Menurut riwayat Baihaqi dan Ibnu Asakir, Khalifah Umar bin Khattab
pernah berkata, “Di antara keturunanku, ada seseorang yang terdapat
bekas luka di wajahnya. Dia adalah orang yang akan menegakkan keadilan
di muka bumi.” Siapakah yang diramalkan Umar itu?
Dialah Umar
bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abi Ash. Lahir di keluarga ulama
dan bangsawan, dia mewarisi jiwa kepemimpinan kakek buyutnya, Umar bin
Khattab. Ibunya bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Umar bin
Abdul Aziz diangkat sebagai gubernur Mekah dan Madinah pada masa Walid
bin Abdul Malik, khalifah keenam Bani Umaiyah. Setelah mangkatnya
Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah ketujuh Bani Umaiyah sekaligus sepupu
dari jalur ayahnya, Umar bin Abdul Aziz kemudian diangkat sebagai
khalifah kedelapan Bani Umaiyah.
Kelak, sejarah mencatat nama
Umar bin Abdul Aziz dengan tinta emas. Sejak menjabat khalifah, dia
langsung meninggalkan semua hartanya. Kesederhanaan adalah pilihan
hidupnya. Ketika sedang berbincang dengan istrinya di ranjang kamar,
tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz teringat akhirat. Mukanya berubah pucat,
seperti seekor burung yang berada di atas air. Dia lalu duduk, kemudian
menangis. Melihat itu, istrinya yang bernama Fatimah bin Abdul Malik
berkata, “Seandainya saja jarak antara kami dan tugas kekhalifahan
dijauhkan seperti jauhnya jarak antara barat dan timur.”
Umar bin
Abdul Aziz tidak merasa enak-enakan memegang tampuk kuasa. Dia
mengumpulkan sejumlah ulama fikih di Madinah, seperti Urwah bin Zubair
bin Awwam, Ubaidillah bin Atabah, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman
bin Yasar, Qasim bin Muhammad Salim bin Abdullah, Abdullah bin Ibnu
Amir, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Sulaiman, dan Abdullah bin
Abdullah Ibnu Umar bin Khattab. Mereka semua diminta menulis setiap
kezaliman yang mereka lihat. Padahal keadaan rakyat di bawah
kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz sangat sejahtera. Kas negara melimpah.
Tanah-tanah ditanami. Sumur-sumur air meruah. Jalan-jalan licin.
Masjid-masjid banyak dan ramai. Hebatnya, tidak ada orang miskin yang
mau menerima sedekah. Gaji pegawai juga mencapai 300 dinar.
Tidak
ditemukan kezaliman menimpa rakyat, karena keadilan sangat dijunjung
tinggi. Bahkan, salah seorang pejabat negara bernama Jarah Al-Hukmi
pernah dicopot gara-gara mengambil upeti dari orang-orang yang sudah
masuk Islam. Padahal, Jarah Al-Hukmi melakukan itu karena paham bahwa
orang-orang tersebut masuk Islam semata agar selamat dari kewajiban
membayar upeti. Tetapi, ketegasan sang khalifah ternyata tidak tebang
pilih. Tidak heran, para ulama sepakat bahwa Umar bin Abdul Aziz
merupakan salah seorang Al-Khulafa Ar-Rasyidun. Seperti dikatakan Imam
Syafi’i, “Al-Khulafa Ar-Rasyidun itu ada lima. Mereka adalah Abu Bakar
As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan
Umar bin Abdul Aziz.”
Sejarah Islam dipenuhi kisah-kisah
heroik dan berpengaruh besar terhadap peradaban. Sekian lama manusia
hidup di masa-masa kelam, kehadiran Islam jelas merupakan babak baru
sejarah yang memancarkan cahaya benderang. Di balik sejarah gemilang
tentu ada sosok-sosok cemerlang di belakangnya. Karena, sejarah
terhormat pasti lahir dari aktor-aktor terhormat. Sebaliknya, sejarah
menjadi kelam karena dikendalikan aktor-aktor pecundang. Hari ini, umat
Islam di seluruh dunia dan Indonesia khususnya, sedang berada di roda
bagian bawah sejarah. Kita menanti lahirnya pemimpin-pemimpin besar yang
mampu melambungkan umat Islam ke mercusuar peradaban.
Kita
merindukan sosok pemimpin yang memiliki kecerdasan brilian dan empati
besar semacam empat khalifah pengganti Rasulullah, Said bin Amir
Al-Jumahi, Al-Ala Al-Hadhrami, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul
Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abu Ja’far
Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Rasyid, Abdullah Abu Abbas Al-Makmun, dan
pemimpin lain sekaliber mereka.
Nabi dan Rasul itu berpikiran
brilian, empati mereka besar. Misalnya, dengan kebijakannya yang cerdas,
Nabi Yusuf mampu menyelamatkan rakyat Mesir dari bencana kelaparan.
Persediaan makanan di gudang negara sangat cukup untuk menghidupi rakyat
selama tujuh tahun Mesir dilanda kekeringan. Bahkan, stok kebutuhan
pokok itu juga digunakan untuk menyuplai tetangga-tetangga Mesir yang
sedang mengalami krisis pangan. Rombongan peminta bantuan berdatangan,
termasuk rombongan saudara-saudara Nabi Yusuf dari Palestina yang dulu
sangat memusuhinya.
Juga Nabi Musa yang siap pasang badan demi
menyelamatkan rakyatnya dari kekejaman Firaun Minephtah. Hati Nabi Musa
teriris-iris menyaksikan rakyat Bani Israil di Mesir menjadi
bulan-bulanan raja super zalim itu. Sementara, tidak seorang pun berani
menentang titah Firaun, termasuk kebijakannya untuk membunuh setiap
jabang bayi laki-laki. Rumah-rumah penduduk dimasuki petugas Firaun
untuk memeriksa setiap ibu yang baru melahirkan bayi.
Kesewenang-wenangan itulah yang menggugah Nabi Musa. Sedari bayi hidup
sebagai anak pungut Firaun ternyata tidak menghentikan tekad Nabi Musa
untuk menumpas beragam kekejaman Firaun. Semuanya untuk rakyat Bani
Israil.
Pemimpin besar terbukti mampu memposisikan perasaan dan
keadaan dirinya seperti perasaan atau keadaan rakyat yang dipimpinnya.
Itulah pemimpin yang memiliki empati. Tentu empati tidak hanya
didasarkan atas kekayaan, jabatan, keturunan, kepintaran, dan prestasi
seseorang. Bagi pemimpin besar, simbol-simbol bersifat keduniaan itu
sudah melebur dalam dirinya, berganti rasa kepedulian dan kasih sayang.
Kepada siapa pun, termasuk kalangan jelata sekali pun, pemimpin besar
tidak akan berlaku pilih kasih. Tidak kenal istilah pandang bulu.
Pemimpin besar sangat mencintai sekaligus dicintai rakyatnya.
Ada
kisah mengharukan yang terjadi pada awal-awal Islam datang di Mekah.
Selain Khadijah binti Khuwailid, Waraqah bin Naufal, Ali bin Abu Thalib,
Abu Bakar As-Shiddiq, beberapa orang miskin, seperti Zaid bin Haritsah,
Said bin Abu Waqqas, Ibnu Mas’ud, dan Bilal bin Rabah juga menyatakan
keimanan kepada Rasulullah. Tetapi ketika mereka berkumpul bersama
Rasulullah, para pembesar dari kalangan kafir Mekah datang dan berkata,
“Usirlah mereka dari kami!” Tampaknya mereka merasa tidak level duduk
satu majelis dengan orang-orang rendahan itu. Apa jawab Rasulullah?
Beliau membacakan firman Allah yang seketika itu turun sebagai jawaban
atas penghinaan kafir Mekah kepada orang-orang yang sebenarnya sangat
mulia di sisi Allah itu.
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka
menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun
terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab
sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak)
mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).” [QS
Al-An’am/6: 52].
Pemimpin sekarang harus menakar kebesarannya.
Memimpin tidak cukup hanya bermodal uang, popularitas, citra, apalagi
tampang. Selain kecerdasan, empati yang besar mutlak diperlukan dalam
tugas kepemimpinan. Dengan demikian, tidak akan ada rakyat yang
menjadikan pemimpin sebagai sasaran kebencian dan hinaan. Pejabat di
bawahnya juga akan bekerja secara benar, jujur, dan ikhlas. Seluruh
rakyat merasa senang dan bangga karena memiliki pemimpin yang sangat
peduli dengan kehidupan dan kesejahteraan mereka.
posted by @Adimin