Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
September 18, 2018
posted by @Adimin
Jangan Sampai Perbedaan Politik, Membuat Persatuan Tercabik
Written By neobattosai on 18 September, 2018 | September 18, 2018
Ironis hanya karena Pilpres lima tahunan, keutuhan dan kesatuan anak bangsa tercabik dan terenggut
MELIHAT polarisasi anak bangsa yang begitu tajam
menjelang Pilpres 2019, perlu ada upaya serius baik dari pemerintah
maupun rakyat untuk saling bekerja sama untuk menyejukkan suasana.
Sedianya, pilihan politik dalam demokrasi merupakan perbedaan lumrah,
namun menjadi tak wajar ketika perbedaan tersebut menjadi
kontraporduktif sehingga bisa mencabik-cabik persatuan anak bangsa.
Suasana yang memanas ini, bisa dilihat di jagat media. Pilpres baru
berlangsung pada tahun 2019, namun panasnya sudah sampai saat ini.
Melalui media sosial, masing-masing kubu membela mati-matian pasangan
yang dibela. Seolah kubu A, pasti benar dan harus dibela mati-matian;
sementara kubu lain pasti salah dan harus dihujat dan dibully sedemikian
rupa demi kemenangan pasangan yang diusung; demikian juga sebaliknya.
Bila pembaca ditanya: bila dilihat dari skala prioritas
bangsa-negara, kepentingan mana yang jauh lebih utama dan diperjuangkan
antara Pilpres lima tahunan (yang pada realitanya menimbulkan riak-riak
perbedaan tajam yang bisa menggerus persatuan) atau persatuan dan
kesatuan anak bangsa? Tentu saja, semua menginginkan keduanya tak perlu
dinegasikan. Idealnya hajatan Pilpres walaupun berbeda-beda pilihan
tetap dalam kondisi sejuk dan damai.
Hanya saja, siapakah yang bisa menjamin situasi tetap aman
terkendali, sehingga tak merusak kesatuan dan kerukunan? Mau tidak mau,
masing-masing dari kita sebagai anak bangsa (baik pemerintah maupun
rakyat) mempunyai andil dan peran untuk mengkondisikannya. Ketika
melihat fenomena-fenomena yang mengarah pada perpecahan, maka segera
diatasi dan dicari solusinya agar tidak menyebar luas.
Jangan sampai sejarah pilu yang merenggut persatuan anak bangsa
terulang kembali hanya gara-gara pilihan politik yang berbeda. Contoh
berikut, yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Bambang Pranowo dalam “Memahami
Islam Jawa” (2011: 311-326) pada kasus di Tegalroso sebelum meletus
G30S-PKI. Di daerah ini, ada tiga partai politik yang membuat penduduk
terpolarisasi dengan tajam: PNI, PKI dan NU.
Polemik dan konflik antar-penduduk yang terjadi di desa ini, hampir
sama dengan kondisi saat ini di jagat media yang menggambarkan perbedaan
yang begitu meruncing. Bagi pendukung NU kala itu, PKI dianggap sebagai
partai atheis. Bagi PKI, partai NU dianggap terlalu memperdulikan
masalah keagamaan dan tidak ada program-progam konkret buat rakyat.
Sementara PNI dianggap sebagai partainya priyayi. NU dan PNI pun walau
relatif stabil hubungannya, tetap juga pernah saling sindir dan nyinyir.
Pak Sutar, salah satu orang bekas PKI yang diwawancarai Dr. Bambang
mengatakan kondisi saat itu, “Kita sudah tersedot ke dalam situasi di
mana kita, satu sama lain, saling memandang sebagai musuh. Orang PKI
melihat anggota PNI dan NU sebagai pembela tuan tanah. Orang PNI melihat
orang PKI sebagai kelompok anti-nasional yang berkiblat ke Peking dan
Moskow. Sementara anggota NU menganggap orang PKI sebagai orang yang
anti agama.”
Perbedaan tajam ini, yang banyak disebabkan membabi buta pada partai
yang dijunjung, tak jarang menimbulkan konflik fisik. Pada tahun 60-an,
Pak Alip, seorang aktivis Ansor mengenang keterlibatannya saat bentrok
fisik dengan PKI. Di desa Pucang, enam bulan sebelum meletus G30S-PKI di
Indonesia, digelar rapat terbuka PKI. Dalam acara itu, ada salah satu
anggota PKI yang menyitir ayat Al-Qur`an sesuai dengan kepentingan
politik mereka. Akibatnya, bentrok fisik tak terelakkan. Dan akhirnya
dibubarkan polisi.
Terlepas dari perbedaan tajam yang kemudian berbuntut keretakan
persatuan itu, kalau dilihat dari penuturan masing-masing pendukung
partai –yang diwawancarai oleh Dr. Bambang—ada fakta unik yang
sebenarnya bisa mereka gunakan untuk menjaga persatuan di antara mereka.
Mereka mayoritas muslim (meski PKI sekalipun). Bahkan, PNI yang
dianggap kurang peduli agama, mendirikan Djami’atul Muslimin Indonesia
(DMI) sebagai wadah untuk untuk mereka yang ingin tumbuh sebagai orang
muslim dan mereka juga tetap sembahyang.
Warga yang ikut PKI sekalipun jangan dikira paham dan mengerti
hakikat ideologi PKI. Sebagaimana penuturan Pak Sutar tadi, memilih PKI
hanya sebagai pertimbangan pragmatis rakyat kecil yang ingin perubahan
konkret. Meski Islam mereka abangan, tapi tetap Islam. Bahkan, mereka
tak tahu-menahu tentang kudeta PKI pada 1965. Meski begitu, mereka harus
menelan pil pahit: disiksa dan dipenjara pesca G30S-PKI.
Penulis yakin, setelah membaca wawancara Prof. Bambang mengenai
perbedaan yang terjadi di desa Tegalroso, jika di antara mereka lebih
mengedepankan prinsip tabayyun, menjaga kesejukan, menjalin komunikasi
yang baik, saling bertukar gagasan ideal untuk kepentingan yang lebih
luas, tidak fanatis dan membabi-buta terhadap partai yang didukung serta
menjadikan persatuan sebagai prioritas, maka perbedaan haluan politik
di antara mereka yang kemudian menimbulkan konflik yang kontraproduktif
bagi persatuand an kesatuan, tak akan terjadi.
Mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah tersebut, di era digital
ini, bertepatan dengan hajatan Pilres 2019 mendatang, alangkah indahnya
jika perbedaan-perbedaan itu tak sampai mencabik persatuan. Perbedaan
dikelola untuk menuangkan gagasan dan ide terbaik untuk kepentingan
bangsa dan negara. Bukan untuk saling menjatuhkan dan mengolok-ngolok
pihak lain. Sehingga, tak muncul lagi istilah “cebong”, “kampret” dan
lain-lain di jagat media yang bisa merusak persatuan.
Di situasi semacam ini, kita benar-benar membutuhkan sosok pemersatu,
penyejuk, pendamai, peredam. Laksana Nabi Muhammad ﷺ yang tak jemu
membangun dan mengupayakan spirit persatuan di kalangan Muhajirin dan
Anshar yang selalu diadudomba oleh orang-orang munafik.
Kita sudah sama-sama maklum mengenai pribahasa, “Bersatu kita teguh,
bercerai kita runtuh.” Namun, menjadi sangat ironis jika hanya karena
Pilpres lima tahunan, lantaran tak dapat mengola perbedaan, keutuhan dan
kesatuan anak bangsa tercabik dan terenggut, yang pada gilirannya rawan
ditunggangi oleh orang-orang yang berkepentingan.*/Mahmud Budi Setiawan
posted by @Adimin
Label:
SLIDER,
TOPIK PILIHAN