pic

Powered by Blogger.

Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi

Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...

Search This Blog

Latest Post

Ogah Terima Jabatan

Written By Sjam Deddy on 11 November, 2013 | November 11, 2013


Khalifah Umar bin Abdul Aziz hatinya gundah. Semalaman dia tidak bisa tidur karena sibuk memikirkan siapa gerangan yang layak diangkat menjadi hakim di Basrah. Sebagai penguasa, dia harus memastikan bahwa orang yang kelak menduduki kursi jabatan itu harus benar-benar sanggup berdiri tegak di atas keadilan. Menemukan pejabat negara yang tahan ujian dan tidak gila pujian sungguh tidak mudah.

Lama merenung, pikirannya akhirnya tertambat pada dua nama yang dipandang memenuhi fit and proper test sebagai seorang hakim. Kedua sosok itu dikenal tegas dalam kebenaran dan cemerlang dalam pemikiran. Kepada wakilnya, Adi bin Arthah, khalifah lantas memerintahkan supaya dipanggilkan kedua nama itu. Mereka adalah Iyas bin Muawiyah Al-Muzani dan Al-Qasim bin Rabiah Al-Haritsi.

Setelah kedua calon itu menghadap, khalifah lantas menjelaskan maksudnya. Namun, masalah tidak segera tuntas, karena keduanya saling mengunggulkan rekannya. Iyas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tolong Anda tanyakan tentang diriku dan Al-Qasim kepada dua ulama fikih di Irak, yaitu Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, karena keduanya paling mampu membedakan antara kami berdua.”

Iyas berkata begitu karena tahu bahwa Al-Qasim adalah murid kedua ulama terkenal itu. Dia sendiri tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka. Tetapi, Al-Qasim sudah menangkap ke mana arah pembicaraan Iyas. Al-Qasim yakin, jika Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai berunding dengan kedua gurunya itu, pasti mereka akan memilih dirinya, bukan Iyas.

Segera Al-Qasim menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, jangan Anda tanyakan tentangku pada siapa pun. Demi Allah, Iyas ini orang yang lebih paham tentang agama Allah dan lebih mampu menjadi hakim daripada aku. Bila aku berbohong dalam sumpahku ini, maka Anda tidak pantas memilihku karena itu berarti Anda memberikan jabatan kepada orang yang cacat. Bila aku jujur, Anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah, sedangkan di sini ada yang lebih utama.”

Mendengar itu, Iyas tidak kurang akal. Dia lalu berargumen, “Wahai Amirul Mukminin, Anda memanggil orang untuk dijadikan sebagai hakim. Ibaratnya, Anda sedang meletakkan orang itu di tepi jahanam. Karena itulah Al-Qasim hendak menyelamatkan diri dengan bersumpah palsu, yang bisa dia tebus dengan meminta ampun kepada Allah, sehingga selamatlah dia dari apa yang ditakutkannya.”

Apa jawab Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal adil dan zuhud itu? “Iyas, orang yang mampu berpandangan mulia seperti dirimu inilah yang pantas untuk diangkat menjadi hakim.” Lalu diangkatlah Iyas sebagai hakim di Basrah. Kelak, sejarah mencatat Iyas Al-Qadhi sebagai hakim yang bijaksana dan jujur. Selama menjabat hakim di Basrah, dia mampu memutuskan setiap masalah yang rumit secara cerdas dan sederhana.

Kita tidak usah bermimpi akan mendapati kisah serupa terjadi di zaman sekarang. Bagi orang modern seperti kita, kisah semacam itu hanya isapan jempol. Boleh jadi kita menganggap itu sekadar khayalan indah yang tidak akan terbukti di dunia nyata. Mana ada orang membuang kesempatan emas. Kebanyakan orang justru saling berebut menduduki kursi jabatan elite yang tidak semua orang berkesempatan mendapatkannya.

Orang sekarang sering merasa pandai, tetapi tidak pandai merasa. Apalagi sampai berpikir bahwa jabatan itu amanah. Ah, itu hanya kalimat hikmah saja. Itu cerita jadul alias jaman dulu. Kursi jabatan itu empuk. Kedudukan mentereng itu impian. Kekayaan melimpah itu dambaan. Pamor diri itu prestasi. Sedangkan kesempatan emas tidak datang dua kali. Hanya orang gila yang akan menyiakannya. Pusing amat dengan pendapat orang lain, yang penting kita segera menenggak manisnya harta dan ketenaran.

Tidak sedikit dari kita yang begitu gila harta dan ketenaran. Mudah menghalalkan segala cara supaya lekas sampai tujuan. Apalagi untuk sebuah jabatan atau kedudukan, mana mungkin kita malah menyodorkan nama kawan. Setiap akan digelar pemilihan pemimpin, kita justru sangat rajin mengiklankan diri. Miliaran rupiah kita gelontorkan guna mencetak selebaran dan spanduk berisi gambar kita. Kita poles diri kita demikian rupa agar dapat meraup dukungan. Kita pajang seluruh gelar kita untuk menerbitkan kesan kepintaran. Untuk menarik simpati, kita bumbui dengan sejuta janji indah.

Setiap mencalonkan diri sebagai pemimpin di level mana pun, kita selalu mengaku sebagai yang nomor satu. Menyatakan diri sebagai pemimpin harapan yang akan mengentas segala kesulitan. Untuk meyakinkan orang, di samping gambar kita harus ditempel potret orang-orang terkenal. Entah itu ulama, pimpinan organisasi, elite partai, atau siapa saja. Yang penting mampu mendongkrak perolehan suara kita di ajang pemilihan nanti.

Kita ingin menegaskan bahwa pencalonan kita telah direstui dan didukung oleh tokoh-tokoh yang potretnya nongol di samping gambar kita itu. Lucunya, ada sebuah iklan calon pemimpin yang malah memasang potret tokoh yang sudah almarhum. Mungkinkah tokoh yang berada di ribaan Allah itu masih memberikan restu dan dukungan atas pencalonannya itu?

Di tengah era yang sangat mengagungkan demokrasi ini, rakyat sulit menemukan sosok elite negeri yang menjunjung tinggi moralitas dalam politik. Kepemimpinan bagi kebanyakan elite kita tidak lebih sekadar sarana untuk memperbaiki dapur, memperbesar rumah, ganti mobil, atau menambah pasangan. Itulah profil elite negeri minus nurani dan akal sehat yang setiap hari nongol di media. Masih bisa senyum-senyum saat ditangkap karena ketahuan melakukan korupsi. Kepemimpinan mereka palsu, perjuangan mereka dusta, kecuali untuk membangun kemegahan bagi diri dan keluarga. 


posted by @Adimin

Empati Pemimpin

 

Menurut riwayat Baihaqi dan Ibnu Asakir, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Di antara keturunanku, ada seseorang yang terdapat bekas luka di wajahnya. Dia adalah orang yang akan menegakkan keadilan di muka bumi.” Siapakah yang diramalkan Umar itu?

Dialah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abi Ash. Lahir di keluarga ulama dan bangsawan, dia mewarisi jiwa kepemimpinan kakek buyutnya, Umar bin Khattab. Ibunya bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai gubernur Mekah dan Madinah pada masa Walid bin Abdul Malik, khalifah keenam Bani Umaiyah. Setelah mangkatnya Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah ketujuh Bani Umaiyah sekaligus sepupu dari jalur ayahnya, Umar bin Abdul Aziz kemudian diangkat sebagai khalifah kedelapan Bani Umaiyah.

Kelak, sejarah mencatat nama Umar bin Abdul Aziz dengan tinta emas. Sejak menjabat khalifah, dia langsung meninggalkan semua hartanya. Kesederhanaan adalah pilihan hidupnya. Ketika sedang berbincang dengan istrinya di ranjang kamar, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz teringat akhirat. Mukanya berubah pucat, seperti seekor burung yang berada di atas air. Dia lalu duduk, kemudian menangis. Melihat itu, istrinya yang bernama Fatimah bin Abdul Malik berkata, “Seandainya saja jarak antara kami dan tugas kekhalifahan dijauhkan seperti jauhnya jarak antara barat dan timur.”

Umar bin Abdul Aziz tidak merasa enak-enakan memegang tampuk kuasa. Dia mengumpulkan sejumlah ulama fikih di Madinah, seperti Urwah bin Zubair bin Awwam, Ubaidillah bin Atabah, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar, Qasim bin Muhammad Salim bin Abdullah, Abdullah bin Ibnu Amir, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Sulaiman, dan Abdullah bin Abdullah Ibnu Umar bin Khattab. Mereka semua diminta menulis setiap kezaliman yang mereka lihat. Padahal keadaan rakyat di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz sangat sejahtera. Kas negara melimpah. Tanah-tanah ditanami. Sumur-sumur air meruah. Jalan-jalan licin. Masjid-masjid banyak dan ramai. Hebatnya, tidak ada orang miskin yang mau menerima sedekah. Gaji pegawai juga mencapai 300 dinar.

Tidak ditemukan kezaliman menimpa rakyat, karena keadilan sangat dijunjung tinggi. Bahkan, salah seorang pejabat negara bernama Jarah Al-Hukmi pernah dicopot gara-gara mengambil upeti dari orang-orang yang sudah masuk Islam. Padahal, Jarah Al-Hukmi melakukan itu karena paham bahwa orang-orang tersebut masuk Islam semata agar selamat dari kewajiban membayar upeti. Tetapi, ketegasan sang khalifah ternyata tidak tebang pilih. Tidak heran, para ulama sepakat bahwa Umar bin Abdul Aziz merupakan salah seorang Al-Khulafa Ar-Rasyidun. Seperti dikatakan Imam Syafi’i, “Al-Khulafa Ar-Rasyidun itu ada lima. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz.”   

Sejarah Islam dipenuhi kisah-kisah heroik dan berpengaruh besar terhadap peradaban. Sekian lama manusia hidup di masa-masa kelam, kehadiran Islam jelas merupakan babak baru sejarah yang memancarkan cahaya benderang. Di balik sejarah gemilang tentu ada sosok-sosok cemerlang di belakangnya. Karena, sejarah terhormat pasti lahir dari aktor-aktor terhormat. Sebaliknya, sejarah menjadi kelam karena dikendalikan aktor-aktor pecundang. Hari ini, umat Islam di seluruh dunia dan Indonesia khususnya, sedang berada di roda bagian bawah sejarah. Kita menanti lahirnya pemimpin-pemimpin besar yang mampu melambungkan umat Islam ke mercusuar peradaban.

Kita merindukan sosok pemimpin yang memiliki kecerdasan brilian dan empati besar semacam empat khalifah pengganti Rasulullah, Said bin Amir Al-Jumahi, Al-Ala Al-Hadhrami, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abu Ja’far Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Rasyid, Abdullah Abu Abbas Al-Makmun, dan pemimpin lain sekaliber mereka.

Nabi dan Rasul itu berpikiran brilian, empati mereka besar. Misalnya, dengan kebijakannya yang cerdas, Nabi Yusuf mampu menyelamatkan rakyat Mesir dari bencana kelaparan. Persediaan makanan di gudang negara sangat cukup untuk menghidupi rakyat selama tujuh tahun Mesir dilanda kekeringan. Bahkan, stok kebutuhan pokok itu juga digunakan untuk menyuplai tetangga-tetangga Mesir yang sedang mengalami krisis pangan. Rombongan peminta bantuan berdatangan, termasuk rombongan saudara-saudara Nabi Yusuf dari Palestina yang dulu sangat memusuhinya.

Juga Nabi Musa yang siap pasang badan demi menyelamatkan rakyatnya dari kekejaman Firaun Minephtah. Hati Nabi Musa teriris-iris menyaksikan rakyat Bani Israil di Mesir menjadi bulan-bulanan raja super zalim itu. Sementara, tidak seorang pun berani menentang titah Firaun, termasuk kebijakannya untuk membunuh setiap jabang bayi laki-laki. Rumah-rumah penduduk dimasuki petugas Firaun untuk memeriksa setiap ibu yang baru melahirkan bayi. Kesewenang-wenangan itulah yang menggugah Nabi Musa. Sedari bayi hidup sebagai anak pungut Firaun ternyata tidak menghentikan tekad Nabi Musa untuk menumpas beragam kekejaman Firaun. Semuanya untuk rakyat Bani Israil. 

Pemimpin besar terbukti mampu memposisikan perasaan dan keadaan dirinya seperti perasaan atau keadaan rakyat yang dipimpinnya. Itulah pemimpin yang memiliki empati. Tentu empati tidak hanya didasarkan atas kekayaan, jabatan, keturunan, kepintaran, dan prestasi seseorang. Bagi pemimpin besar, simbol-simbol bersifat keduniaan itu sudah melebur dalam dirinya, berganti rasa kepedulian dan kasih sayang. Kepada siapa pun, termasuk kalangan jelata sekali pun, pemimpin besar tidak akan berlaku pilih kasih. Tidak kenal istilah pandang bulu. Pemimpin besar sangat mencintai sekaligus dicintai rakyatnya.

Ada kisah mengharukan yang terjadi pada awal-awal Islam datang di Mekah. Selain Khadijah binti Khuwailid, Waraqah bin Naufal, Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar As-Shiddiq, beberapa orang miskin, seperti Zaid bin Haritsah, Said bin Abu Waqqas, Ibnu Mas’ud, dan Bilal bin Rabah juga menyatakan keimanan kepada Rasulullah. Tetapi ketika mereka berkumpul bersama Rasulullah, para pembesar dari kalangan kafir Mekah datang dan berkata, “Usirlah mereka dari kami!” Tampaknya mereka merasa tidak level duduk satu majelis dengan orang-orang rendahan itu. Apa jawab Rasulullah? Beliau membacakan firman Allah yang seketika itu turun sebagai jawaban atas penghinaan kafir Mekah kepada orang-orang yang sebenarnya sangat mulia di sisi Allah itu.

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).” [QS Al-An’am/6: 52].

Pemimpin sekarang harus menakar kebesarannya. Memimpin tidak cukup hanya bermodal uang, popularitas, citra, apalagi tampang. Selain kecerdasan, empati yang besar mutlak diperlukan dalam tugas kepemimpinan. Dengan demikian, tidak akan ada rakyat yang menjadikan pemimpin sebagai sasaran kebencian dan hinaan. Pejabat di bawahnya juga akan bekerja secara benar, jujur, dan ikhlas. Seluruh rakyat merasa senang dan bangga karena memiliki pemimpin yang sangat peduli dengan kehidupan dan kesejahteraan mereka. 


posted by @Adimin

Pesan

More on this category »

Popular Post

 
Support : Creating Web | PKS Padang | Mas Temp
Copyright © 2011. PKS KOTA PADANG - All Rights Reserved
Template Created by PKS Padang Published by Mas Temp
Proudly powered by Blogger