pic

Powered by Blogger.

Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi

Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...

Search This Blog

Latest Post

Sikap Fraksi PKS Tentang Putusan Provisi Pengadilan Jakarta Selatan Terkait Kasus Sdr. Fahri Hamzah yang Melewati Kewenangannya dan Menyandera Keputusan Politik DPR

Written By mediapkspadang on 17 May, 2016 | May 17, 2016

Disampaikan oleh Almuzzammil Yusuf (A-93) dalam Sidang Paripurna 17 Mei 2016 

Putusan provisi Pengadilan Perdata (PMH) PN Jakarta Selatan telah mengejutkan karena pengadilan perdata (PMH) telah bertindak lebih dari kewenangannya. Berdasar undang-undang partai politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan Perubahannya UU No. 2 Tahun 2011 tidak sama sekali disebutkan bahwa pengadilan PMH merupakan mekanisme penyelesaian perselisihan internal partai politik. Para pembentuk UU Parpol sudah menyediakan mekanisme penyelesaian perselisihan internal partai politik baik itu berkenaan dengan kepengurusan, pelanggaran hak anggota partai politik, pemecatan anggota dan lain-lain (Lihat Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2011). 

Dalam kasus ini dimana terjadi pemecatan, menurut UU Parpol, institusi yang dapat mengadili adalah Mahkamah Partai, Pengadilan Negeri dan langsung Kasasi ke Mahkamah Agung. Bukan dengan mengajukan ke pengadilan negeri sebagai kasus PMH sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang struktur penyelesaiannya juga berbeda yaitu PN, banding di PT dan Kasasi ke MA. Jadi terdapat dua rezim hukum yang berbeda dengan mekanisme penyelesaian yang berbeda pula. 

Pembentuk UU Parpol menyadari bahwa penyelesaian perselisihan internal partai politik harus dilakukan dengan cara yang berbeda dengan berbagai pembatasan yang berbeda. Misalnya, mekanisme yang terdapat dalam UU Parpol memberikan batas waktu penyelesaian masing-masing yaitu 60 hari di Mahkamah Partai, 60 hari di PN dan 30 hari di Kasasi MA (Lihat Pasal 32 dan 33 UU Parpol). Dengan demikian penyelesaian perselihan internal partai politik akan diselesaikan dengan cepat karena memang perselisihan jenis ini tidak boleh berjalan panjang karena dapat menyandera proses politik yang memang membutuhkan kepastian segera. 

Pengadilan perdata PMH hanya berwenang sebatas sebagai pengadilan untuk memutus perkara perdata saja. Pengadilan PMH tidak berwenang mengadili materi perkara perselisihan internal partai politik karena substansi perkara perselisihan partai politik merupakan ranah hukum publik. Pengadilan perdata secara tegas memiliki kewenangan yang berbeda, pengadilan perdata tidak dapat menyelesaikan perselisihan internal partai politik karena terdapat aspek hukum yang berbeda antara hak-hak keperdataan pribadi (naturlijk person) dalam hukum perdata dengan hak-hak seseorang sebagai anggota partai politik. Para pihak yang bersengketa dalam perselisihan internal partai politik tidak murni merepresentasikan diri mereka sebagai pribadi kodrati melainkan sebagai recht person menurut Pasal 3 ayat 1 UU 12 Tahun 2011. 

Jika ingin gunakan PMH, gunakan untuk menuntut ganti kerugian saja dan itu bisa dilakukan setelah kasus perselisihan internal parpol-nya diselesaikan.

Jadi putusan pengadilan PMH dalam provisinya kemarin jelas-jelas melewati kewenangannya. Apalagi sampai mencampuri mekanisme kelembagaan di DPR seperti pergantian pimpinan yang jelas menurut UU MD3 berjalan melalui proses politik tanpa perlu putusan pengadilan. Dalam hal partai politik ingin mengganti anggotanya yang duduk sebagai pimpinan DPR maka yang berhak menguji kehendak partai itu forumnya adalah rapat paripurna, tidak terkait dengan putusan pengadilan. 

Untuk itu, DPR melalui tim hukum yang dibentuk berdasarkan Pasal 31 ayat (2) huruf h Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib diatur bahwa “membentuk tim atas nama DPR terhadap suatu masalah mendesak yang perlu penanganan segera setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi dan pimpinan komisi yang terkait”. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (2) huruf h tersebut, kami sebagai pimpinan FPKS DPR berhak untuk dilibatkan dan diajak berkonsultasi dalam membicarakan hal dimaksud. 

Tim Hukum tersebut perlu mengkaji untuk mendudukan putusan provisi Pengadilan PN Jaksel terkait Sdr Fahri Hamzah agar tidak mengambil kewenangan DPR yang diatur dalam UU MD3 dan Tatib DPR dalam proses pemberhentian anggota dan atau penggantian jabatan Pimpinan DPR RI. 

Terkait dengan surat FPKS DPR RI perihal usul penggantian Pimpinan DPR atas nama Sdr. Fahri Hamzah, S.E. selaku Wakil Ketua DPR RI, FPKS DPR RI telah melakukan kajian hukum berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Peraturan DPR tentang Tata Tertib, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Pada pokoknya FPKS berpandangan bahwa penggantian Pimpinan DPR RI adalah hak Fraksi dan Partai terkait. Gugatan hukum yang dilakukan oleh Sdr. Fahri Hamzah, S.E. hanya berdampak pada statusnya sebagai Anggota DPR RI bukan Pimpinan DPR RI. Untuk melengkapinya kami telah membuat kajian singkat mengenai hal tersebut sebagaimana terlampir dalam “Tinjauan Yuridis FPKS DPR Atas Usul Pemberhentian Sdr. Fahri Hamzah selaku Anggota DPR dan Wakil Ketua DPR.” Kajian ini merupakan satu-kesatuan bagian yang tidak terpisahkan dari surat ini. Melalui Pimpinan DPR RI kami meminta agar Tinjauan Yuridis Fraksi PKS ini disampaikan kepada semua Fraksi di DPR. [pks.id]


posted by @Adimin

Masa Depan Anak Korban Kejahatan Seksual Masih Minim Perhatian

Jakarta (17/5) - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah meminta pemerintah untuk juga memperhatikan nasib dan masa depan anak korban kejahatan seksual, tidak hanya berfokus pada pemberian hukuman kepada pelaku.

"Upaya memperjuangkan pemberatan hukuman dan pengenaan pasal berlapis pada pelaku kejahatan seksual pada anak memang baik untuk diberikan sebagai salah satu bentuk penguatan pemberian efek jera kepada pelaku. Namun di saat yang bersamaan pemerintah tak boleh abai pada hak korban kejahatan yang sudah menjadi amanah Undang-Undang namun belum terlaksana," ujarnya, Selasa (17/5/2016).

Menurutnya, korban kejahatan seksual ini meski sudah mengalami kekerasan juga harus pula menghadapi potensi mengalami trauma berkepanjangan dan bahkan seumur hidup.

“Karenanya mereka tak bisa menunggu pelaku kejahatan 'dihukum', tetapi harus sesegera mungkin diberi pengobatan dan atau rehabilitasi baik secara fisik, psikis dan sosial juga pendampingan psikososial sejak awal diketahuinya kasus terjadi hingga pemulihan,” jelasnya.

Sayangnya, menurut legislator yang juga Ketua Bidang Petani, Pekerja, dan Nelayan DPP PKS ini, hak-hak korban belum terpenuhi secara maksimal hingga saat ini, terutama dalam hal mendapat pendampingan dalam pemulihan dan persoalan restitusi.

“Sarana, prasarana untuk menunjang proses rehabilitasi masih terbatas. Begitu pula tenaga pendamping psikososial bahkan sangat sedikit. Padahal anak korban kejahatan seksual ini dalam skala nasional jumlahnya ribuan dan membutuhkan rehabilitasi dan pendampingan secara segera, intens, menyeluruh dan kontinyu sebagaimana diamanahkan dalam pasal 59A ayat 1 Undang-undang no 35 tahun 2014.” paparnya. [pks.id]


posted by @Adimin

Pesan

More on this category »

Popular Post

 
Support : Creating Web | PKS Padang | Mas Temp
Copyright © 2011. PKS KOTA PADANG - All Rights Reserved
Template Created by PKS Padang Published by Mas Temp
Proudly powered by Blogger