Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
June 04, 2015
Oleh: A. Kholili Hasib
posted by @Adimin
“Islam Nusantara”: Islamisasi Nusantara atau Menusantarakan Islam? [2]
Written By dBisnis on 04 June, 2015 | June 04, 2015
Dalam bersikap terhadap tradisi Nusantara, ada yang diterima dan ada
yang harus ditolak. Budaya atau kepercayaan lokal yang tidak sesuai
dengan pokok ajaran Islam
PADAHAL aliran kebatinan memiliki cirri iqtha’usy syari’ah (menggugurkan
kewajiban syariah). Pesantren Sidogiri Pasuruan menerbitkan buku yang
khusus mengkaji masalah ini berjudul Bahaya Aliran Kebatinan (Tim
Penulis Pustaka Sidogiri, 1432 H).
Di halaman 190 ditulis “Ciri-ciri umum
kebatinan itu, baik yang ada di Indonesia maupun yang di bagian lain
dunia Islam, adalah iqtha’usy syari’ah, membatalkan ajaran-ajaran agama.
Seperti menggugurkan kewajiban ibadah salat, puasa, zakat dan
lain-lain. sementara semua larangan agama dianggap tidaka dad an boleh
saja dilakukan. Karenanya Imam Abu Nu’aim al-Asfhihani, ulama sufi dan
hafidz abad kelima Hijriyah, menganggap kebatinan itu mubahiyyun, serba
boleh melakukan apa saja, seperti beliau tulis dalam pembukaan kitab Hilyatul Auliya’ “.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari juga berpendapat bahwa aliran kebatinan mubahiyyun termasuk aliran yang sesat. Dalam kitabnya Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah beliau menulis: “Di antara aliran yang berkembang setelah tahun 1330 H, adalah aliran Ibahiyyun
(serba boleh), yang berpendapat, bahwa apabila seseorang telah mencapai
puncak kecintaan kepada Allah, hatinya bersih dari kelalaian, dan telah
berketetapan memilih keimanan daripada kekufuran, maka perintah dan
larangan Allah menjadi gugur darinya dan Allah tidak akan memasukkannya
ke neraka meskipun melakukan dosa-dosa besar. Sebagian mereka juga
mengatakan, bahwa ibadah-ibadah lahiriyah gugur dari kewajibannya, dan
ibadah yang harus dilakukannya cukup merenung dan memperbaiki akhlak
batin saja. Sayyid Muhammad berkata dalam Syarh Ihya Ulumuddin: ‘Pedapat
ini merupakan kekufuran, zidiq dan kesesatan’. Memang kaum Ibahiyyun
selalu ada sejak masa dulu, mereka pada umumnya orang-orang bodoh,
tersesat dan tidak memiliki tokoh yang mengetahui ilmu syar’i secara
memadai” (KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 11-12).
Berdasarkan hal itu, dalam bersikap
terhadap tradisi Nusantara, ada yang diterima dan ada yang harus
ditolak. Budaya atau kepercayaan lokal yang tidak sesuai dengan pokok
ajaran Ahlus Sunnah ditolak.
Di sinilah diperlukan ilmu alat ushul fikih. Dalam Islam, ada aspek ushul dan ada aspek furu’. Ushul dalam Islam bersifat tetap, final dan qath’i. sedangkan aspek furu’
merupakan medan ‘kreatifitas’ ulama mujtahid. Bisa terjadi perbedaan
antara ulama satu dengan ulama yang lain. Kewajiban shalat merupakan
perakar ushul. Barangsiapa yang mengingkarinya maka dia kufur. Budaya
atau aliran kepercayaan apa saja yang membolehkan tidak shalat fardhu, tidak boleh dipelihara.
Meskipun budaya itu adalah produk tradisi Nusantara.
Maka, jika ada sekelompok orang
mentradisikan shalat dengan berbahasa daerah misalnya, maka tetap
dihukum sebagai kelompok sesat. Cara-cara seperti ini tidak dilakukan
Walisongo.
Sedangkan apa yang dilakukan para dai
Walisongo adalah memasukkan pandangan hidup Islam kepada tradisi-tradisi
yang bisa diafirmasi. Salah satu keberhasilan para dai penyebar agama
Islam di Nusantara adala melalui bahasa. Proses pengislamannya — salah
satunya — dengan memasukkan term-term Arab-Islam ke dalam bahasa lokal.
Ada banyak kosa kata bahasa Melayu dan Indonesia yang diserap dari
bahasa Arab. Misalanya kosa kata ‘akal’, ‘musyawarah’, ‘adil’, ‘adab’,
‘akhlak’, ‘dewan’, ‘kalimat’, ‘khutbah’, ‘jama’ah’, ‘kursi’, ‘zahir’,
‘batin’, ‘kalbu’, ‘kuliah’, dan lain sebagainya.
Keberhasilan mengislamkan bahasa oleh para
dai terdahulu dicatat oleh Prof. al-Attas sebagai keberhasilan yang
mengalahkan pencapaian Hindu-Budha. Karena mereka berhasil mengangkan
bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan di kepulauan Nusantara (M. Naquib
al-Attas, Historical Fact and Fiction, hal.xvi).
Sementara bahasa kaum Hindu, sansekerta,
tidak popular kecuali di kalangan istana dan para pemuka agama mereka
saja. Sementara bahasa Melayu yang telah banyak menyerap istilah
Arab-Islam itu lebih merakyat area penyebarannya luas seiring dengan
luasnya dakwah Islam di bumi Nusantara.
Dikenal pula di sini jenis tulisan
Arab-Jawi yang sering disebut tulisan Pegon (pego). Tulisan berbahasa
jawa atau sunda tapi dengan menggunakan huruf Arab. Jenis tulisan ini
populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya,
sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi
populer di Indonesia – hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren. Jenis
tulis ini merupakan keunikan Muslim di Nusantara warisan para dai
penyebar Islam terdahulu.
Pakaian orang-orang Muslim di Indonesia
dan Malaysia juga memiliki kekhasan. Mereka memakai sarung, baju takwa
dan songkok Nasional (songkok berwarna hitam). Baju takwa mirip dengan
baju gamis Arab yang dipotong sampai pinggang. Konon nama ‘baju takwa’
ini diambil dari firman Allah Subhanahu Wata’ala, ..wa libasut takwa..
Blangkon, juga disebut-sebut tidak lepas dari simbol Arab-Islam yaitu
berasal dari serban imamah, yaitu kain panjang yang dililitkan di kepala
dengan model tertentu. Di tanah jawa, serban imamah itu dibuat praktis,
yaitu lilitannya dilekatkan supaya dengan mudah bisa dilepas dan
dipakai lagi. Karena di Jawa, maka kemudian kainnya menggunakan batik.
Sehingga kita bisa memperhatikan, serban imamah yang biasa dipakai oleh
para ulama Hadramaut Yaman atau habaib Indonesia bentuknya hampir mirip
dengan blankon.
Simbol-simbol dan tradisi di Nusantara
yang berlaku di kalangan Muslim Nusantara tersebut merupakan produk
Islamisasi. Kita lebih tepat menyebut tradisi Nusantara yang
terislamkan. Bukan agama Islam yang ternusantarakan. Sebab, pengaruh
Islamnya lebih kuat dan mengakar bahkan mengandung filosofi yang
berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Setelah terislamkan, yang terlihat adalah warna Islamnya bukan warna Hindu-Budha atau animisme-dinamisme.
Hasilnya, Dari abad ke-15 sampai ke-17 di bumi Nusantara terlihat perubahan pemikiran dalam pandangan hidupnya (worldview),
yang melahirkan filsuf, ulama’ dan pemikir tingkat internasional dengan
karya-karya yang berbobot. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan:
“Abad-abad
ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan
sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat
tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara.
Penterjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Melayu telah
diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan
terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli
dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya telah
diselenggarakan pada zaman ini juga” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45).
Maka, cara yang telah dilakukan Walisongo
harus dilanjutkan dakwah dan perjuangannya. Dakwah mereka adalah
memasukkan nilai-nilai Tauhid ke dalam tradisi Muslim Indonesia, bukan
mengindonesiakan makna Tauhid. Jika memasukkan nilai Tauhid, maka inilah
yang dinamakan Islamisasi. Manakala menusantarakan makna Tauhid, maka
ini bisa berujung kepada liberalisasi Islam. Sejak berabad-abad lamanya
Indonesia merupakan bumi Aswaja, bukan bumi Liberal. Tiga setengah abad
Indonesia dijajah Belanda, namun Indonesia masih berpegang pada tradisi
Islam, bukan tradisi Barat-Kristen. Hal ini menunjukkan akar Islamisasi
di bumi Nusantara ini sangat kuat.
Dan yang juga penting, Al-Attas mencatat,
bahwa kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan
peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. Melayu kemudian
menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur
terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian
berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional (Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, hal. 178).
Oleh: A. Kholili Hasib
hidayatullah
posted by @Adimin
Label:
FAKTA,
INSPIRASI,
TOPIK PILIHAN