Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
January 02, 2013
Tawadhu Itu KEREN
Written By @Adimin on 02 January, 2013 | January 02, 2013
TAWADHU? Apa sih? Ketawa tapi merdu? Atau ketawa semanis madu? Hehehe
Eits… ini bukan masalah ketawa fren. Ini tentang kebaikan. Jadi, apa sih tawadhu?
Tawadhu artinya
rendah. Masa iya ada kebaikan tapi ‘rendah’?! tenang dulu, itu baru
arti secara harfiah atau secara bahasa. Nah, kalau secara istilah tawadhu
artinya kita nggak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan
hamba Allah yang lainnya, kalau disingkat sih rendah hati, nggak sombong
dan rajin menabung (rajin menabungnya sih enggak hehehe).
Tawadhu ini penting banget dimiliki ama kita, kenapa?
Hmm,
pernah nggak ketemu orang atau bahkan temen deket yang selalu dengerin
curhat kita selama bertahun-tahun tapi dia sendiri nggak terlalu banyak
bicara tentang prestasinya atau gaya berbicaranya sederhana, tau-tahu
kalian dapat info dari orang lain kalo temen kita itu sempat juara
olimpiade internasional, terus beberapa kali dapat tawaran beasiswa
keluar negeri?! Ya pasti kagumnya jadi double kan? Pertama kagum karena
prestasinya itu, kedua karena kerendah hatiannya yang nggak pernah
menyebutkan hal-hal yang pernah diraihnya. Sebenernya Rasulullah SAW.
udah ngasih sinyal ke kita tentang orang yang tawadhu akan Allah muliakan “Dan tiada seseorang yang bertawadhu’ kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah.” (HR. Muslim).
Dahsyat banget kan? Selain itu juga tawadhu itu keren, karena banyak ulama yang keren karena ke tawadhu-annya, yah jangan jauh-jauh deh, Nabi Muhammad SAW. begitu tawadhu.
Beliau itu kan keturunan dari Bani Hasyim A.K.A keturunan dari
bangsawan Arab. Kakeknya aja presiden di zamannya, tapi beliau nggak
malu tuh buwat menggembala hewan atau bahkan jadi karyawannya Khodijah
yang jualin baju di pasar. Nabi Muhammad SAW. bahkan selalu menjaga
shalat malam sampai kaki beliau bengkak-bengkak padahal beliau udah
pasti dijamin masuk surga.
Kalau kita tau kita udah dijamin masuk
surga, pasti udah bikin pengumuman pake speaker dimesjid-mesjid rumah,
bikin status fb, ngetweet sambil mention semua orang yang udah follow
kita kalau kita dijamin masuk surga terus minta orang-orang yang kita
kasih tahu bilang ‘wow’sambil koprol. Haduh-haduh untung aja kita belum
tahu kalau kita akan masuk surga, jadi kita nggak akan coba
berani-berani ninggalin shalat, shaum, sedekah dll.
Nah fren,
tawadhu itu bukan hanya nggak ngomong tentang prestasi, harta dan
potensi yang kita punya ke orang lain biar diakui eksistensi kita. Tapi
penampilan dan sikap pun harus tawadhu. Nabi Muhammad SAW. n
friends kayak Abu Bakar padahal mampu buat beli pakaian dari sutra tapi
beliau dan shahabatnya itu selalu berpakaian sederhana, nggak berlebihan
tapi nggak kekurangan juga. Abu Bakar itu dikenal sebagai saudagar
paling kaya loh fren n orang paling berpengaruh juga dikalangan kaum
Quraisy. So, sederhana dalam penampilan itu bukan pake celana jeans
lubang-lubang, kaos belel, sepatu nganga atau pake baju yang sama selama
seminggu, jatuhnya malah jadi berlebihan bagian sisi negatifnya. Tapi
sederhana disini adalah penampilan yang sederhana, penampilan yang
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, tanpa berlebih-lebihan tapi
sesuai syariat (hukum) Islam.
Sekarang jelas kan fren, kalau tawadhu itu keren?! Rata-rata orang besar n tokoh dunia itu selalu tawadhu
(rendah hati). Contohnya presiden di era reformasi kita yakni Pak
Habibi, nggak pernah tuh beliau menyebut-nyebut kebaikan selama beliau
menjabat jadi presiden atau Pak Ahmad Heryawan dari puluhan prestasinya
di skala nasional maupun internasional beliau nggak pernah nyempatin
diri repot-repot ngumumin daftar prestasinya, tapi pada akhirnya selalu
ada jalan bagi orang lain buwat mengetahui setiap celah kebaikan mereka
yang menyebabkan semakin bertambah kekaguman kita.
Tapi yang
harus dicatet nih, kalo kita melakukan kebaikan kemudian di sembunyikan
tapi berharap suatu saat nanti orang lain tau tentang kebaikan yang kita
lakukan, itu namanya bukan tawadhu, bisa jadi dosanya jadi
double. Jadi kita perlu hati-hati ya, biarlah Allah SWT. yang menilai
usaha kita dan malaikat turut menyaksikannya bukan makhluk yang
menyebabkan segala amal kebaikan itu dapat menjadi nggak berguna
(sia-sia) dan jangan lupa juga buwat tidak merasa diri lebih baik dari
orang lain karena itu ciri orang yang tawadhu.
So, yuk kita tawadhu… supaya Allah ridho ama kita, supaya keridhoan Allah bisa mengantarkan kita ke surga.Amiin
posted by Adimin
January 02, 2013
Pembebasan Diri dan Pembebasan Sosial
Tauhid Yang Membebaskan
Di negeri ini proses pemiskinan -- baik pemiskinan
secara kultural maupun struktural tengah terjadi menggusur bangsa ini
-- yang, kesemuanya itu berujung pada proses 'peyatiman' bangsa --
ketika nasib rakyat dan umat ditelantarkan oleh negara. Maka, negara
dan elit-elitnya sesungguhnya telah terlibat dalam proses pendustaan
dan pengkhianatan terhadap nilai2 agama. Tragis memang....
Kenyataan-kenyataan tersebut, telah menjungkirbalikkan rakyat dan
umat menjadi tersubordinasikan pada titik nadir yang memprihatinkan.
Bangsa ini yang mayoritas masyarakat Muslim menjadi terpingggirkan oleh
silang sengkarut dinamika reformasi yang mandeg dan jalan di tempat.
Sehingga tidaklah mengherankan bahwa posisi umat Islam di Indonesia
berada pada posisi pheripheral -- yang secara sosiologis, itu sudah
menjadi karakteristik negara berkembang termasuk Indonesia yang
ditandai oleh ketidakmerataan ekonomi yang makin melebar. Padahal kita
tahu, bahwa masyarakat menjadi miskin bukan disebabkan karena mereka
tidak memiliki aspek kultural yang dinamis dan kreatif, tapi kerena
mereka dimiskinkan oleh suatu sistem struktural -- di mana mereka tidak
diberi peluang yang sehat dan memadai.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Islam itu bukan agama kebebasan
(sebagaimana orang-orang JIL menafsirkan). Tapi Islam itu adalah agama
pembebasan yang membebaskan dari ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan
serta pembebasan dari kesewenang-wenangan kekuasaan yang tiran. Dengan
missinya yang membebaskan tersebut, umat Islam diharapkan bisa ‘naik
kelas' posisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Meskipun
dalam realitas sejarahnya, manusia modern saat ini kerap dihadapkan pada
problematikanya sendiri, di mana umat Islam berada di dalamnya.
Manusia yang asalnya merdeka dengan segala kemerdekaan dan
kebebasannya, yang selalu merasa menjadi pusat dari segala sesuatu,
kini telah diturunkan derajatnya oleh suatu sistem nilai kebudayaan
modern, manusia menjadi tak lebih sebagai bagian dari mesin. Dalam
masyarakat modern manusia tengah menghadapi dan mengalami mekanisasi
kerja. Proses seperti ini menyebabkan manusia kehilangan perspektifnya
(Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan,
1993).
Manusia di zaman modern ini -- telah terpasung oleh situasi zaman
yang menyertainya. Mereka mengalami keterpasungan dan keterbelengguan
oleh sistem kebudayaan modernitas itu sendiri. Dan ini terjadi pada
bangsa ini yang tengah mengalami fase akhir dari suatu masyarakat
agraris dan fase awal dari sebuah masyarakat industri. Di sini kerap
terjadi benturan antara nilai-nilai lama (Islam dan budaya) di satu
sisi, dan nilai-nilai baru di sisi yang lainnya. Yang pada ujungnya
manusia mengalami kegelisahan dan keterasingan.
Sedangkan pada sisi lainnya, pada bangsa ini pula -- sebagian besar
masyarakatnya tengah mengalami ketidakberdayaan oleh pelbagai sistem
struktural yang menyebabkan tidak memiliki daya tawar yang kuat. Mereka
menjadi masyarakat pinggiran yang terpinggirkan oleh sejarah dan
kekuasaan yang hampir tidak pernah berpihak kepada mereka.
Dari analisis tersebut, sesungguhnya kita menaruh harapan banyak pada
Islam. Tentu saja, di sini Islam mesti ditafsirkan secara cerdas dan
pintar oleh umatnya dengan tetap berpegang teguh pada diktum Islam
(Qur'an dan Sunnah) yang bersifat essensial dan eternal. Sejauhmana
Islam turut andil dalam memberikan perubahan dan pembebasan atas
pelbagai nasib manusia yang terhimpit oleh sistem ketidakadilan baik di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun aspek-aspek lainnya.
Tauhid dan Pembebasan: Sebuah Redefinisi
Istilah Tauhid dalam wacana umat Islam Indonesia kerap disebut
‘tauhid'. Menurut Nurcholish kata-kata tersebut merupakan kata benda
kerja aktif yang secara harfiah mengandung makna ‘menyatukan' dan
‘mengesakan' yang oleh para mutakallim dipahami sebagai upaya untuk
‘me-Maha-Esa-kan Allah'. Yang dengan ini, semangat tauhid akan
memberikan dampak pembebasan dalam hidup dan kehidupan manusia.
Pandangan ini muncul sebagai bagian dari dambaan setiap insan --
khususnya umat Islam terhadap pandangan hidupnya yang mampu membawa
pembebasan dari pelbagai belenggu zaman modern.
Senada dengan pandangan di atas, menurut Amien Rais (1991:13) bahwa
kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan esensial.
Formulasi paling pendek dari kalimat tauhid adalah: laa ilaha illa
Allah -- sebuah kalimat dalam bentuk negasi-afirmasi(nafy-itsbat). Di
mana seorang manusia-tauhid hanya memutlakkan Allah Yang Esa sebagai
Khaliq-nya, dan menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya.
Komitmennya kepada Allah adalah total, kukuh, tulus, mencakup cinta dan
pengabdian, dan kemauan yang keras untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Dalam Islam, kalimat tauhid sesungguhnya telah menjadi tauhid
pembebasan bagi umat Islam. Karena dengan kalimat tauhid sesungguhnya
harus meniadakan otoritas dan petunjuk yang datang bukan dari Tuhan.
Yang menurut Amien, doktrin tauhid Islam sesungguhnya mengemban tugas
untuk melakukan tahrir al-nas min ‘ibadat al-'ibad ila ‘ibadatillah'
(membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah
Allah semata).
Dan hal itu sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad ‘Athiyah
al-'Ibrasyi (Ruh al-Islamy,Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiah, 1969, hal.
172). bahwa, Islam itu merupakan agama pembebasan, persaudaraan dan
persamaan (Al-Islamu dien al-huriyati wa al-ukhuwwti wa
al-musawati....). Yang dalam sejarahnya Islam telah melakukan upaya
liberasi bagi para hamba sahaya untuk dimerdekakan dan diangkat
derajatnya menjadi manusia yang merdeka, sejajar dan terhormat.
Pembebasan Diri dan Pembebasan Sosial
Bahwa keengganan manusia untuk menerima kebenaran antara lain karena
sikap menutup diri dari keengganan untuk mengetahui kebenaran yang
diperkirakan nilainya akan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan oleh
keangkuhan yang sudah membelenggu diri manusia. Belenggu yang dimaksud
tiada lain adalah hawa nafsu atau vested interest (al-hawa). Inilah
sumber pribadi yang selalu menolak kebenaran. Hawa nafsu juga menjadi
sumber pandangan subyektif yang tidak berdasar (Lihat Qs. Al-Jatsiyah:
23).
Doktrin tauhid dalam Islam, menurut Cak Nur, sesungguhnya bisa
memberikan pembebesan diri (self-liberation). Hanya dengan dengan
self-liberation seorang manusia-tauhid akan mampu menangkap kebenaran,
dan hanya dengan menangkap kebenaran itulah seseorang akan bisa
membebaskan dirinya. Inilah sesungguhnya makna yang sangat esensial
dari kalimat tauhid. Di sinilah doktrin tauhid Islam memberikan
pembebesan pribadi, di mana seseorang menjadi merdeka sejati yang hanya
akan melihat setiap yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai
salah.
Oleh karena itu, manusia tauhid akan dengan bebas menentukan sendiri
pandangan dan jalan hidupnya menurut pertimbangan akal sehat dan hati
nurani secara jujur tentang apa yang benar dan yang salah, ia tampil
berani dan elegan, penuh percaya diri, jujur dan adil serta memiliki
integritas yang kuat. Karena ia tidak terkungkung oleh keangkuhan
dirinya (lihat Qs. Al-Ma'idah: 8).
Dengan pembebasan diri yang kuat sebagai efek dari tauhid, maka
tauhid dalam Islam pula bisa memberikan efek bagi pembebasan sosial
sebagai kelanjutan dari pembebasan diri-individu. Dalam al-Qur'an
pandangan hidup bertauhid selalu berkaitan dengan penolakan terhadap
‘thagut' yang dipahami sebagai kekuatan sewenang-wenang atau apa-apa
yang melewati batas atau juga sebagai kekuatan tiranik. Yang menurutnya,
kesanggupan seorang pribadi untuk melepaskan diri dari belenggu
kekuatan tiranik -- itu dipahami sebagai efek dari pembebasan sosial
semangat tauhid (Qs. Al-Baqarah: 256).
Singkat kata, Islam sesungguhnya merupakan agama pembebasan bagi
manusia. Karena salah satu misi Islam yang paling besar adalah
melakukan pembebasan. Dalam konteks dunia modern, doktrin tauhid Islam
harus bisa membebaskan manusia dari kungkungan/belenggu pemikiran dan
juga dari sistem-sistem sosial, politik maupun ekonomi maupun
sistem-sistem lainnya yang menyebabkan manusia tidak bisa
mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.
Dengan demikian, bangunan tauhid Islam secara fungsional harus mampu
mentransformasikan setiap individu untuk melakukan upaya liberasi dari
pelbagai kungkungan sistem yang tidak manusiawi. Dan pada saat yang
bersamaan pula bangunan tauhid Islam mendorong kaum Muslimin untuk
menegakkan suatu tatanan sosial yang adil dan etis.
Dalam diktum Alquran, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan
politik -- ini sesuatu yang sangat dikecam keras (lihat Qs. Al-Ma'un:
1-6 dan Al-Humazah: 1-6). Karena manakala ketimpangan dan ketidakadilan
tersebut dibiarkan, maka bisa mengakibatkan manusia menjadi buta
terhadap nilai-nilai luhur (lihat Qs. Ali- ‘Imran: 14; Yunus: 23).
Internalisasi Tauhid Sebagai upaya Pembebasan
Dalam realitas empirisnya, kita kerap menyaksikan bahwa ada orang
yang rajin shalatnya tapi juga rajin korupsinya, ada yang sudah
berkali-kali melaksanakan ibadah haji tapi rajin pula menindas
rakyatnya. Dalam perspektif ini, orang tersebut sama sekali tidak
bertauhid. Padahal nilai-nilai tauhid itu selalu hadir dalam situasi
dan kondisi apapun.
Untuk itu, upaya membumikan Islam dalam konteks Islam sejarah secara
apa adanya menjadi bagian penting yang mesti diwujudkan. Karena boleh
jadi, doktrin tauhid Islam yang selama ini diyakini dan dipahami
dipandang tidak cukup memberi implikasi pada jiwa-jiwa pribadi muslim.
Di sini, makna tauhid perlu di-internalisasi pada wilayah yang lebih
konkret - sebagai upaya untuk men-substansiasi Islam dalam konteks
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bahkan bernegara. Dengan
pemaknaan tauhid seperti ini diharapkan lebih mencerahkan dan
mencerdaskan. Salah satu kepentingan yang cukup signifikan -- mengapa
tauhid perlu dikedepankan untuk melakukan transformasi dan pembebasan,
baik sosial maupun individual? Karena sebagai doktrin tauhid, bagimana
Islam mampu mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visi Islam
itu sendiri. Sehingga Islam memberikan insight moral bagi masyarakat.
Dengan kata lain, meminjam pernyataan Kuntowijoyo -- tidaklah Islami
misalnya, jika masyarakat muslim bersikap apriori terhadap kondisi
struktural dan kultural masyarakatnya, sementara kita tahu kondisi
tersebut penuh kemunkaran dan kezaliman. Wallahu a'lam bi al shawwab...
sumber : persis.or.id
posted by Adimin
Label:
AQIDAH