Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
December 07, 2017
posted by @Adimin
Survei Terbaru Tempatkan PKS di Lima Besar
Written By neobattosai on 07 December, 2017 | December 07, 2017
Jakarta (4/12) -- Organisasi Kesejahteraan Rakyat
(Orkestra) melakukan survei elektabilitas partai politik jelang pemilu
2019. Dalam survei yang dirilis di Jakarta pada Ahad (3/12/2017) ini
elektabilitas PKS berada di lima besar.
Ketua Umum Orkestra Poempida
Hidayatulloh mengatakan dalam surveinya, elektabilitas tertinggi dicapai
Partai Gerindra dengan 15,2 persen, kedua PDIP sebesar 12,6 persen,
Demokrat 7,4 persen, Golkar 7,3 persen dan PKS dengan elektabilitas 5,8
persen.
Poempida menerangkan, survei dilakukan
kepada 1300 responden di 34 provinsi di Indonesia. Survei diambil mulai
tanggal 6 November sampai 20 November 2017 dengan menggunakan metode
multi stage random sampling dengan tingkat kepercayaan 95% dan margin of error +- 3%.
Responden adalah penduduk Indonesia
berusia minimal 17 tahun yang menjawab sesuai yang ada dipikirannya (top
of mind). "Wawancara dilakukan secara langsung tatap muka dengan
panduan kuisioner oleh surveyor yang tersebar di seluruh Provinsi," ujar
dia.
Berikut hasil survei elektabilitas partai politik menurut Orkestra.
1. Gerindra 15,2%
2. PDIP 12,5%
3. Partai Demokrat (PD) 7,4%
4. Golkar 7,3%
5. PKS 5,8%
6. PKB 5,4%
7. PPP 3,4%
8. PAN 3,3%
9. NasDem 3,3%
10. Perindo 2,9%
11. Hanura 2,4%
12. PSI 2,0%
13. PKPI 1,8%
14. PBB 1,6%
15. Tidah Tahu 25,6%
2. PDIP 12,5%
3. Partai Demokrat (PD) 7,4%
4. Golkar 7,3%
5. PKS 5,8%
6. PKB 5,4%
7. PPP 3,4%
8. PAN 3,3%
9. NasDem 3,3%
10. Perindo 2,9%
11. Hanura 2,4%
12. PSI 2,0%
13. PKPI 1,8%
14. PBB 1,6%
15. Tidah Tahu 25,6%
posted by @Adimin
Label:
SLIDER,
TOPIK PILIHAN
December 07, 2017
posted by @Adimin
Ulama Menurut Hamka dan Natsir
Ulama adalah figur yang mengakar ke bawah, mengakar pada
umat, bukan merambat ke atas pada kekuasaan. Ulama adalah mereka yang alim,
tegas, dan sederhana, bukan mereka yang bergelimang dalam gemerlap kemewahan
dunia dan toleransi pada kemungkaran. Lisannya adalah perisai bagi dakwah,
bukan tameng bagi kekuasaan.”
Lalu siapakah yang pantas disebut sebagai ulama? Mantan
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, Allahu Yarham Buya Hamka, menjelas kannya dalam
sebuah tulisannya di Majalah Mimbar Agama, tahun 1951;
“Pemimpin agama; ulama, kiai, labai, ajengan, itulah
waris daripada Nabi-nabi. Nabi yang tidak meninggalkan harta benda, tetapi
meninggalkan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia. Ulama adalah pelita
di waktu sangat gelap. Ulama adalah petunjuk jalan di belukar hidup yang tak
tentu arah. Ulama adalah pemberontak kepada kesewenang-wenangan, melawan
kezaliman dan aniaya.
Kebesaran ulama terletak dalam jiwa, bukan dalam
pakaiannya yang mentereng, baik jubah dan serban, atau tasbih dan tongkat
kebesaran. Sayangnya ia pada seseorang karena Allah. Dari matanya terpancar
cahaya keyakinan dan iman. Mereka berani menyatakan kebenaran, menyaksikan
kebenaran, memberikan nasihat, berdasarkan kepada hukum-hukum yang diturunkan
Tuhan. Tidak memutar-mutar, memusing-musing arti perintah Allah, karena
mengharapkan ridha dari kekuasaan manusia. Sekali-kali tidak sudi
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka tahu.
Mereka (ulama) mulia dan bergengsi tinggi karena iman dan
kepercayaannya. Kalimat Allahu Akbar, Allah Mahabesar, telah mempengaruhi jalan
hidupnya. Maka lantaran itu tidaklah pernah mereka merasa rendah diri terhadap
sesama makhluk. Bagaimanapun besar kekuasaan seseorang manusia dan megahnya,
namun bagi ulama sudah ada keputusan yang tetap, bahwa kegagahan dan kekuasaan
yang tidak terbatas kalau hanya ada pada tangan manusia, tidaklah lebih
daripada Namrud dan Fir’aun.
Mereka (ulama) kuat karena tidak pernah menengadahkan
tangannya kepada sesama makhluk. Maka oleh karena kuat dan teguhnya semangat
ulama, kerap terjadi kepala-kepala negara itulah yang terpaksa mengambil muka
kepada ulama…
Ulama yang sejati tidaklah terikat oleh kemegahan nafsu
dunia yang fana dan maya ini. Apa yang akan menarik mereka pada dunia? Datang
ke dunia tidak berpakaian suatu apa, dan kembali ke akhirat hanya dengan kain
kafan tiga lapis. Sebab itu, maka perutnya tidaklah menguasai dadanya, dan
kepalanya tidak berat, yang menyebabkan timbul kantuk karena terlalu banyak
memakan pemberian orang kaya atau orang-orang berkuasa…
Mereka (ulama) menempuh beribu macam kesulitan, dan
mereka tahu akan kesulitan itu. Bilamana mereka telah tertegun melangkah,
karena sulit rumitnya yang akan dihadapi, tiba-tiba mereka bangun kembali,
sebab terdengung pula kembali di telinga mereka, “Al-Ulama waratsatul Anbiya”
Ulama adalah penyambut warisan Nabi. Lantaran itu, mereka pun berjalan terus…”
Nasihat kepada ulama atau dai juga disuarakan pendiri
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Allahu Yarham Mohammad Natsir, Dalam
sebuah tulisannya, Natsir mengatakan;
“Jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah
(egoisme) yang menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur, riya’ dan ujub
(ingin dikagumi). Jika sifat ananiyah sudah masuk ke dalam niat tempat
bertolak, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang
ujung-ujungnya kembali kepada selera “aku” pribadinya.
Diantara sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang
dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan),
ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu bersumber dari keinginan
memperoleh balas jasa dalam arti lahir dan batin. Di bawah kekuasaan hawa
ananiyah ini, seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam-macam pantangan
dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk, menghela
surut meskipun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian Tajammul (mencari muka)
dengan mendekatkan diri mencari kesayangan orang yang berkuasa. Kalau sudah
begitu, seorang mubalig atau ulama akan kehilangan harga diri, yang menjadikan
lidahnya kaku, jiwanya kecut!”
Ulama adalah mereka yang berada dalam barisan kaum
muslimin, bukan berada dalam barisan penguasa, apalagi penguasa yang zalim dan
aniaya. Ulama harus mengakar ke bawah, bukan merambat ke atas, lalu menjalar
perlahan-lahan dalam lingkar kekuasaan. Ulama seperti ini tak lebih dari
stempel penguasa, bukan pengontrol kekuasaan.
Saat ini, kita menyaksikan banyak orang yang mengaku
ulama, dai, habib dan ustadz, namun lebih senang merapat pada penguasa
ketimbang umat Islam. Lisannya digunakan sebagai alat kekuasaan, bahkan
menjilat dengan terang-terangan. Ketika pemerintah bermaksiat, lidahnya kelu
dan kaku, tak mampu menyuarakan kebenaran.
Kita butuh figur ulama yang tegas, alim, dan
sederhana, yang tidak menjadikan penguasa sebagai tempat bersandar, apalagi
tempat menggelembungkan pundi-pundi kekayaan.
Kita butuh ulama yang berani menyatakan kebenaran di
hadapan penguasa, bukan ulama tajammul, yang bisanya Cuma berbasa-basi dan
mencari muka dengan kekuasaan.
Oleh: Artawijaya
posted by @Adimin
Label:
SLIDER,
TOPIK PILIHAN