Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
May 04, 2017
Mahmud Budi Setiawan
posted by @Adimin
Arif dalam Perbedaan
Written By NeoBee on 04 May, 2017 | May 04, 2017
Buya
sudah mengedepankan tasamuh (toleransi). Waktu itu, Hamka ikut hadir dan duduk
bersebelahan dengan tokoh NU KH Idham Chalid. Hamka tak segan untuk ikut
berdiri dan membacakan asrakai pada Maulud Diba.
PERBEDAAN
adalah
keniscayaan. Namun, ada dua perbedaan yang harus dipahami dalam fikih Islam
agar tidak salah dalam menyikapinya. Pertama, tadhâdh [perbedaan kontradiktif mengenai
sesuatu yang sudah final dalam Islam seperti akidah dan ibadah mahdhah]. Kedua,
tanawwu’
[perbedaan cabang, multi tafsir misalnya dalam hukum fikih yang teknis] (Yasir
Husain Barhami, Fiqhu
al-Khilâf, 12).
Dari
kedua perbedaan tersebut, memang perbedaan tadhâdh
(kontradiktif), tidak ada kompromi sedikit pun. Namun, pada wilayah perbedaan tanawwu’ (cabang, multi
tafsir), umat Islam diharuskan berlapang dada dan toleransi. Ironisnya, masih
banyak dari kalangan umat Islam yang belum arif dalam menyikapi perbedaan furu’iyah ini. Pada
tingkat yang lebih ekstrim, di antara mereka ada yang saling membid’ahkan,
merasa pihaknya sendiri yang paling benar, bahkan mengkafirkan orang yang
berseberangan. Hal ini tentu bisa menyulut permusuhan dan mengoyak persatuan.
Konflik
semacam ini tidak akan terjadi jika perbedaan furu’iyah ini disikapi dengan kearifan. Ada
banyak contoh sejak zaman Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam yang bisa dijadikan teladan untuk menyikapi perbedaan
demikian secara arif.
Semasa
nabi hidup misalnya –tanpa bermaksud membatasi- ada 3 peristiwa yang bisa
diangkat dalam menyikapi perbedaan furu’iyah
secara arif.
Pertama,
pasca Perang Khandak (5H), Rasulullah menginstruksikan sahabat nya, “Jangan
shalat Ashar, melainkan di Bani Quraidzah!” (HR. Bukhari, Muslim).
Para
sahabat tebelah dua dalam memahami instruksi nabi tersebut. Ada yang
memahaminya secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar kecuali sudah sampai
lokasi. Ada juga yang memahaminya secara kontekstual, sehingga memahaminya
segera melaksanakan shalat tepat waktu. Menariknya, saat kedua kelompok ini
mengadu kepada nabi, beliau sikapi dengan arif dengan tidak mencela keduanya.
Kedua,
Abu Qatadah menceritakan, suatu saat Nabi bertanya kepada Abu Bakar, “Kapan
kamu menunaikan witir?” Abu Bakar menjawab bahwa ia menunaikan witir di awal
malam. Pertanyaan yang sama juga ditujukan kepada Umar. Beliau pun menjawab,
“Aku menunaikan witir di akhir malam.” (HR. Abu Daud).
Sikap
nabi ketika melihat perbedaan antara keduanya bukan dengan menyalahkan, tapi
justru menyebutkan sisi positif masing-masing. Abu Bakar, dipuji nabi sebagai
seorang yang teguh. Sedangkan Umar bin Khathab, disanjung sebagai orang yang
kuat.
Ketiga,
‘Amr bin ‘Âsh bercerita, saat dirinya diutus dalam peperangan Dzâtus Salâsil,
pada suatu malam yang sangat dingin, ia bermimpi hingga junub. Saat bangun
pagi-pagi, beliau mengganti perintah mandi junub dengan tayamum. Pada saat itu
juga, ia menjadi imam shalat Shubuh. Kejadian ini diadukan langsung kepada
Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam oleh sahabat yang tak sependapat. Ketika
diklarifikasi nabi, Amru bin Ash berargumen dengan Surah An-Nisa [4]: 29, yang
intinya tak boleh membunuh diri karena Allah Maha Penyayang (HR. Abu Daud,
Ahmad). Setelah mendengar argumentasinya, Rasulullah pun tertawa tanpa
mengatakan sesuatu apapun –sebagai taqrir
(pengakuan)- bahwa apa yang dilakukan Amru ini bukan perbuatan yang salah.
Jamaluddin
al-Qasimi dalam buku Qawâ’idu
al-Tahdîts min Funûni Mushthalah al-Hadîts (371) menuturkan bahwa
perbedaan di kalangan sahabat dan tabi’in dalam masalah furu’iyah sudah biasa.
Di antara mereka ada yang membaca basmalah dalam shalat, ada pula yang tidak;
ada yang mengeraskan basmalah, ada juga yang tidak’; ada yang qunut pada waktu
shalat Shubuh, ada pula yang tidak melakukannya; ada yang berwudhu setelah
berbekam, ada pula yang tidak berwudu. Uniknya, meski terjadi perbedaan, mereka
tetap tidak menghalangi mereka shalat secara berjama’ah.
Dikisahkan,
Abu Hanifah dan penganut madzhab Syafi’i serta yang lainnya shalat di belakang
imam-imam Madinah yang bermadzhab Maliki (meskipun mereka tidak membaca
basmallah baik secara lirih maupun keras). Harun Ar-Rasyid pernah menjadi Imam
shalat –padahal ia telah berbekam- waktu itu Abu Yusuf menjadi makmumnya dan
tak mengulangi shalatnya.
Dalam
kisah lain disebutkan bahwa pernah Abu Yusuf dan Muhammad ketika bertakbir
dalam Idul Fithri keduanya bertakbir seperti pendapat Ibnu Abbas, ini karena
Harun Ar-Rasyid suka terhadap takbir kakeknya (Ibnu Abbas). Lebih dari itu,
pernah Imam Syafi’i shalat Shubuh tanpa qunut dekat kuburan Abu Hanifah sebagai
wujud adab beliau terhadap Abu Hanifah.
Ada
kisah lain yang cukup menarik. Seusai melaksanakan shalat Jum’at, Imam Abu
Yusuf diingatkan jama’ah bahwa di sumur dekat kamar mandi (yang beliau pakai
mandi sebelum Jum’at), terdapat bangkai tikus. Mendengar ini beliau
berkomentar, “Kalau begitu, kita mengambil pendapat saudara kita Ahli Madinah,
“Jika air mencapai dua qulla, maka kotor [najis].” (HR. Ahmad).
Lihat
bagaimana mereka menyikapi perbedaan furu’iyah,
tidak ada yang saling mencela bahkan sinis terhadap pendapat yang
berseberangan.
Di
Indonesia sendiri, sejak sebelum kemerdekaan perbedaan furu’iyah memang
menimbulkan selalu ketegangan. Terbelahlah umat Islam pada waktu itu dengan
istilah kaum tradisionalis dan kaum modernis. Perbedaan tersebut dampaknya
masih berpengaruh hingga saat ini. Padahal, kalau diamati secara cermat,
perbedaan mereka kebanyakan pada masalah furu’iyah
bukan prinsipil.
Melihat
fenomena demikian, Tjokroaminoto dan Agus Salim menginisiasi Kongres
Islam pertama di Cirebon 1922 untuk merajut Ukhuwah Islamiah dan tidak
disibukkan dengan Urusan Khilafiyah (Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama Jejak dan
Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, 187).
Contoh
lain dari Pahlawan Muslim Indonesia dalam menyikapi perbedaan furu’iyah ialah
seperti yang dipraktikkan Buya Hamka. Dalam buku Mengenang 100 tahun Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (Hamka), disebutkan bahwa Hamka adalah sosok yang mengutamakan
silaturahim ketimbang meributkan perbedaan tak prinsip. Ada beberapa contoh
yang menunjukkan toleransi hamka dalam menyikapi perbedaan furu’iyah.
Pertama,
ketika KH Abdullah Syafi’i menunaikan shalat Jum’at di Masjid Al-Azhar. Waktu
itu, Buya Hamka sudah terjadwal sebagai khatib. Melihat kedatangan KH Abdullah
Syafi’i, seketika Buya “memaksa” beliau menggantikan dirinya. Buya juga meminta
adzan dikumandangkan dua kalisebagaimana tradisi Nahdhiyin yang dipegang
Syafi’i.
Kedua,
sejak dibukanya Masjid Al-Azhar, Buya sudah mengedepankan tasamuh (toleransi).
Waktu itu, Hamka ikut hadir dan duduk bersebelahan dengan tokoh NU KH Idham
Chalid. Hamka tak segan untuk ikut berdiri dan membacakan asrakai pada Maulud
Diba. (Shobahussurur, 2008).
Ketiga,
pada saat Hamka dan Idham Chalid berada dalam satu pesawat menuju Mekah.
Masing-masing bergantian menjadi imam shalat Shubuh. Saat Idham menjadi
imam, beliau tidak membaca qunut karena ada Hamka di belakangnya. Demikian juga
Hamka, saat menjadi imam, beliau membaca qunut karena ada Idham Chalid di
belakangnya. (Abdillah Mubarak Nurin, Islam Agama Kasih Sayang, 86).
Ada
pula contoh dari tokoh nasional yang masih hidup, yaitu: Amin Rais. Tokoh yang
pernah menjabat menjadi Ketua Umum Muhammadiyah ke-12 (1995-2000) ini sangat
arif dalam menyikapi perbedaan furû’iyyah.
Zaim
Uchrowi dalam buku Mohammad
Amien Rais: Memimpin dengan Nurani menceritakan bahwa meski lahir
dari kultur Muhammadiyah, Amin dikatakan sebagai sosok yang fasih dalam membaca
qunut. Ia selalu membaca doa qunut saat menjadi umam penganut Islam ‘kultural’
saat shalat Subuh (2004: 146). Bahkan, masih menurut buku yang sama, beberapa
kali saat berkunjung ke pesantren tradisional, beliau diminta menjadi imam
shalat Shubuh. Jika kebiasaan di tempat itu memakai doa qunut, maka belia pun
juga membaca doa qunut (2004: 85).
Dari
beberapa contoh di atas, perbedaan furû’iyah
memang harus disikapi secara arif. Perbedaan demikian seyogianya tidak merusak
persatuan. Justru umat Islam saling berlapang dada, toleran dan menyikapinya
dengan kearifan. Hal ini persis yang dicontohkan nabi, para sahabat, tabiin,
ulama hingga tokoh Islam negeri ini.
Sebagai
penutup, pernyataan Ibnu Najim (ulama bermadzab Hanafi) berikut bisa dicamkan
baik-baik dalam menyikapi perbedaan furû’iyah secara arif, “Jika kita
ditanya tentang madzhab kita oleh orang-orang yang berbeda dengan kita dalam
masalah furu’ (cabang fikih), kita wajib menjawab bahwa madzhab kita shawab
(benar) tapi ada kemungkinan salah, sedangkan madzhab yang menyelisihi kita bisa
jadi khatha` (salah) tapi bisa jadi benar.” (al-Asybâh wa al-Nadhâir, Ibnu
Najim 330). Wallâhu a’lam.
posted by @Adimin
Label:
INSPIRASI,
OASE,
SLIDER,
TOPIK PILIHAN