
لَمِنَ الْغَافِلِينَ
“Kami
menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini
kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk
orang-orang yang belum mengetahui.”
(QS. Yusuf [12]: 3).
Di
antara hikmah terbesar dari kisah Nabi Yusuf adalah kesabarannya dalam
menghadapi cobaan hidup dan bahkan Nabi Yusuf berlapang dada dan memaafkan
saudara-saudaranya saat dirinya menjadi orang yang Allah angkat derajatnya.
Secara
eksplisit Allah nyatakan mengenai kisah Nabi Yusuf ini.
لَّقَدْ كَانَ
فِي يُوسُفَ
وَإِخْوَتِهِ آيَاتٌ
لِّلسَّائِلِينَ
“Sesungguhnya
ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan
saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Yusuf [12]: 7).
Bagi
orang-orang yang bertanya menunjukkan bahwa apa yang ditegaskan oleh Hamid
Fahmy Zarkasy bahwa hikmah bermakna pemikiran yang mendalam sangatlah relevan.
Oleh karena itu, Allah banyak sekali memerintahkan umat Islam untuk senantiasa
berpikir, terutama untuk memahami kekuasaan Allah Ta’ala.
Di
antara hikmah dari kisah Nabi Yusuf adalah jangan pernah putus asa dari rahmat
Allah, sekalipun rasa-rasanya hidup diterpa kesulitan secara bertubi-tubi.
Kemudian, jangan pernah kompromi dengan kebatilan, sebab sekalipun harus
menghadapi kesulitan karena konsisten di dalam kebenaran, Allah lah yang akan
berikan jalan keluar terbaik dan membalikkan keadaan.
Selanjutnya,
jangan pernah dendam, sekalipun terhadap mereka yang telah membuat hidup kita
sengsara. Maafkan dan terimalah mereka kembali. Di sana ada kebahagiaan luar
biasa.
Dengan
demikian, sebenarnya hidup seorang Muslim tidak perlu dilanda stress dan
frustasi. Sebab, apapun yang kita alami, hakikatnya solusi sudah ada di dalam
Al-Qur’an.
Pertanyaannya
adalah, apakah diri kita telah benar-benar mengambil pelajaran dengan
sungguh-sungguh mentadabburinya atau sekedar tahu tanpa pernah melakukan perenungan
dan pendalaman dari setiap ayat-ayat Allah yang terpapar di dalam Al-Qur’an.
Padahal,
mengambil hikmah itu adalah perlu karena itulah sejatinya kekuatan dari setiap
pembacaan yang kita lakukan. Dan, tentu saja hikmah itu datangnya dari Allah,
bukan kemampuan kita semata.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ
مَنْ يَشَاءُ
وَمَنْ يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ
أُوتِيَ خَيْرًا
كَثِيرًا وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلَّا
أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah
menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah).” (QS.
Al-Baqarah [2]: 269).
Semoga
Allah bimbing kita senantiasa mampu mengambil hikmah, sehingga dapat mengambil
pelajaran dan istiqomah di dalam keimanan dan kebenaran.
Wallahu a’lam
Imam Nawawi
posted by @Adimin
Label:
SLIDER,
TOPIK PILIHAN