وَهُوَ
الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ
الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
”Dan Dia-lah yang menjadikan kamu
sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
diantara kamu di atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS:Al-An’am [6]:165).
SEORANG anak bertanya kepada ibunya; “Mak, mengapa
kita miskin?” Dengan perasaan yang mendalam sang ibu menjawab: “Nak,
hidup ini seperti jalan-jalan di dalam Supermarket. Semua orang boleh
memilih dan membawa barang apa saja yang ia inginkan. Siapa yang membawa
tiga coklat, ia akan membayar se-harga tiga coklat, siapa yang hanya
membawa satu coklat, iapun membayar satu coklat, sementara orang miskin
tidak kebagian coklat itu nak. Oleh sebab itu, di pintu kasir ia tidak
diperiksa. Orang miskin nanti, akan cepat pemeriksaannya di hari kiamat
sedangkan orang kaya, akan lambat pemeriksaannya.”
Anak itupun terdiam mendengar jawaban sang ibu. Meskipun analogi
lewat cerita di atas tidak seluruhnya benar-karena proses hisab tetap
mempertimbangkan tingkat keshalehan masing-masing, tapi paling tidak
menghadirkan satu pesan kepada kita, bahwa orang yang diberikan nikmat
dalam bentuk harta oleh Allah Subhanahu Wata’ala., akan dimintai
pertanggungjawaban secara khusus; bagaimana mereka mendapatkannya dan
kemana atau untuk apa mereka belanjakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Tidaklah
bergeser kaki seorang hamba (menuju batas shiratal mustaqim) sehingga ia
ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia
amalkan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan
badannya untuk apa ia gunakan.” (HR:Tirmidzi Ad-Darimi).
Terkait khusus dengan pembicaraan tentang sikap kita terhadap harta,
ada satu hal penting yang harus senantiasa kita perhatikan, yaitu agar
kita memiliki kehati-hatian yang tinggi. Kita harus senantiasa memupuk
dan menyuburkan rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Bahwa ketika
kita mendapatkannya dari sumber yang haram, meskipun tujuannya untuk
kebenaran, maka tidak layak bagi kita kecuali api neraka.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu.” (QS: At-Takaatsur [102]: 7).
Ibnu Abbas ra dan Ibnu Jarir At Thabari menjelaskan ayat di atas,
bahwa bukan hanya nikmat dalam bentuk harta saja yang akan ditanya dan
dimintai peranggungjawaban dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala, akan
tetapi semua nikmat yang dianugerahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala
kepada kita, akan ditanya untuk apa kita pergunakan.
Karena itu, seyogyanya dari sejak dini kita menanamkan kehati-hatian
kepada diri dan keluarga kita dalam masalah halal-haram, agar kita tidak
termasuk yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Nanti akan datang
suatu masa, dimasa itu manusia tidak peduli dari mana harta itu
diperolehnya, apakah dari sumber yang halal ataukah dari sumber yang
haram.” (HR: Bukhari).
Kaya adalah takdir bukan pilihan
Apapun keadaan kita di dunia ini, maka itu adalah ketentuan Allah
Subhanahu Wata’ala, yang harus kita syukuri dan mau tidak mau harus
dijalani. Meskipun diberikan kebebasan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.,
untuk berusaha merubah keadaan kita, akan tetapi hasil akhirnya ternyata
tidak membawa perubahan, maka itulah ketentuan yang telah digariskan
oleh Allah Subhanahu Wata’ala., dan harus kita syukuri sebagai karunia
darinya.
Allah Subhanahu Wata’ala, berfirman;
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ
فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ
سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian diantara kamu di atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS:Al-An’am [5]:165).
Jelaslah bahwa keadaan (miskin-kaya), bukanlah pilihan daripada
manusia, akan tetapi memang kehendak dari Allah Subhanahu Wata’ala.,
dengan tujuan untuk menguji yang kaya-dengan harta, popularitas dan
segudang ke-sukses-annya yang lain, sejauh mana ia rendah hati dihadapan
manusia dan seberapa ikhlas ia mendermakan hartanya di jalan Allah
Subhanahu Wata’ala. Dan si-miskin, sampai titik mana ia bersabar dengan
keterbatasan yang dimilikinya dan sejauh mana ia tetap berbaik sangka
kepada Allah Subhanahu Wata’ala, di tengah setumpuk kesusahan,
penderitaan yang sengaja dikirimkan oleh Allah untuknya. Itulah sikap
manusia seharusnya dalam merespon nikmat dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Walaupun sudah dijelaskan bahwa dua keadaan itu merupakan ketentuan
dari Allah Subhanahu Wata’ala, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
memahami hal tersebut. Sehingga mereka berasumsi tanpa didasari
ke-iman-an kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Hal ini digambarkan oleh
Allah dalam firman-Nya;
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata:
‘Tuhanku telah memuliakanku’. Dan apabila Tuhannya mengujinya lalu
membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.”(QS: Al-Fajr:15-16).
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu Wata’ala juga menggambarkan sikap manusia dalam merespon keadaan yang diberikan kepadanya; “Maka
apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami
berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi
nikmat itu hanyalah karena kepintaranku’. Sebenarnya itu adalah ujian,
tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS: Az-Zumar: 49).
Di abad-abad terdahulu orang banyak terjerumus pada paham eksistensialisme yang mengusung konsep ‘innamal ‘iisyu fii bahiimatul ladzdzati’ (bahwa kepuasaan adalah di atas segala-galanya), itulah sebabnya mereka menumpuk-numpuk materi demi kepuasan semata.
Secara
psikologi, kita lebih siap menerima kesuksesan, ketimbang mengadapi
kegagalan, kita lebih sanggup dan percaya diri menjadi orang kaya,
ketimbang diuji dengan kondisi ke-miskinan. Coba kita berkaca pada
seorang anak yang bernama Mark. Ia adalah salah satu finalis dalam
sebuah ajang balap mobil mainan. Diantara keempat peserta yang masuk
final itu, mobil Mark lah yang paling tak sempurna, beberapa anak
menyangsikan kekuatan mobilnya untuk berpacu dengan mobil lainnya.
Namun Mark bangga dengan mobil hasil modifikasinya sendiri itu. Tibalah saat yang dinantikan, setiap anak bersiap di garis start. Namun,
sesaat sebelum lomba dimulai ia memanjatkan doa dengan mata terpejam,
bibir berkomat-kamit dan wajah tertunduk ke bawah. Lalu, semenit
kemudian ia berkata ‘iya, aku siap! Perlombaanpun berjalan seru dihiasi
tepukan tangan dan sorak-sorai yang meriah dari para penonton, tali
lintasan finish pun terlambai dan yang memenagkan perlombaan itu adalah
Mark. Saat pembagian pialapun tiba, sebelum piala diserahkan, ketua
panitia bertanya kepada Mark, “tadi kamu berdoa untuk diberikan
kemenangan bukan?” “Tadi saya memang berdoa pak, tapi bukan untuk
diberikan kemenangan, melainkan supaya Tuhan tidak membuatku menangis
dan bersedih jika aku kalah.” Begitu bijaksananya Mark ketika
memanjatkan doa kepada Tuhan.
Mungkin, telah banyak doa yang kita panjatkan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, agar Allah mengabulkan setiap keinginan kita, mungkin juga
kita terlalu sering bermohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala untuk
menjadikan kita orang nomor satu dilingkungan kita, mungkin terlalu
sering juga kita berdoa agar kiranya Allah Subhanahu Wata’ala
memindahkan batu ujian yang menghadang di depan mata. Bukankah yang kita
butuhkan bimbingan-Nya saat kejayaan itu kita raih? Juga panduan
dari-Nya yang kita butuhkan dalam hidup di dunia ini?
Sikap Terhadap Nikmat Allah
Seorang mukmin sejati keadaan itu tidaklah menjadi alasan untuk jatuh
tersungkur meratapi nasibnya atau membusungkan dada membanggakan
dirinya, karena ia sadar bahwa itu adalah ketentuan dari Allah Subhanahu
Wata’ala, yang harus disyukuri, yang ia cari sesungguhnya dalam
kehidupan adalah ‘nilai’. Ia akan berusaha bagaiamana dengan keadaan itu
mengantarkannya pada ‘nilai’ yang dapat membuatnya berharga dihadapan
Allah Subhanahu Wata’ala.
Adalah Umar Bin Khattab ra, salah seorang sahabat nabi Shallallahu
‘alaihi Wassalam., yang dianugerahi kekayaan. Dalam buku “Fiqh Ekonomi”
fakta sejarah membuktikan bahwa Umar memiliki 70.000 ladang pertanian,
yang kalau dihargakan pada masa itu, maka perladang pertanian seharga
160 juta, dan kalau dijumlah 70.000X160 juta, maka kekayaan Umar= 11,2
Triliun. Sebuah angka yang fantastis untuk sebuah usaha.
Tapi, demikian kayanya Umar, ia tetap zuhud dan tidak tertipu denga
dunia. Kehidupan konsumsinya menggunakan jalan-jalan syariah dan
kehidupan produksinya juga memakai sistem syariah. Ia sangat yakin apa
yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, “Barang
siapa yang himmah (tujuan)nya adalah negeri akhirat, Allah akan
mengoptimalkan kekuatannya, dan menjadikan kekayaan di hatinya, dan
dunia akan mendatanginya dengan hina. Namun, barangsiapa yang niatnya
hanya mencari dunia, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan menceraiberaikan
urusan dunianya dan menjadikan ke-fakir-an diantara kedua pelupuk
matanya, dan dunia tidak akan menghampirinya kecuali hanya sebesar apa
yang telah ditakdirkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, Baihaqi, Ad-Darimi).
Wallahu a’lam bish-shawab.
*/Penulis, dr Hamdi Syahril,
posted by Adimin