pic

Powered by Blogger.

Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi

Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...

Search This Blog

Latest Post

Pengelolaan PAD Padang Disigi Kota Surakarta

Written By mediapkspadang on 27 March, 2015 | March 27, 2015


PADANG - Meski Kota Surakarta memiliki Pendapat Asli Daerah (PAD) mencapai angka triliunan rupiah, akan tetapi daerah yang terletak di Jawa Tengah itu masih “belajar” tatacara pengelolaan PAD ke Pemerintah Kota Padang. Kamis (26/3) kemarin, sebanyak 11 rombongan dari Komisi III DPRD Kota Surakarta berkunjung ke Pemko Padang yang disambut langsung Asisten I Pemerintahan, Wedistar, Asisten III Administrasi, Corri Saidan dan Wakil Ketua DPRD Kota Padang, Muhidi, di ruang Bagindo Aziz Chan Kantor Balaikota Padang.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Surakarta, Sugeng Riyanto menyebut, salahsatu tujuan kedatangan rombongan ke Padang yakni untuk mencoba menggali dan mempelajari penerapan PAD Kota Padang. “Padang merupakan kota yang cukup menarik, terutama di segi pariwisata serta sisi pengelolaan PAD,” katanya.

Dalam diskusi yang dilakukan, cukup banyak strategi serta cara peningkatan PAD yang disampaikan Asisten I, Asisten III serta sejumlah kepala SKPD yang hadir di kesempatan itu. “Tadi cukup banyak strategi dan cara peningkatan PAD yang didapat. Misalkan tentang pelaksanaan pemungutan pajak daerah secara online. “Di Surakarta belum kami terapkan, di sini (Padang) ternyata sudah diterapkan. Ini sesuatu yang baru dan harapan kami ke depan bisa diterapkan di Surakarta sendiri,” papar Sugeng.

Selain belajar tentang pemerintahan, Sugeng mengaku tujuan mereka ke Padang yakni untuk melihat pembangunan Padang terutama pascagempa besar berkekuatan 7,9 SR pada 2009 silam. “Kami juga ingin melihat bagaimana pembangunan Padang terutama setelah dilanda gempa lalu,” timpalnya.

“Padang juga punya legenda Malin Kundang dan Siti Nurbaya yang sudah tersohor. Sejak kecil saya juga sudah mendengarkan lagu ‘Teluk Bayur’. Ini yang membuat kami ingin ke Padang,” aku Sugeng.

Sementara, Asisten I Pemerintahan, Wedistar menyambut hangat kedatangan rombongan Komisi III DPRD Kota Surakarta. Menurutnya, dengan kedatangan rombongan tersebut akan semakin mempererat tali silaturahim kedua daerah. “Semoga dengan kunjungan ini akan bermanfaat bagi Kota Surakarta dan mempererat tali silaturahim,” kata Asisten I.

Asisten I juga sempat bertanya kepada rombongan dari DPRD Kota Surakarta tentang kiat bagaimana cara kota tersebut mampu meraih prediket Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam segi pelaporan keuangan selama lima kali berturut-turut. “Datang langsung ke Surakarta, nanti akan kami jelaskan kiatnya,” kata Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Surakarta, Sugeng Riyanto sambil berseloroh.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD Kota Padang, Muhidi melihat kedatangan DPRD Kota Surakarta ke Pemko Padang merupakan hal positif yang tentunya suatu kebanggaan tersendiri bagi Kota Padang karena dipilih sebagai tempat studi banding atau kunjungan kerja. “Dalam dialog tadi kita melihat sendiri bagaimana usaha maksimal Kota Padang dalam meningkatkan PAD dan pelayanan kepada masyarakat dengan sistem online,” beber wakil rakyat dari partai PKS ini.

Muhidi menilai, selama ini usaha dan kerjasama antara Pemko dengan DPRD Padang dalam menggali potensi daerah untuk PAD cukup baik. “Saya rasa ini suatu yang sangat bagus dan tentunya ini tidak berhenti sampai di sini,” tutupnya. [humas pemko padang ]


posted by @Adimin

Wakil Ketua MPR RI, “HNW” Sosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan




pkspadang.com – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Hidayat Nur Wahid serta anggota MPR RI, Hermanto bersama rombongan dari Komisi 8 DPR RI tengah melakukan reses ke Kota Padang. Dalam kunjungannya kali ini, dalam rangka mengisi beberapa agenda berupa peninjauan, sosialisasi serta menampung aspirasi bagi warga ranah minang.

Seperti dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, MPR RI yang bekerja sama dengan Keluarga Besar Mahasiswa Minangkabau (KBMM) disambut baik oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Padang, Nasir Ahmad selaku mewakili Walikota Padang. Kegiatan yang bertempat di Palanta Walikota Padang, Kamis (26/3) lalu ini juga dihadiri beberapa tokoh masyarakat, Organisasi masyarakat (Ormas) serta 250 orang anggota dan pengurus KBMM.

Dalam sambutannya, Nasir Ahmad menyampaikan, atas nama Pemerintah Kota (Pemko) Padang, sangat setuju dengan terus dilakukannya kegiatan sosialisasi empat pilar kebangsaan. Bahwasanya menurut Sekda, empat pilar seperti, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD Dasar RI Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara, NKRI sebagai bentuk Negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara wajib terus diperkuat demi kedaulatan berbangsa dan bernegara.

“Sosialisasi empat pilar ini sangat penting bagi masyarakat khususnya generasi muda seperti di lingkungan mahasiswa. Empat pilar ini menjadi simbol kebangsaan sejak masa orde baru, namun di era reformasi saat ini cenderung terabaikan. Untuk itu, wajib terus diperkuat, selaku dasar kekuatan bangsa Indonesia yang harus diimplementasikan secara konkrit,” ungkap Sekda.

Sementara itu, ketika diwawancarai, Hidayat nur Wahid menerangkan, kegiatan sosialisasi empat pilar ini, salah satu dari dua agenda resesnya bersama Komisi 8 DPR RI ke Kota Padang. Selain sosialisasi empat pilar, rombongan juga melakukan pertemuan dengan Gubernur Sumatera Barat (Sumbar). Pertemuan terkait meninjau kondisi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar. Dimana, Sumbar termasuk kategori daerah yang rawan bencananya cukup tinggi.

“Aspirasi dan usulan yang ada sewaktu reses ini, akan kami terima dan akan ditindak lanjuti sesampai di Jakarta,” imbuh Hidayat.

Seteah itu,lanjutnya, terkait kegiatan sosialisasi empat pilar, ia mengaku sangat mengapresiasi antusias dari para mahasiswa yang tergabung dalam KBMM. Sebagaimana, empat pilar kebangsaan merupakan hasil dari buah perjuangan keras para pahlawan demi mewujudkan cita-cita bangsa.

“Jadi, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka tungga ika memang tidak terlepas dari berbagai tantangan selaku prinsip bangsa dan bernegara. Ini, merupakan tugas penting dari beberapa rangkaian kegiatan yang dikerjakan MPR RI. Untuk itu, diharapkan masyarakat tidak hanya mengetahui ideologinya saja, namun sewajib mempertahankan eksistensi sampai kapanpun. Sehingga, bangsa Indonesia tidak mudah terpecah belah yang disebabkan berbagai pengaruh dan gangguan yang datang dari luar Indonesia,” sebut Hidayat. [humas pemko]


posted by @Adimin

Siapa Layak Menyandang Nama Ulama?


"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.

Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.

Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?

Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!

"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.

Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.

Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).

Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.

Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.

Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.

Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.

Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.

Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.

Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.

Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki. - See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf
"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.

Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.

Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?

Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!

"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.

Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.

Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).

Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.

Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.

Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.

Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.

Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.

Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.

Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.

Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki. - See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf



"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.


Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.


Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?


Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!


"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.


Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.


Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).


Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.


Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.


Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.


Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.


Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.


Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.


Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.


Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!


Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki.

 

"Sebaik-baiknya ilmu itu disertai rasa takut kepada Allah swt." (Ibnu Athoillah).

SAMA sekali tidak bisa kita pungkiri bahwa Allah Azza wa Jalla yang menciptakan dan memelihara seluruh jagad raya alam semesta beserta isinya. Dia-lah Dzat yang Maha Perkasa, yang Maha Berkehendak atas segala apa pun yang terjadi terhadap mahluk-mahluk-Nya.

Segenap mahluk yang menghuni langit dan bumi, bahkan jagat raya ini sekalipun. Tunduk takluk kepada segala apa yang menjadi ketetapan-Nya. Tidak bisa tidak! Laa haula walaa quwwata illaa billaahil aliyyil azhiim.

Oleh karena itu, adakah yang kita takuti selain Allah? Manusia; adakah sesuatu yang lebih dari mahluk yang satu ini kalau toh ternyata kelebihan itu sendiri adalah karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mestikah kelebihan yang ada pada manusia itu membuatnya pongah dan takabur, menyombongkan diri di muka bumi? Dan dengan demikian, tidak lagi menampakkan rasa takut kepada Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mencabut segala apa yang ada pada dirinya. Kapan saja kalau Dia mau?

Ternyata hanyalah "ilama" inilah derajat kemuliaan tertinggi yang dikaruniakan kepada manusia, siapa saja dia, yang merasa takut kepada Allah. Siapa saja, asal dia teramat sangat menyadari kemaha besaran dan kemaha kuasaan Allah Azza wa Jalla!

"Innamaa yakhsyallaahu min ibaadihil ulamaa"(sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama). (Q.S. Faathir [35]:26).Demikian firman-Nya.

Orang yang merasa takut kepada Allah itu, tulis Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, tiada lain hanyalah ulama yang telah mencapai marifat, yaitu mengenal Tuhan (karena) meniliki hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui, yang mempunyai kekuasaan sifat kesempurnaan dan yang memiliki al-Asmaul Husna.

Apabila marifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, maka ketentuan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak. (Tafsir al-Azhar:Juz XXII hlm.301).

Sementara itu, ada sebuah jawaban yang bagus atas pertanyaan; mengapa sekarang terjadi kemerosotan dalam bidang ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam? Sebab, kalau kita mendengar kata ulama, maka yang langsung terbayang dalam benak kita adalah orang yang ahli agama. Padahal dulu ada suatu jaman dimana masyarakatnya tidak membeda-bedakan mana ahli agama, mana ahli matematika, mana ahli kedokteran, dan seterusnya. Asalkan dengan ilmunya membuatnya menjadi dekat dengan Allah, maka mereka adalah ulama.

Kita baca dalam sejarah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Khaldun; dan sebagainya. Mereka terus mengembangkan disiplin ilmu yang dikarunia Allah kepadanya seoptimal mungkin, sampai merasa yakin semua itu membuat jalan yang membuat dekat dengan Allah.

Seorang ahli kedokteran terus-menerus dengan tanpa mengenal lelah menggali dan memahami ilmu kedokterannya sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Begitupun ahli matematika, ahli perdagangan, ahli politik pemerintahan; mereka jadikan ilmunya itu menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah. Mereka adalah ulama.

Akan tetapi sayang, lambat laun masa ini berubah, sehingga orang menyangka ulama itu hanya datang dari kalangan orang-orang yang faqih dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan. Pemahaman ini terus bertahan hingga kini. Dengan demikian, orang-orang secara langsung menganggap remeh kepada ahli kedokteran, ahli matematika, ahli ekonomi, dan sebagainya. Padahal mereka juga bisa berkedudukan ulama di sisi Allah sepanjang bidang keilmuannya tersebut bisa membuat takut kepada Allah Azza wa Jalla.

Jadi, siapapun bisa mencapai derajat kemuliaan sebagai ulama sepanjang memenuhi kriteria ulama di atas. Seseorang yang hanya berprofesi sebagai tukang sablon sekalipun bisa menjadi ulama dalam pandangan Allah selama profesinya dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Tangan sibuk bekerja, hati dan lisan sibuk berdzikir mengingat Allah. Sedangkan akal fikirannya menyakini bahwa Allah sedang melihat apa yang dikerjakannya.

Ia pun berikhtiar sekuat tenaga untuk berbuat sesuatu yang terbaik, sehingga bisa memberikan kepuasan kepada pemesannya sekaligus ikhtiar itu menjadi ladang amal shalih bagi dirinya. Maka, bukan tidak mungkin sang konsumen menjadi kagum atas kejujurannya, sehingga jika pada saat itu turun hidayah Allah kepadanya, tidak bisa tidak profesi sebagai tukang sablon itu menjadi jalan kemaslahatan juga bagi orang lain.

Dengan demikian, setiap orang bisa berbuat apapun dan dengan disiplin ilmu apapun, sepanjang ikhtiar bisa membuat dirinya sendiri maupun orang lain dapat mengingat Allah, maka tidak sulit bagi Allah menjadikan seseorang dekat dengan-Nya kalau Allah mengetahui di hatinya ada rasa takut kepada-Nya.

Pertanyaan berikutnya adalah, adakah "ulama" yang sebenarnya bukan ulama? Untuk mejawab pertanyaan ini baiklah terlebih dahulu dinukilkan sebuah riwayat yang dibawakan dari Sufyan ats-Tsauri. Ulama itu, kata Tsauri, ada tiga macam. Yakni, (1) alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) alim yang mengenal Allah, tetapi tidak mengenal perintah Allah, dan (3) alim yang mengenal Allah, tapi tidak mengenal mengenal Allah.

Ulama pertama adalah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batasnya, perintah, serta larangan-Nya. Ulama kedua adalah yang takut kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan perintah-Nya karena ketidaktahuannya, sedangkan ulama ketiga yaitu yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah, tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.

Kelihatannya ulama yang ketigalah yang paling tidak bisa disebut ulama. Siksa bagi seorang alim seperti ini , kata al-Hasan r.a., adalah matinya hati karena dia gemar mencari dunia dengan menjual amal akhirat. Naudzu billah min dzaalik!

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa memelihara kita dari perilaku yang tidak terpuji karena ilmu yang kita miliki. - See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2186406/siapa-layak-menyandang-nama-ulama#sthash.XhslzKOz.dpuf


posted by @Adimin

Pesan

More on this category »

Popular Post

 
Support : Creating Web | PKS Padang | Mas Temp
Copyright © 2011. PKS KOTA PADANG - All Rights Reserved
Template Created by PKS Padang Published by Mas Temp
Proudly powered by Blogger