Konflik antar putra-putra Bayazid
merupakan ujian besar bagi pemerintahan Utsmani. Konflik ini membuat
mereka melakukan instropeksi diri, sehingga buahnya akan dipetik saat
penaklukkan Konstantinopel di hari kemudian. Sudah menjadi sunnatullah,
bahwa Allah tidak akan memenangkan satu umat, kecuali setelah mereka
melewati fase uji-coba berat dan beragam; dengan ujian itu Allah hendak
membedakan kualitas manusia yang baik dan jelek. Sunnah ini berlaku bagi
umat Islam, tanpa kecuali. Allah berkehendak menguji kaum muslimin,
untuk menyaring keimanan mereka, setelah itu baru memberikan kejayaan di
muka bumi.
Ujian bagi kaum muslimin sebelum
kemenangan, adalah perkara pasti dan niscaya, sebagai filter agar
bangunan yang kelak kemenangan yang akan berdiri, bisa tegak dengan
kokoh dan kuat. Sebagaimana firman Allah:
“Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka
tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang
benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut:2-3)
Ujian bisa datang berupa beban berat,
seperti harus meninggalkan tanah tumpah darah, berperang melawan musuh,
masalah loyalitas yang sulit diharapkan, godaan syahwat yang berat, atau
ditimpa kemiskinan dan krisis keuangan, dan segala macam musibah yang
menimpa jiwa. Begitu juga sikap sabar atas perlakuan orang-orang kafir,
baik berupa siksaan, provokasi, maupun tipu daya mereka.[1]
Saat menafsirkan surat Al-Ankabut
diatas, Al Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Istifham (kata tanya) dalam ayat
ini merupakan kata Tanya pengingkaran yang maknanya ialah, bahwasanya
Allah pasti memberikan cobaan kepada orang-orang beriman, sesuai kadar
keimanan mereka.”[2]
Dalam hadits shahih disebutkan,
“Seberat-berat orang yang mendapat
ujian adalah para Nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian orang-orang
seperti mereka dan seterusnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar
agamanya. Jika agamanya kuat, maka akan semakin banyak ujiannya.” (HR. At Tirmidzi. Diambil dari Sunan At Tirmidzi, 4/601. Hadits hasan shahih).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menjelaskan, bahwa ujian itu adalah sifat yang lazim bagi kaum muslimin. Beliau bersabda,
“Perumpamaan orang beriman itu
laksana pohon. Angin selalu menerpanya dan setiap mukmin akan senantiasa
mendapatkan ujian. Sedangkan perumpamaan orang munafik itu adalah
laksana tanaman padi yang tidak bergerak, kecuali saat dipanen.” (HR Muslim. Diambil dari syarah Imam Nawawi, dalam Bab Kiamat, Sorga dan Neraka:17/151).
Sesungguhnya ujian itu berlaku bagi
setiap umat, Negara dan bangsa-bangsa. Maka demikian pulalah ujian itu
menimpa pemerintahan Utsmani. Setiap Negara yang akan mencapai
kematangannya, tak sepi dari segala cobaan.
Alhamdulillah, pemerintahan Utsmani
tetap kokoh bertahan, walaupun digempur berbagai macam konflik internal
yang hebat dan keras. Sampai akhirnya –dengan pertolongan Allah—Muhammad
I berhasil naik tahta sebagai pemimpin tunggal pada tahun 1413 M. Dia
mampu menghimpun kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya lepas dari
kekuasaan Utsmani. Sesungguhnya kesadaran para pemimpin Utsmani,
pascakekalahan di Ankara menghadapi Timurlenk, adalah kesadaran mereka
untuk kembali kepada manhaj Rabbani. Langkah demikian sangat berkah,
sehingga pemerintahan Utsmani kembali menjadi satu kekuatan terpandang
dari sisi akidah, agama, perilaku, akhlak, dan jihad. Dengan karunia
Allah jua, pemerintahan Utsmani mampu kembali ke spirit reliji dan
menghidupkan akhlakul karimah.[3]
Dengan modal kecerdasan sangat langka
yang ditata oleh Orkhan dan saudaranya Alauddin dalam membangun system
pemerintahan yang baru; adanya tata administrasi kehakiman yang rapi;
serta adanya jenjang pendidikan yang komprehensif (totalitas) bagi
generasi muda Utsmani; serta berkat pertolongan Allah Yang Maha Mulia,
maka di bawah kepemimpinan Muhammad I, pemerintah Utsmani perlahan-lahan
kembali ke jalur semula, yaitu jalur lurus untuk mewujudkan mimpi
besar, menaklukkan kekuatan politik Nasrani Eropa, Konstantinopel.
Terjadinya tragedy kekalahan di Ankara
tidak membuat Bani Utsmani murung dalam kesedihan berlarut-larut. Justru
tragedy ini member pelajaran besar, bahwa kemenangan pemerintahan
Utsmani tidak bisa dilepaskan dari pertolongan Allah. Satu-satunya jalan
untuk mencapai kemenangan, ialah kembali ke manhaj Rabbani. Itulah
manhaj yang di dalamnya mengalir air kehidupan dan spirit syariah Islam.
Jalan seperti ini cepat membawa berkah; pemerintahan Utsmani maju
secara fantastis dan sangat membingunkan musush-musuhnya
[1] Tafsir An Nasafi, 3/249
[2] Tafsir Ibnu Katsir, 3/405
[3] Fi Ushul Al-tarikh Al-Utsmani, 61
[4] Muhammad Al Fatih, hlm.37
posted by @Adimin
Post a Comment