Home » » Tauhid Yang Membebaskan

Tauhid Yang Membebaskan

Written By @Adimin on 02 January, 2013 | January 02, 2013


Di negeri ini proses pemiskinan -- baik pemiskinan secara kultural maupun struktural tengah terjadi menggusur bangsa ini -- yang, kesemuanya itu berujung pada proses 'peyatiman' bangsa -- ketika nasib rakyat dan umat ditelantarkan oleh negara. Maka, negara dan elit-elitnya sesungguhnya telah terlibat dalam proses pendustaan dan pengkhianatan terhadap nilai2 agama. Tragis memang....

Kenyataan-kenyataan tersebut, telah menjungkirbalikkan rakyat dan umat menjadi tersubordinasikan pada titik nadir yang memprihatinkan. Bangsa ini yang mayoritas masyarakat Muslim menjadi terpingggirkan oleh silang sengkarut dinamika reformasi yang mandeg dan jalan di tempat. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa posisi umat Islam di Indonesia berada pada posisi pheripheral -- yang secara sosiologis, itu sudah menjadi karakteristik negara berkembang termasuk Indonesia yang ditandai oleh ketidakmerataan ekonomi yang makin melebar. Padahal kita tahu, bahwa masyarakat menjadi miskin bukan disebabkan karena mereka tidak memiliki aspek kultural yang dinamis dan kreatif, tapi kerena mereka dimiskinkan oleh suatu sistem struktural -- di mana mereka tidak diberi peluang yang sehat dan memadai.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Islam itu bukan agama kebebasan (sebagaimana orang-orang JIL menafsirkan). Tapi Islam itu adalah agama pembebasan yang membebaskan dari ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan serta pembebasan dari kesewenang-wenangan kekuasaan yang tiran. Dengan missinya yang membebaskan tersebut, umat Islam diharapkan bisa ‘naik kelas' posisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Meskipun dalam realitas sejarahnya, manusia modern saat ini kerap dihadapkan pada problematikanya sendiri, di mana umat Islam berada di dalamnya. Manusia yang asalnya merdeka dengan segala kemerdekaan dan kebebasannya, yang selalu merasa menjadi pusat dari segala sesuatu, kini telah diturunkan derajatnya oleh suatu sistem nilai kebudayaan modern, manusia menjadi tak lebih sebagai bagian dari mesin. Dalam masyarakat modern manusia tengah menghadapi dan mengalami mekanisasi kerja. Proses seperti ini menyebabkan manusia kehilangan perspektifnya (Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1993).

Manusia di zaman modern ini -- telah terpasung oleh situasi zaman yang menyertainya. Mereka mengalami keterpasungan dan keterbelengguan oleh sistem kebudayaan modernitas itu sendiri. Dan ini terjadi pada bangsa ini yang tengah mengalami fase akhir dari suatu masyarakat agraris dan fase awal dari sebuah masyarakat industri. Di sini kerap terjadi benturan antara nilai-nilai lama (Islam dan budaya) di satu sisi, dan nilai-nilai baru di sisi yang lainnya. Yang pada ujungnya manusia mengalami kegelisahan dan keterasingan.

Sedangkan pada sisi lainnya, pada bangsa ini pula -- sebagian besar masyarakatnya tengah mengalami ketidakberdayaan oleh pelbagai sistem struktural yang menyebabkan tidak memiliki daya tawar yang kuat. Mereka menjadi masyarakat pinggiran yang terpinggirkan oleh sejarah dan kekuasaan yang hampir tidak pernah berpihak kepada mereka.

Dari analisis tersebut, sesungguhnya kita menaruh harapan banyak pada Islam. Tentu saja, di sini Islam mesti ditafsirkan secara cerdas dan pintar oleh umatnya dengan tetap berpegang teguh pada diktum Islam (Qur'an dan Sunnah) yang bersifat essensial dan eternal. Sejauhmana Islam turut andil dalam memberikan perubahan dan pembebasan atas pelbagai nasib manusia yang terhimpit oleh sistem ketidakadilan baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun aspek-aspek lainnya.

Tauhid dan Pembebasan: Sebuah Redefinisi

Istilah Tauhid dalam wacana umat Islam Indonesia kerap disebut ‘tauhid'. Menurut Nurcholish kata-kata tersebut merupakan kata benda kerja aktif yang secara harfiah mengandung makna ‘menyatukan' dan ‘mengesakan' yang oleh para mutakallim dipahami sebagai upaya untuk ‘me-Maha-Esa-kan Allah'. Yang dengan ini, semangat tauhid akan memberikan dampak pembebasan dalam hidup dan kehidupan manusia. Pandangan ini muncul sebagai bagian dari dambaan setiap insan -- khususnya umat Islam terhadap pandangan hidupnya yang mampu membawa pembebasan dari pelbagai belenggu zaman modern.
Senada dengan pandangan di atas, menurut Amien Rais (1991:13) bahwa kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan esensial. Formulasi paling pendek dari kalimat tauhid adalah: laa ilaha illa Allah -- sebuah kalimat dalam bentuk negasi-afirmasi(nafy-itsbat). Di mana seorang manusia-tauhid hanya memutlakkan Allah Yang Esa sebagai Khaliq-nya, dan menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Komitmennya kepada Allah adalah total, kukuh, tulus, mencakup cinta dan pengabdian, dan kemauan yang keras untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Dalam Islam, kalimat tauhid sesungguhnya telah menjadi tauhid pembebasan bagi umat Islam. Karena dengan kalimat tauhid sesungguhnya harus meniadakan otoritas dan petunjuk yang datang bukan dari Tuhan. Yang menurut Amien, doktrin tauhid Islam sesungguhnya mengemban tugas untuk melakukan tahrir al-nas min ‘ibadat al-'ibad ila ‘ibadatillah' (membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah semata).
Dan hal itu sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad ‘Athiyah al-'Ibrasyi (Ruh al-Islamy,Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiah, 1969, hal. 172). bahwa, Islam itu merupakan agama pembebasan, persaudaraan dan persamaan (Al-Islamu dien al-huriyati wa al-ukhuwwti wa al-musawati....). Yang dalam sejarahnya Islam telah melakukan upaya liberasi bagi para hamba sahaya untuk dimerdekakan dan diangkat derajatnya menjadi manusia yang merdeka, sejajar dan terhormat.

Pembebasan Diri dan Pembebasan Sosial

Bahwa keengganan manusia untuk menerima kebenaran antara lain karena sikap menutup diri dari keengganan untuk mengetahui kebenaran yang diperkirakan nilainya akan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan oleh keangkuhan yang sudah membelenggu diri manusia. Belenggu yang dimaksud tiada lain adalah hawa nafsu atau vested interest (al-hawa). Inilah sumber pribadi yang selalu menolak kebenaran. Hawa nafsu juga menjadi sumber pandangan subyektif yang tidak berdasar (Lihat Qs. Al-Jatsiyah: 23).
Doktrin tauhid dalam Islam, menurut Cak Nur, sesungguhnya bisa memberikan pembebesan diri (self-liberation). Hanya dengan dengan self-liberation seorang manusia-tauhid akan mampu menangkap kebenaran, dan hanya dengan menangkap kebenaran itulah seseorang akan bisa membebaskan dirinya. Inilah sesungguhnya makna yang sangat esensial dari kalimat tauhid. Di sinilah doktrin tauhid Islam memberikan pembebesan pribadi, di mana seseorang menjadi merdeka sejati yang hanya akan melihat setiap yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah.
Oleh karena itu, manusia tauhid akan dengan bebas menentukan sendiri pandangan dan jalan hidupnya menurut pertimbangan akal sehat dan hati nurani secara jujur tentang apa yang benar dan yang salah, ia tampil berani dan elegan, penuh percaya diri, jujur dan adil serta memiliki integritas yang kuat. Karena ia tidak terkungkung oleh keangkuhan dirinya (lihat Qs. Al-Ma'idah: 8).
Dengan pembebasan diri yang kuat sebagai efek dari tauhid, maka tauhid dalam Islam pula bisa memberikan efek bagi pembebasan sosial sebagai kelanjutan dari pembebasan diri-individu. Dalam al-Qur'an pandangan hidup bertauhid selalu berkaitan dengan penolakan terhadap ‘thagut' yang dipahami sebagai kekuatan sewenang-wenang atau apa-apa yang melewati batas atau juga sebagai kekuatan tiranik. Yang menurutnya, kesanggupan seorang pribadi untuk melepaskan diri dari belenggu kekuatan tiranik -- itu dipahami sebagai efek dari pembebasan sosial semangat tauhid (Qs. Al-Baqarah: 256).

Singkat kata, Islam sesungguhnya merupakan agama pembebasan bagi manusia. Karena salah satu misi Islam yang paling besar adalah melakukan pembebasan. Dalam konteks dunia modern, doktrin tauhid Islam harus bisa membebaskan manusia dari kungkungan/belenggu pemikiran dan juga dari sistem-sistem sosial, politik maupun ekonomi maupun sistem-sistem lainnya yang menyebabkan manusia tidak bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.

Dengan demikian, bangunan tauhid Islam secara fungsional harus mampu mentransformasikan setiap individu untuk melakukan upaya liberasi dari pelbagai kungkungan sistem yang tidak manusiawi. Dan pada saat yang bersamaan pula bangunan tauhid Islam mendorong kaum Muslimin untuk menegakkan suatu tatanan sosial yang adil dan etis.
Dalam diktum Alquran, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik -- ini sesuatu yang sangat dikecam keras (lihat Qs. Al-Ma'un: 1-6 dan Al-Humazah: 1-6). Karena manakala ketimpangan dan ketidakadilan tersebut dibiarkan, maka bisa mengakibatkan manusia menjadi buta terhadap nilai-nilai luhur (lihat Qs. Ali- ‘Imran: 14; Yunus: 23).

Internalisasi Tauhid Sebagai upaya Pembebasan

Dalam realitas empirisnya, kita kerap menyaksikan bahwa ada orang yang rajin shalatnya tapi juga rajin korupsinya, ada yang sudah berkali-kali melaksanakan ibadah haji tapi rajin pula menindas rakyatnya. Dalam perspektif ini, orang tersebut sama sekali tidak bertauhid. Padahal nilai-nilai tauhid itu selalu hadir dalam situasi dan kondisi apapun.
Untuk itu, upaya membumikan Islam dalam konteks Islam sejarah secara apa adanya menjadi bagian penting yang mesti diwujudkan. Karena boleh jadi, doktrin tauhid Islam yang selama ini diyakini dan dipahami dipandang tidak cukup memberi implikasi pada jiwa-jiwa pribadi muslim.
Di sini, makna tauhid perlu di-internalisasi pada wilayah yang lebih konkret - sebagai upaya untuk men-substansiasi Islam dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bahkan bernegara. Dengan pemaknaan tauhid seperti ini diharapkan lebih mencerahkan dan mencerdaskan. Salah satu kepentingan yang cukup signifikan -- mengapa tauhid perlu dikedepankan untuk melakukan transformasi dan pembebasan, baik sosial maupun individual? Karena sebagai doktrin tauhid, bagimana Islam mampu mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visi Islam itu sendiri. Sehingga Islam memberikan insight moral bagi masyarakat. Dengan kata lain, meminjam pernyataan Kuntowijoyo -- tidaklah Islami misalnya, jika masyarakat muslim bersikap apriori terhadap kondisi struktural dan kultural masyarakatnya, sementara kita tahu kondisi tersebut penuh kemunkaran dan kezaliman. Wallahu a'lam bi al shawwab...


sumber : persis.or.id
posted by Adimin
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Web | PKS Padang | Mas Temp
Copyright © 2011. PKS KOTA PADANG - All Rights Reserved
Template Created by PKS Padang Published by Mas Temp
Proudly powered by Blogger