"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).
SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla
yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta
isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas
segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.
Segenap
mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun.
Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa
tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.
Oleh
karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah
sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata
kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya.
Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan
takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak
lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit
bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja
kalau Dia mau?
Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan
tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa
takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari
kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!
"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.
Orang
yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu
mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha
Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat
kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.
Apabila marifat
bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan
kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir
al-Azhar:Juz XXII hlm.301).
Sementara itu, ada sebuah jawaban
yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam
bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita
mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita
adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana
masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli
matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya
membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.
Kita
baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan
disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai
merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.
Seorang
ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan
memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya.
Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan;
mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah.
Mereka adalah ulama.
Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini
berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan
orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini
terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung
menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi,
dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi
Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.
Jadi,
siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang
memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai
tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama
profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja,
hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal
fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.
Ia
pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik,
sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar
itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin
sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat
itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai
tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.
Dengan
demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu
apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain
dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang
dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut
kepada-Nya.
Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang
sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih
dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri.
Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal
Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi
tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi
tidak mengenal mengenal Allah.
Ulama pertama adalah yang takut
kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya.
Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan
perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang
sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut
kepada Allah.
Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak
bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan
r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual
amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!
Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla
senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu
yang kita miliki. - See more at:
http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf
"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).
SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla
yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta
isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas
segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.
Segenap
mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun.
Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa
tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.
Oleh
karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah
sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata
kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya.
Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan
takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak
lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit
bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja
kalau Dia mau?
Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan
tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa
takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari
kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!
"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.
Orang
yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu
mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha
Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat
kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.
Apabila marifat
bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan
kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir
al-Azhar:Juz XXII hlm.301).
Sementara itu, ada sebuah jawaban
yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam
bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita
mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita
adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana
masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli
matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya
membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.
Kita
baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan
disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai
merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.
Seorang
ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan
memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya.
Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan;
mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah.
Mereka adalah ulama.
Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini
berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan
orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini
terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung
menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi,
dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi
Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.
Jadi,
siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang
memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai
tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama
profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja,
hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal
fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.
Ia
pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik,
sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar
itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin
sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat
itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai
tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.
Dengan
demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu
apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain
dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang
dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut
kepada-Nya.
Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang
sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih
dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri.
Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal
Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi
tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi
tidak mengenal mengenal Allah.
Ulama pertama adalah yang takut
kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya.
Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan
perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang
sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut
kepada Allah.
Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak
bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan
r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual
amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!
Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla
senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu
yang kita miliki. - See more at:
http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf

"Sebaik-baiknya
ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).
SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang
menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya.
Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang
terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.
Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun.
Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa
haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.
Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu
yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri
adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada
pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka
bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang
sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada
dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?
Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang
dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah.
Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan
Allah Azza wa Jalla!
"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S.
Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.
Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu
mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar,
Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan
dan yang memiliki al-Asmaul Husna.
Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka
ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir
al-Azhar:Juz XXII hlm.301).
Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang
terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam?
Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam
benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana
masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana
ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi
dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.
Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu
yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu
membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.
Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan
memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli
matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya
itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.
Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka
ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang
ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian,
orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli
matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan
ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut
kepada Allah Azza wa Jalla.
Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi
kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon
sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat
mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk
berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah
sedang melihat apa yang dikerjakannya.
Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga
bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang
amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum
atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya,
tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan
juga bagi orang lain.
Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu
apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat
mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat
dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.
Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan
ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah
riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga
macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2)
alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim
yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.
Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya,
perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah,
tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama
ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada
rasa takut kepada Allah.
Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa
bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena
dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min
dzaalik!
Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari
perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki.
"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).
SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla
yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta
isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas
segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.
Segenap
mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun.
Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa
tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.
Oleh
karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah
sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata
kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya.
Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan
takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak
lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit
bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja
kalau Dia mau?
Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan
tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa
takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari
kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!
"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.
Orang
yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu
mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha
Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat
kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.
Apabila marifat
bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan
kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir
al-Azhar:Juz XXII hlm.301).
Sementara itu, ada sebuah jawaban
yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam
bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita
mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita
adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana
masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli
matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya
membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.
Kita
baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan
disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai
merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.
Seorang
ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan
memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya.
Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan;
mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah.
Mereka adalah ulama.
Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini
berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan
orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini
terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung
menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi,
dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi
Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.
Jadi,
siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang
memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai
tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama
profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja,
hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal
fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.
Ia
pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik,
sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar
itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin
sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat
itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai
tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.
Dengan
demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu
apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain
dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang
dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut
kepada-Nya.
Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang
sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih
dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri.
Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal
Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi
tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi
tidak mengenal mengenal Allah.
Ulama pertama adalah yang takut
kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya.
Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan
perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang
sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut
kepada Allah.
Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak
bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan
r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual
amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!
Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla
senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu
yang kita miliki. - See more at:
http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf
posted by @Adimin