Umat
Islam tak boleh pengangguran, harus ada kemampuan yang dikuasai, sehingga
dengan itulah bisa ikut dalam 'jihad' dan dakwah
ISLAM
mengajarkan
umatnya untuk mendiri dan bekerja. Karenanya banyak pesan-pesan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam
yang memerintahkan umatnya bekerja, memakan makanan yang lebih baik
dari hasil usaha tangannya sendiri, bukan menjadi peminta-minta.
Bahkan
pernah suatu hari Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam memerintahkan mencari kayu dan menjualnya di
pasar itu lebih baik dari meminta-minta.
Makna
secara lebih luas dari penekanan beliau bagi umat Islam tersebut dapat
diartikan dengan dorongan; milikilah skill
(keahlian) yang akan membuat dirimu terampil dalam skill praktis itu lebih baik diutamakan
daripada berpikir untuk meminta-minta dan menyandarkan hidup pada manusia.
Mengapa
demikian? Ternyata secara makro, banyaknya SDM yang menganggur akan berdampak
buruk pada stabilitas sebuah bangsa dan negara.
Nicolas
Wyman, CEO dari The
Institute Workplace Skill and Innovation menegaskan bahwa sebuah
negara yang penduduknya banyak menjadi pangangguran akibat pemutusan hubungan
kerja akan mendorong sebuah negara pada masalah (ekonomi) yang gawat. Terlebih
jika mayoritas penduduknya ternyata tidak memiliki practical skills yang dibutuhkan,
jelas itu sangat berbahaya.
Dalam
sebuah hadits Nabi menerangkan, “Hampir-hampir
kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran.” (HR. Baihaqi).
Jika
kita perhatikan, Nabi Muhammad sejak kecil telah berusaha membekali diri dengan
kemampuan praktis guna menunjang kebutuhan hidupnya. Mulai dari menggembala,
berdagang, hingga menjadi pebisnis ulung di seluruh Jazirah Arab.
Demikian
pula ketika kita perhatikan Nabi Ibrahim yang ahli dalam membangun, Nabi Musa
yang juga ahli dalam menggembala, Nabi Daud yang memiliki kemampuan pandai
besi, serta Nabi Yusuf yang ahli keuangan atau ahli ekonomi.
Artinya,
tidak sepatutnya seorang Muslim membiarkan waktunya berlalu tanpa mengasah skill untuk menjadi
terampil sehingga bisa hidup secara mandiri.
Lantas,
apa yang harus dilakukan agar diri mampu menjadi insan terampil dan bermanfaat
bagi sesama?
Pertama, ingat pesan Nabi bahwa belajar itu
dari dalam kandungan hingga liang lahat. Artinya, jangan pernah mengenal kata
stop dalam belajar alias menuntut ilmu.
Analoginya
sederhana, setiap buah yang telah sampai pada titik kematangan, jika tidak
dimanfaatkan dengan dikonsumsi segera, maka buah itu akan membusuk dan tidak
bernilai guna bagi kehidupan. Demikian pula manusia, ketika dirinya merasa
telah bisa dan berhenti belajar atau berinovasi, maka dirinya akan ditinggalkan
zaman.
Kedua, mengenali talentaa diri dan
mengasahnya
Beruntung
jika diri telah mengetahui talenta yang dimiliki, tinggal mengasahnya setiap
hari. Belajarlah dari pohon besar. Sekiranya pohon itu kala baru ditanam
dipindah-pindah, tidak mungkin akan tumbuh besar dengan akar-akar yang besar.
Demikian pun manusia, jika telah mantap dengan talenta yang dimiliki maka
asahlah setiap hari.
Seorang
Cristiano Ronaldo bisa menjadi bintang sepakbola, karena memang dalam 24 jam
sepanjang hayatnya, akal dan kakiknya, bahkan perasaannya tidak bisa dilepaskan
dari sikulit bundar.
Pertanyaannya
bagaimana kalau belum tahu talentaa dirinya?
Kebanyakan
orang memandang talenta adalah sesuatu yang bersifat genetika, sehingga itu
sudah ada dari sononya. Padahal tidak.
Talenta
dimulai dengan terjadinya pertemuan singkat dan kuat yang memicu dan memacu
motivasi diri yang berhubungan dengan mungkin hobi atau kegemaran tertentu yang
menjadi identitas diri dengan orang atau pun grup yang mendukung mood diri melejit,
sehingga muncul kesadaran bahwa diri bisa melakukan sesuatu yang jika
diteruskan dan ditajamkan akan menajamkan talenta yang tersembunyi di dalam
diri.
Ketiga,
jadikan skill
diri sebagai media jihad dan dakwah
Di
dalam Al-Qur’an perintah berjihad itu ada dua, pertama dengan harta dan kedua
dengan jiwa. Dengan harta (amwal)
artinya umat Islam tidak boleh jadi pengangguran, mesti ada kemampuan praktis
yang dikuasai, sehingga dengan itulah dirinya bisa ikut serta dalam ‘jihad’ dan
dakwah.
Ada
yang sibuk bekerja dan karena itu tidak bisa berdakwah. Maka harta yang
dimiliki bisa disumbangkan untuk dakwah, mendukung kiprah para dai dalam
dakwahnya. Dan, mereka yang dianugerahi kekayaan berkat skill yang diasah sejak
lama, maka dengan harta itulah bisa terlibat dalam jihad.
Dengan
demikian, menjadi Muslim terampil pada dasarnya adalah kebutuhan, agar diri tak
menjadi beban orang lain dengan hanya bisa berpangku tangan. Jadi, belajarlah
dan asahlah skill
yang ada pada diri untuk mendapatkan keridhoan Allah Ta’ala semata. Wallahu a’lam
posted by @Adimin
Post a Comment