Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
January 20, 2015
posted by @Adimin
PKS Setuju Pilkada Langsung dengan Revisi atas UU Penetapan Perppu
Written By Sjam Deddy on 20 January, 2015 | January 20, 2015
Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI menyetujui Pilkada Langsung dengan
revisi atas undang-undang penetapan Perppu tersebut. Jazuli menyatakan bahwa
secara subtansi Perppu 1/2014 masih perlu perbaikan dan penyempurnaan guna
menjamin peningkatan kualitas berdemokrasi. Demikian disampaikan Ketua FPKS DPR
RI, Jazuli Juwaini di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (19/1).
“Segera
setelah Perppu disetujui DPR, Fraksi PKS mendesak agar dilakukan revisi atas UU
Penetapan Perppu tersebut dan diharapkan selesai pada masa persidangan ini
juga,” kata Jazuli.
Pembahasan
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
telah mencapai kesepakatan. Senin sore (19/1) Komisi II DPR RI menggelar Rapat
Pengambilan Keputusan Tingkat I/Penyampaian Pendapat Akhir Mini Fraksi-Fraksi
dan DPD.
Jazuli
yang juga Anggota Komisi II DPR RI menyatakan bahwa dalam perkembangan
pembahasan hingga jelang diambil keputusan sore ini Perppu tersebut bisa saja
ditolak, akan tetapi kemungkinan besar diterima. Ia juga menegaskan bahwa
pemilihan kepala daerah secara langsung lebih mengutkan sistem demokrasi.
“Fraksi
PKS akan menerima Perppu yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung
tersebut. Alasan Fraksi PKS menyetujui pilkada langsung karena sistem demokrasi
akan semakin kuat jika rakyat terlibat langsung memilih pemimpinnya karena ada
ruang partisipasi dan interaksi di sana,” tegas Jazuli.
Catatan
Kritis Fraksi PKS
Fraksi
PKS memberikan sembilan catatan kritis atas isu strategis Perppu 1/2014,
sekaligus sebagai pengantar revisi atas UU Penetapan Perppu tersebut.
Kesembilan catatan kritis tersebut adalah:
1.
Desain umum penyelenggaraan pilkada yang berkualitas khususnya menyangkut
kualitas dan kapabilitas calon kepala daerah seharusnya dibahas secara mendalam
dengan dasar argumentasi yuridis, sosiologis, maupun filosofisnya. Mengingat
hal ini merupakan jantung penyelenggaraan pilkada. Sebagai contoh, bagaimana
merumuskan kriteria ideal calon kepala daerah dari aspek pendidikan/kompetensi,
pengalaman, karakter/moral, dan lain-lain. Hal ini perlu cermat karena kita
akan memilih pemimpin yang menentukan masa depan daerah.
Terkait
hal tersebut, Perppu, antara lain, mengatur adanya uji publik sebagai syarat
pencalonan, namun Perppu belum memberikan gambaran konsep yang memadai
bagaimana uji publik dilakukan, kriteria yang diacu, durasi waktu yang efektif
untuk uji publik, dan bagaimana hasil uji publik berdampak pada peningkatan
kualitas calon kepala daerah.
2.
Terkait syarat pencalonan kepala daerah, Perppu meningkatkan persentase
dukungan menjadi 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi
perolehan suara sah dalam pemilu DPRD di daerah yang bersangkutan. Hal ini
perlu pendalaman terkait ruang partisipasi yang lebih luas bagi partai politik
dalam mengajukan calon sehingga lebih banyak pilihan calon berkualitas bagi
rakyat.
3.
Terkait ambang batas kemenangan, Perppu menetapkan calon kepala daerah harus
memperoleh suara lebih dari 30 persen suara sah, jika tidak maka
diselenggarakan pilkada putaran kedua. Perlu analisis dan kajian dalam rangka
efisiensi dan efektivitas dimungkinkannya pilkada hanya satu putaran saja,
dengan tetap mempertimbangkan derajat legitimasi. Hal ini juga dinilai dapat
mengatasi lamanya penyelenggaraan pilkada berikut implikasi sosial dan
politiknya.
4.
Pengaturan baru melalui Perppu juga perlu cermat dan mendalam berkenaan dengan
berbagai permasalahan penyelenggaraan pilkada selama ini, antara lain bagaimana
mencegah kecurangan pada setiap tahapan khususnya dalam proses rekapitulasi
bertingkat, politik uang, politisasi birokrasi, dan potensi kerusuhan/ gangguan
keamanan. Hal ini terkait erat dengan rumusan jenis-jenis pelanggaran dan sanksi/ancaman
hukumannya baik administratif maupun pidananya serta bagaimana sistem penegakan
hukum pilkada yang efektif dan memberi efek jera.
5.
Terkait pilkada serentak bertahap pada tahun 2015, 2018, 2020 (serentak
nasional) harus benar-benar mempertimbangkan dan mengukur kesiapan
penyelenggaraannya, mengingat jadwal/tahapan yang diatur Perppu terlalu sempit,
khususnya untuk penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2015.
Konsekuensi
dari pelaksanaan pilkada serentak adalah akan banyak daerah yang dipimpin oleh
Pelaksana Tugas Kepala Daerah (PLT) untuk mengisi masa transisi. Perlu kajian
dan pendalaman bagaimana akuntabilitasnya, bagaimana implikasinya bagi
pembangunan daerah karena akan terdapat PLT akan menjabat dalam jangka waktu
yang lama hingga 2-3 tahun, padahal PLT tidak dapat mengeluarkan kebijakan
strategis pembangunan daerah.
Konsep
pilkada serentak juga memerlukan analisa dan kajian yang cermat dalam teknis
penyelenggaraan termasuk penganggaran, potensi kecurangan, gangguan keamanan,
sengketa hasil, dan lain sebagainya karena besarnya hajat secara nasional.
6.
Perppu mengatur bahwa pilkada hanya untuk kepala daerah, sementara wakil kepala
daerah diajukan oleh kepala daerah terpilih untuk ditetapkan dan dilantik oleh
pejabat yang berwenang. Aturan ini sejalan dengan UUD dan mengatasi
permasalahan disharmoni antara kepala daerah dan wakilnya selama ini. Meski
demikian, perlu pendalaman dan pencermatan berkenaan dengan implikasi politik
dan administrasinya. Keberadaan wakil kepala daerah yang dipilih satu paket
dengan kepala daerah selama ini merupakan bentuk keseimbangan dan konsensus
politik dalam pilkada. Keberadaan wakil juga penting untuk menggantikan kepala
daerah dalam hal berhalangan tetap. Jika wakil kepala daerah tidak dipilih satu
paket bagaimana plus-minusnya secara politik serta apakah prosedur penggantian
kepada daerah dalam hal berhalangan tetap yang diatur Perppu telah efektif dan legitimate
dalam rangka melaksanakan roda pemerintahan daerah.
Perppu
juga mengatur jumlah wakil kepala daerah yang berbeda-beda untuk tiap daerah
disesuiakan dengan jumlah penduduk. Perlu pendalaman terkait relevansinya,
bagaimana akuntabilitasnya, karena alih-alih pengaturan ini bisa berdampak
pemborosan dan problem baru jika dalam prakteknya sekadar menjadi politik
akomodasi.
7.
Terkait penyelesaian sengketa hasil pilkada yang oleh Perppu dimandatkan kepada
Mahkamah Agung (MA) dan didelegasikan ke Pengadilan Tinggi (PT) serta
dimungkinkannya banding atas putusan PT. Perlu cermat mengukur kesiapaan MA/PT,
apalagi pilkada ke depan akan dilaksanakan serentak nasional, serta perlu
mencermati potensi masalah berlarutnya penyelesaian sengketa akibat upaya
banding.
8.
Terkait penganggaran pilkada yang bersumber dari APBN dan dapat didukung
melalui APBD perlu cermat dan teliti bagaimana konsep dan realisasinya
menyangkut perencanaan, pelaksanaan, hingga akuntabilitasnya. Harapannya
penganggaran pilkada dapat dilakukan secara efisien dan tepat
sasaran/kebutuhan.
9.
Terakhir berkenaan dengan implikasi legal Putusan MK bahwa pilkada tidak masuk
dalam rezim pemilu—dikaitkan kewenangan KPU dan Bawaslu menyelenggarakan
pilkada, padahal sesuai UUD penyelenggara pemilu hanya dimandatkan utk
menyelenggarakan Pemilu, dalam hal ini Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden-Wapres. Berkenaan dengan hal ini perlu konsensus legal untuk
menetapkan penyelenggara pilkada sehingga tetap legal dan konstitusional.
posted by @Adimin
Label:
SEPUTAR PKS,
TOPIK PILIHAN