Powered by Blogger.
Humas PKS Ikuti Worshop Jurnalistik Pada Rapat Koordinasi
Humas PKS se-Sumatera Barat melaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) yang berlangsung pada tanggal 4 - 6 November 2022 di Padang, Senin (5/11) ...
Search This Blog
Latest Post
March 01, 2013
Inilah Bapak Robot Dunia Islam
Written By @Adimin on 01 March, 2013 | March 01, 2013
Anda tentu terkagum-kagum dengan
kemajuan teknologi robot yang semakin hari semakin canggih. Buah
kreativitas para ilmuan ini telah banyak membantu pekerjaan manusia,
terutama untuk hal-hal yang cukup berisiko bagi keselamatan jiwa.
Kekaguman
Anda saat ini atas teknologi robot, tentu cukup beralasan di zaman yang
serba canggih saat ini. Namun, tahukan Anda bahwa sejak abad ke-13
dunia Islam sudah mengenal kemajuan teknologi robot. Sebuah mesin robot
telah tercipta dari tangan seorang ilmuan muslim cerdas, bernama Abu
al-’Iz Ibn Isma’il ibn al-Razaz al-Jazari (1136-1206). Ia berasal dari
Utara Mesopotamia, kawasan utara Irak dan timur laut Syiria. Al Jazari
juga mampu menciptakan robot yang mirip manusia.
Ia juga
menulis Kitab Fí ma’rifat al-hiyal al-handasiyya (Buku Pengetahuan Ilmu
Mekanik) tahun 1206, di mana dia menjelaskan lima puluh peralatan
mekanik berikut instruksi tentang bagaimana cara merakitnya.
Kemampuan menciptakan robot yang dimiliki Al Jazari lebih dulu unggul dibandingkan tokoh barat, Leonardo Da Vinci yang baru
merancang pembuatan robot pada 1478. Karena itulah, Al Jazari pun
dijuluki sebagai “Bapak Robot”
Salah satu mesin robot
terkenal buatan Al Jazari adalah mesin yang berbentuk sebuah perahu.
Perahu itu terapung di sebuah danau dan ditumpangi empat robot pemain
musik.
Masing-masing robot pemain musik punya tugas penting.
Ada yang berperan sebagai penabuh drum sebanyak dua orang. Ada juga yang
meniup harpa dan suling. Canggih!
Mereka semua itu diciptakan untuk menghibur para tamu kerajaan dalam acara jamuan minum.
Sebagai
robot pemain musik, tentu saja, mereka pun ahli menghasilkan suara
musik yang indah. Misalnya saja, robot penabuh drum ciptaannya, dapat
memainkan beragam irama yang berbeda-beda. Jadi, robot itu pun bermain
musik seperti manusia sungguhan!
Nah, penemuan penting lainnya
dari ilmuwan yang bernama lengkap Ibnu Al Jazari adalah pencuci tangan
otomatis. Keran yang otomatis keluar air tanpa harus diputar, berkat
penemuan bapak robot inilah cara kerja keran otmatis itu ada hingga saat
ini.
Sistem pencuci tangan yang dikembangkan Al Jazari itu
juga digunakan saat ini dalam sistem kerja toilet moderen. Robot ini
berbentuk seorang wanita yang berdiridengan sebuah baskom terisi air.
(tribun)
posted by Adimin
Label:
Ilmu dan Islam,
Saint,
TOKOH
March 01, 2013
Etika kepada ALLAH
Sulit membayangkan anak-anak didik kita saat ini untuk dapat beretika
dengan Allah SWT, jika dalam keseharian mereka meninggalkan etika
kepada sesama dan kedua orang tuanya.
Anak-anak kita dewasa ini memandang orang tua sebagai kawan, partner dan sahabat. Bersamaan dengan itu pula, dalam diri mereka tidak tumbuh pemahaman bagaimana seharusnya mereka beretika terhadap kedua orang tuanya dan sesama manusia.
Sekilas kita memperoleh kemajuan dalam mendidik anak dengan cara modern ini, karena mereka dapat bersikap egaliter, setaraf dengan orang tua, kritis dan meniadakan sikap ewuh pakewuh. Namun jika kita tidak mengajarkan kepada mereka, bagaimana seharusnya mereka beretika dengan sesama dan orang tua, maka tidak mustahil mereka akan tumbuh sebagai pribadi-pribadi yang arogan, materialistis, dan tidak berbudi luhur.
Jika mereka tidak tahu bagaimana seyogyanya diri mereka beretika terhadap orang tuanya, maka mereka juga tidak akan tahu mengenai apa yang harus dilakukannya pada saat orang tua mereka meninggal dunia. Mereka bahkan tidak akan mengerti bagaimana beretika dengan Tuhan mereka.
Beradab dan beretika baik terhadap Allah SWT adalah perilaku para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Mereka memiliki pandangan bahwa Allah SWT adalah eksistensi dasar dan utama dalam kehidupan di dunia ini, sebab segala wujud di dunia ini berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 156). Ia adalah eksistensi yang sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher setiap manusia (QS. Qaaf: 16), hanya saja ia ghaib yang eksistensinya terepresentasi dalam diri dan lingkungan sekitar kita. Maka ia ada dan niscaya keberadaan-Nya.
Perhatikanlah etika dialog Isa AS pada saat Allah menegaskannya bahwa Tuhan hanya satu:
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" (Isa) menjawab: "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulan Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku (Isa) tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." (QS. Al-Ma'idah: 116).
Perhatikan pula etika Ibrahim AS dalam menyatakan pengakuan kekuasaan Allah SWT atas dirinya:
(yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang member petunjuk kepadaku, dan Yang member makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS. Asy-Syu'ara': 78-80).
Dua kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Allah berada di sekitar kehidupan keseharian manusia. Ia tidak jauh, eksis, dan memengaruhi kehidupan manusia. Perhatikan juga etika Rasulullah SAW kepada-Nya pada saat Aisyah menanyakan mengapa beliau masih beribadah dengan sekuat tenaga, padahal dosanya telah dijamin akan diampuni Allah SWT:
Dari Aisyah RA berkata: Adalah Rasul SAW, apabila beliau mendirikan salat, maka beliau melakukannya hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah berkata: “Wahai Rasul, kenapa engkau lakukan yang demikian ini, padahal Tuhanmu telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang?" Rasulullah SAW menjawab: "Wahai Aisyah, apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang (pandai) bersyukur?” (HR. Bukhari).
Beretika kepada Allah SWT dengan demikian merupakan keniscayaan dan representasi kedalaman iman seseorang, bahkan Allah lebih berhak menjadi representasi etika manusia. Maka jika dalam shalat, orang tua saleh mengarahkan kepada anaknya untuk memakai pakaian terbaiknya, arahan tersebut sesungguhnya merupakan etika kepada Allah, sekaligus pengejawantahan perintah Allah (QS. Al-A'raf: 31) agar kita menggunakan pakaian bagus kita pada waktu menghadap-Nya, sebab Dia lebih berhak daripada manusia. Wallahu A'lam.
Anak-anak kita dewasa ini memandang orang tua sebagai kawan, partner dan sahabat. Bersamaan dengan itu pula, dalam diri mereka tidak tumbuh pemahaman bagaimana seharusnya mereka beretika terhadap kedua orang tuanya dan sesama manusia.
Sekilas kita memperoleh kemajuan dalam mendidik anak dengan cara modern ini, karena mereka dapat bersikap egaliter, setaraf dengan orang tua, kritis dan meniadakan sikap ewuh pakewuh. Namun jika kita tidak mengajarkan kepada mereka, bagaimana seharusnya mereka beretika dengan sesama dan orang tua, maka tidak mustahil mereka akan tumbuh sebagai pribadi-pribadi yang arogan, materialistis, dan tidak berbudi luhur.
Jika mereka tidak tahu bagaimana seyogyanya diri mereka beretika terhadap orang tuanya, maka mereka juga tidak akan tahu mengenai apa yang harus dilakukannya pada saat orang tua mereka meninggal dunia. Mereka bahkan tidak akan mengerti bagaimana beretika dengan Tuhan mereka.
Beradab dan beretika baik terhadap Allah SWT adalah perilaku para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Mereka memiliki pandangan bahwa Allah SWT adalah eksistensi dasar dan utama dalam kehidupan di dunia ini, sebab segala wujud di dunia ini berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 156). Ia adalah eksistensi yang sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher setiap manusia (QS. Qaaf: 16), hanya saja ia ghaib yang eksistensinya terepresentasi dalam diri dan lingkungan sekitar kita. Maka ia ada dan niscaya keberadaan-Nya.
Perhatikanlah etika dialog Isa AS pada saat Allah menegaskannya bahwa Tuhan hanya satu:
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" (Isa) menjawab: "Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulan Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku (Isa) tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." (QS. Al-Ma'idah: 116).
Perhatikan pula etika Ibrahim AS dalam menyatakan pengakuan kekuasaan Allah SWT atas dirinya:
(yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang member petunjuk kepadaku, dan Yang member makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS. Asy-Syu'ara': 78-80).
Dua kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Allah berada di sekitar kehidupan keseharian manusia. Ia tidak jauh, eksis, dan memengaruhi kehidupan manusia. Perhatikan juga etika Rasulullah SAW kepada-Nya pada saat Aisyah menanyakan mengapa beliau masih beribadah dengan sekuat tenaga, padahal dosanya telah dijamin akan diampuni Allah SWT:
Dari Aisyah RA berkata: Adalah Rasul SAW, apabila beliau mendirikan salat, maka beliau melakukannya hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah berkata: “Wahai Rasul, kenapa engkau lakukan yang demikian ini, padahal Tuhanmu telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang?" Rasulullah SAW menjawab: "Wahai Aisyah, apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang (pandai) bersyukur?” (HR. Bukhari).
Beretika kepada Allah SWT dengan demikian merupakan keniscayaan dan representasi kedalaman iman seseorang, bahkan Allah lebih berhak menjadi representasi etika manusia. Maka jika dalam shalat, orang tua saleh mengarahkan kepada anaknya untuk memakai pakaian terbaiknya, arahan tersebut sesungguhnya merupakan etika kepada Allah, sekaligus pengejawantahan perintah Allah (QS. Al-A'raf: 31) agar kita menggunakan pakaian bagus kita pada waktu menghadap-Nya, sebab Dia lebih berhak daripada manusia. Wallahu A'lam.
Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA
sumber : republika
posted by Adimin
Label:
MUHASABAH
March 01, 2013
Seorang hamba tidak pantas membanggakan
amal ibadahnya yang seolah-olah bisa terlaksana karena pilihan dan
usahanya semata, apalagi ada perasaan telah memberikan kebaikan untuk
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan
amal ibadah hamba-hamba-Nya. Dia Mahakaya, tidak butuh kepada
makhluk-Nya. Wallahu Ta'ala A'lam
badrul tamam
posted by Adimin
Hati hati !!! Jangan Tertipu dengan Amalmu
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu
'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Tujuan diciptakan manusia untuk
beribadah kepada Allah Ta'ala semata. ibadah ini dikerjakan sampai nyawa
berpisah dari badan. Dalam pelaksanaannya dituntun yang terbaik, ahsanu amala.
Yakni dengan benar-benar menjaga keikhlasan dan benar dalam
pelaksanaan. Setelah itu ia berharap kepada Allah dengan sungguh-sungguh
agar diterima.
Namun jangan kita lengah, karena syetan
tetap akan menggoda kita supaya ibadah tersebut rusak. Salah satunya
adalah dengan menanamkan rasa bangga diri, kekaguman dan bangga dengan
amal tersebut. Merasa bahwa ia telah menunaikan hak Allah dengan
sempurna. Kesombongan boleh jadi ikut tertanam, sehingga ia melihat
dirinya yang paling baik sementara ibadah orang lain banyak kekurangan.
Sikap orang shalih penghuni surga tidak
demikian. Mereka sungguh-sungguh dalam ibadah kepada dan takut
kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Bahkan, lebih dari itu, ia
beranggapan amalnya tidak pantas diterima oleh Allah. Banyak cacat dan
kekurangan dalam ibadah yang mereka tegakkan sehingga istighfar
senantiasa terucap dari lisan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang
mereka,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
"Dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu
bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (QS. Al-Mukminun: 60)
Aisyah Radliyallaahu 'Anha berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tentang ayat ini, apakah mereka orang-orang yang minum khamer, pezina, dan pencuri? Beliau menjawab, “Tidak,
wahai putri al-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa,
menunaikan shalat dan shadaqah namun mereka takut kalau amalnya tidak
diterima.” (HR. Muslim, kitab al Imarah, bab Man Qatala li al-Riya wa al-Sum’ah Istahaqqa al-Naar, no. 1905)
Allah menyebutkan beberapa sifat penghuni surga dari orang-orang muttaqin,
إِنَّ
الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ
إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ
اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil
mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka.
Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat
baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (QS. Al-Dzaariyat: 15-18)
Ibnu Katsir menyebutkan penafsiran
sebagian ulama terhadap ayat terakhir, "Mereka shalat malam dan
mengakhirkan (melanjutkannya,-red) istighfar sampaia waktu sahur
(menjelang shubuh)." Jadi mereka itu adalah orang-orang yang mengisi
hidupnya dengan kebaikan. Mereka banyak amal dengan harta dan fisik
mereka. Tapi dipenghujung malam, selepas mengerjakan shalat malam yang
panjang, mereka memohon ampun atas dosa dan kesalahan.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Puas dengan
ketaatan yang telah dilakukan adalah di antara tanda kegelapan hati dan
ketololan. Keraguan dan kekhawatiran dalam hati bahwa amalnya tidak
diterima harus disertai dengan mengucapkan istighfar setelah melakukan
ketaatan. Hal ini karena dirinya menyadari bahwa ia telah banyak
melakukan dosa-dosa dan banyak meninggalkan perintah-Nya."
Allah telah memerintahkan kepada para
hujjaj untuk mengucapkan istighfar setelah mereka rampung dari
melaksanakan ibadah haji. Hal ini sebagai penyempurna dan kemuliaan.
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا
أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ
لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ
وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Maka apabila kamu telah bertolak
dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah
(dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang
sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang
banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Baqarah: 198-199)
Syaikh al-Sa'di rahimahullah mengatakan,
"Beginilah seharusnya yang dilakukan hamba, setiap selesai dari
melaksanakan ibadah dia beristighfar (meminta ampun) kepada Allah atas
kealpaan dan bersyukur kepada Allah atas taufiq-Nya. Tidak seperti orang
yang melihat dirinya telah menyempurnakan ibadah dan berbangga di
hadapan Tuhannya."
Dalam surat lain Allah menjelaskan,
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
"(Yaitu) orang-orang yang sabar,
yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah),
dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali Imran: 17)
Imam al-Hasan menjelaskan ayat ini,
bahwa mereka adalah orang-orang yang lama dalam menjalankan shalat
sampai menjelang waktu sahur (akhir malam) kemudian mereka duduk dengan
mengucapkan istighfar (meminta ampunan) kepada Allah.
Dalam hadits shahih dijelaskan bahwa ketika Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam selesai mengucapkan salam dari shalatnya, maka beliau mengucapkan istighfar tiga kali. (HR. Muslim dari Tsauban)
Jangan Bersandar Pada Amal
Sebab dari ketertipuan ini adalah sikap
bersandar kepada amal secara berlebih. Ini akan melahirkan kepuasan,
kebanggaan, dan akhlak buruk kepada Allah Ta’ala. Orang yang melakukan
amal ibadah tidak tahu apakah amalnya diterima atau tidak. Mereka tidak
tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga mereka tidak tahu apakah
amalnya bernilai keikhlasan atau tidak. Oleh karena itu, mereka
dianjurkan untuk meminta rahmat Allah dan selalu mengucapkan istighfar
karena Allah Mahapengumpun dan Mahapenyayang.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
لَنْ
يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ
بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
"Sungguh amal seseorang tidak akan
memasukkannya ke dalam surga." Mereka bertanya, "tidak pula engkau ya
Rasulallah?" Beliau menjawab, "Tidak pula saya. Hanya saja Allah
meliputiku dengan karunia dan rahmat-Nya. Karenanya berlakulah benar
(beramal sesuai dengan sunnah) dan berlakulah sedang (tidak berlebihan
dalam ibadah dan tidak kendor atau lemah)." (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik al-Bukhari)
Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk
surga kecuali dengan rahmat Allah. Dan di antara rahmat-Nya adalah Dia
memberikan taufiq untuk beramal dan hidayah untuk taat kepada-Nya.
Karenanya, dia wajib bersyukur kepada Allah dan merendah diri kepada
Allah.
Tidak layak dia bersandar kepada amalnya
untuk menggapai keselamatan dan mendapatkan derajat tinggi di surga.
Karena tidaklah dia sanggup beramal kecuali dengan taufiq Allah,
meninggalkan maksiat dengan perlindungan Allah, dan semua itu berkat
rahmat dan karunia-Nya.
badrul tamam
posted by Adimin
Label:
OASE