Pada Pemilu 2009, banyak kita temukan calon presiden berkampanye dan berteriak-teriak tentang perlunya hidup sederhana. Sementara dirinya justru hidup dalam kemewahan.
Selain urusan tidak sinkron antara ucapan dan perbuatan, urusan lebih menghawatirkan adalah urusan uang. Ada gejala pergeseran tujuan hadirnya partai poltik, di mana partai politik saat ini menjadikan uang (logistik) menjadi tujuan utama. Kegelisahan ini pernah diungkap Chairman Aktual Network Dr Yudi Latif.
“Saat ini demokrasi ditopang kekuatan logistik. Parahnya partai Islam ikut tarian. Harusnya kan bersekutu agar politik tidak dikuasi oleh uang," ujar, Yudi Latief dalam diskusi Aktual Forum bertajuk "Quo Vadis Parpol Islam dalam Arus Demokrasi Liberal" di Dapur Selera, Jakarta, Ahad (10/2).
Banyaknya degradasi identitas dalam partai berbasis Islam dinilai karena ketidakseriuasan memperjuangkan nilai ideologinya sendiri. Menurutnya, kebanyakan kasus negatif yang menimpa pada partai - partai Islam pasti terkait pada kebutuhan logistik mereka menjelang kampanye.
Lebih dalam ia mengkaji banyak partai Islam terjebak, lalu larut untuk memenuhi kebutuhan logistiknya akhirnya kehilangan identitas moralnya. Pernyataan Yudi diakui politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zulkieflimansyah. Menurut Zulkifli, partai berhaluan ideologi agama pada era kini memang begitu lemah dalam menghadapi godaan uang. Musibah yang bisa dijadikan contoh dalam hal ini adalah kasus Ahmad Fathanah.
Memang tak mudah hidup sederhana, di era sistem politik hedonis saat ini. Tapi sebagai partai Islam, mestinya hal-hal yang prinsip bertentangan dengan syariat Islam mesti dijaga.
Korupsi, hidup dalam kemewahan mestinya dihindari. Ketika seseorang mengikrarkan dirinya sebagai politisi Muslim (apalagi dari Partai Islam), saat itu masyarakat akan jeli melihatnya. Sebagaimana perkataan Sayidina Ali ra : “Sebagaimana kamu dahulu mengawasi dengan tajam pemimpinmu dahulu, kamu juga akan diawasi dengan tajam.”
Prawoto Mangkusasmito
Keteguhan pada perjuangan, menjadikan dirinya "iri" (cemburu) melihat kawan-kawannya sudah merasakan penjara, sedang dirinya belum. Tapi cemburunya itu, akhirnya terobati setelah dia juga ditangkap rezim Soekarno dan dipenjara di Rumah Tahanan Militer di Madiun bersama Mohammad Roem, Isa Anshori, Yunan Nasution dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya.
Adalah Prawoto. Laki-laki berperawakan kurus itu memang telah banyak memberi teladan pada para pemimpin. Bekas Ketua Umum Masyumi (1959-1960) ini, hidupnya sederhana dan tidak bergelimang duit. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga, istrinya juga membantu mencari nafkah.
Prawoto lahir di desa Tirto, Grabag Magelang 4 Januri 1910. Sejarah hidupnya, menggambarkan seorang pejuang politik (Islam) yang konsisten terhadap agama. Dalam soal prinsip agama, mantan guru sekolah Mauhammadiyah ini mengingatkan;
Tokoh Masyumi Mohammad Natsir, juga kagum terhadap pribadi Prawoto. Menyambut meninggalnya Prawoto (24 Juli 1970), Natsir membuat tulisan berjudul "Seorang mujahid pergi dan tidak kembali." Dalam sambutan mengantar jenazah Prawoto, Natsir menyatakan bahwa kelebihan Prawoto di antaranya adalah pergaulannya yang luas dan mau langsung terjun berdakwah dan berdiskusi di tengah-tengah ummat. Prawoto biasa mengunjungi petani atau rakyat-rakyat kecil di desa, untuk berdiskusi masalah agama, politik dan kehidupan sehari-hari mereka.
"Rugi untungnya perjuangan, kita nilai dengan rugi untungnya Islam," kata Prawoto, seperti dikutip Harian Abadi, 2 April 1960. Dalam kesempatan itu ia juga menjelaskan kenapa Masyumi keluar dari DPR Gotong Royong, bentukan Presiden Soekarno bersama PKI. "Masyumi tidak ada di dalamnya, sebab yang duduk di situ adalah orang-orang yang disebut "revolusioner" saja. Tetapi sampai di mana ada jaminan bahwa DPR Gotong Royong itu tidak akan direcool lagi?" sindir Prawoto
Nuim Hidayat
posted by @Adimin
Post a Comment