Banyak warga Indonesia sendiri justru menjadi ‘tangan kanan asing’ dan
rela menjual dan menggadaikan Negererinya kepada pihak asing
DALAM setiap penjajahan selalu ada dari orang-orang bumi putera yang membantu dan melayani sang penjajah, termasuk di Indonesia.
Tidak mungkin Belanda negara yang begitu kecil dan sedikit
penduduknya bisa menjajah Indonesia ratusan tahun, tanpa bantuan
pribumi. Termasuk pasukan militer Belanda jaman dahulu seperti KNIL,
banyak menggunakan orang-orang Indonesia sendiri yang menjadi anggotanya
dan siap bertempur melawan saudaranya sendiri.
Fenomena seperti ini nampak masih berjalan meski kita sudah merdeka
hampir 70 tahun lamanya. Banyak warga Indonesia sendiri justru menjadi
‘tangan kanan asing’ dan rela menjual dan menggadaikan Negererinya
kepada pihak asing.
Pertanyaannya adalah mengapa bisa sampai sedemikian hebatnya sang
penjajah menggunakan tenaga manusia yang berasal dari negara jajahannya
sendiri?
KNIL singkatan dari Koninklijk Nederlands Indische Leger adalah tentara kerjaan Hindia Belanda yang melayani dan membantu Pemerintahan Hindia Belanda.
KNIL, lebih tepatnya serdadu belanda yang terdiri dari orang-orang
belanda, tentara bayaran dan sewaan dari negara lain serta warga pribumi
(Indonesia).
Tahun 1936 jumlah pribumi yang menjadi tentara KNIL mencapai 33 ribu
orang atau sekitar 77%. Tentu tidak mudah begitu saja diterima sebagai
tentara KNIL karena akan ditugaskan berperang melawan saudara
sebangsanya sendiri. Karena itulah harus melalui proses cuci otak dan
seleksi yang ketat, agar tidak terjadi senjata makan tuan.
Rupanya perkembangan zaman tidak membuat paradigma KNIL ini menjadi
lapuk. Bahkan sekarang ini kita dapatkan orang berlomba-lomba untuk
menjadi “Neo KNIL” dengan iming-iming materi, gengsi dan kehormatan,
mereka yang hari ini mentalitasnya Budak Penjajah justru merasa bangga
menjadi “Londo Ireng” (The Zwarte Hollanders/Belanda Hitam). Di
Negeri yang budaya feodalis belum hilang seperti ini, atribut materi,
pangkat, jabatan dan kedudukan menjadi supermasi. Jangan heran kalau
para budak penjajah menempati kedudukan yang terhormat di tengah-tengah
masyarakat feodal seperti ini.
Untuk itu marilah kita lihat seperti apa mentalitas Neo KNIL itu saat ini.
1. Inferior
Di antara mental seorang budak yang paling menonjol adalah mental
inferior (Rendah Diri). Merasa tidak punya apa-apa, tidak bisa apa,
tidak bisa berdiri dikaki sendiri, merasa belum siap untuk merdeka,
hanya dengan bantuan majikan merasa bisa hidup. Maka penghormatan kepada
majikan kaum imperialis sangat berlebihan semantara melihat bangsanya
sendiri penuh dengan kehinaan.
Indikator yang paling mencolok adalah ketidak mampuan mereka melihat
kejahatan majikan yang sedemikian jelasnya, sehingga tidak bisa
mengkritisi majikan, mungkin karena sudah banyak diberikan roti dan
keju. Sementara terhadap saudara sebangsanya sendiri sangat sinis,
terutama kepada para pejuang yang ingin memerdekakan bangsa ini dari
berbagai bentuk penjajahan.
Indikator lainnya adalah pembelaan kepada sang majikan kaum imprialis
sangat berlebihan dan over acting seperti orang yang sedang mencari
muka.
Padahal roti dan keju yang diberikan oleh majikan adalah hasil
rampasan dari berbagai kekayaan Negara si jongos tersebut. Tapi yang
namanya sudah mental budak tidak mau tahu, yang penting perut kenyang
bantuan dari majikan.
Kita juga menyaksikan apabila si jongos ketemu dengan si majikan
bahasa tubuhnya tidak bisa disembunyikan, terlihat dengan jelas mental
jongosnya, dengan membungkukkan badannya, sambil tangannya memegang
bagian bawah dekat kemaluanya. Saat terjadi dialog maka satu kata yang
haram keluar dari mulut si jongos tadi adalah kata “tidak”. Apa saja
yang diinginkan oleh simajikan harus dijawab dengan “Inggiih”
2. Shock Culture
Sifat Inferior membawa dampak seseorang menjadi sering norak atau
katro. Melihat kemajuan material, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di
kecuali harus ikut apa majikan kalau mau maju. Saat itulah otak menjadi
beku, kreatifitas mandeg, yang ada cuma copy paste, ikut, nurut, nunut, manut, ngekor, ngintil, jiplak, ngepek
seperti kerbau yang negara-negara imperialis semakin merasa tidak
berdaya lagi. Seolah tidak ada pilihan lain sudah cicocor hidungnya,
ditarik kemana saja mau ikut.
Menjadi tolak ukur kemajuan kalau dalam kesehariannya jika sudah bisa
mengikuti pola dan gaya hidup barat. Juga menjadi naik status sosialnya
jika bisa menyelenggarakan berbagai event, termasuk pesta perkawinan
dan seremonial laiinya dengan “Gaya Londo”. Kalau perlu anak dijadikan
obyek untuk meningkatkan status social orang tuanya melalui pesta
pernikahan tersebut. Belum lagi hari-hari yang dianggap besar, seperti
tahun baru, valentine day, april mop dan pesta-pesta lainnya, maka
berlomba-lombalah si Belanda Hitam untuk memamerkan atraksi ke”Norak”annya dengan sangat PD nya.
Semakin norak lagi dengan bangganya memamerkan hasil fikirannya yang
tidak lain cuma hasil jiplakan punya majikannya, tetapi merasa hasil
karyanya sendiri. Memang diantara ciri khas budak ialah tidak merasa
bahwa dirinya sedang diperbudak. Dengan bangganya mengabdi pada majikan
yang dianggap punya jasa besar terhadap dirinya.
3. Komprador Volunteer
Ketika noraknya sudah sedemikian rupa, sampai ia siap menjadi tenaga
sukarelawan untuk mempromosikan barang dagangan majikannya. Mulai dari
gaya hidup, budaya, seni, makanan, minuman, pakaian, assesoris, symbol,
lambing atribut dan sebagainya. Dengan media informasi yang dimiliki
majikannya, menjadi laris manis dagangan yang dijualnya. Jadilah bangsa
ini menjadi sangat konsumeris dan pengimpor besar barang-barang asing.
Rupiah terus anjlog terutama terhadap mata uang Negara-negara
Imperialis. Ekonomi tidak stabil, inflasi semakin tinggi. Pengangguran
semakin banyak. Produk asing semakin tidak terbendung, mulai dari
teknologi tinggi sampai tusuk gigi. Negara ini isinya 2/3 lautan tapi
garam bisa import dan tidak merasa malu. Tempe tahu kecap makanan
rakyat, tapi 80% kedelenya Impor.
Mereka-mereka yang berhasil mengimpor produk-produk asing terutama
seni dan budaya, bisa bertengger di papan atas, seperti pahlawan
lagaknya, karena berhasil mempekenalkan budaya asing ke tengah-tengah
anak bangsa ini. Sementara milyaran uang terus terkuras keluar, karena
kesukaannya terhadap produk-produk asing. Sementara kerusakan moral
akibat dari budaya Import tersebut sudah sedemikian besar, tidak bisa
dihitung lagi dampak kerugiannya.
Diantara ciri seni dan budaya Negara-negara Imprialis adalah
Kebebasan berekspresi kebinatangan atau mengumbar syahwat. Atas nama Hak
Asasi dan Kebebasan, ekspresi mereka tidak bisa dilarang. Karena nanti
akan dituduh Anti HAM dan akan diadukan kemajikannya. Sekarang ini
organisasi atau club-club yang menjadi kaki tangan Imprialis berada di
papan atas. Dengan pongah, sombong serta bangganya mereka terus
menjajakan barang dagangan milik majikannya ke tengah-tengah masyarakat
pribumil.
Sementara mereka yang mempertahankan kedaulatan Negara, menjaga
rupiah jangan sampai anjlog, menjaga budaya bangsa agar jangan sampai
dirusak, mengingatkan anak bangsa agar mencintai produk dalam negeri,
akan dicap sebagai orang yang menghalangi kebebasan berekpresi, tidak
mengerti HAM dan sebagainya. Ribuan orang pribumi tewas mereka akan
seperti orang buta, gagu dan budge, tidak bisa bicara. Tetapi andai satu
orang bule saja mati, maka geger dunia seperti kebakaran jenggot, media
gempar, ramai-ramai si jongos imperialis itu juga ikut teriak-teriak,
sambil menyalahkan saudaranya sendiri sesama pribumi.
4. Raja Tega
Seorang tentara KNIL dilatih, dididik, serta dicuci otaknya agar siap
berperang melawan pribumi atau saudaranya sendiri. Maka dimasukan resep
PIL yang bernama “Si Raja Tega”. Dengan demikian dia tidak akan
ragu-ragu lagi siap bertempur untuk mengganyang saudaranya sendiri.
Orang belanda menyebut panggilan pribumi yang berani melawan dengan
Istilah Extrimist. Orang yang sudah otaknya tercuci maka dia tidak punya
beban apapun ketika harus membantu majikan si Imperialis dalam
memberangus para pejuang kemerdekaan. Roti dan keju yang telah
membutakan hati si jongos tadi, sehingga tidak lagi terfikir bagaimana
Negara yang semakin hancur lebur ini.
Sementara sekarang Neo KNIL sudah berada di zaman modern yang serba
tehnologi. Bukan hanya cuci baju saja yang bisa pakai mesin otomatis,
tetapi cuci otak juga sudah bisa secara otomatis. Dengan sarana dan
fasilitas pengumbar nafsu syahawat yang semakin mudah, murah dan dekat
terjangkau, terjadilah proses cuci otak melalui “CANDUisasi”
dengan “pil syahwat” yang semakin lama semakin tinggi dosisnya sampai
dalam keadaan sakau yang terus menerus, tidak bisa dihentikan.
Dalam keadaan sakau yang terus menerus, maka setiap orang yang
memberikan pil candu tersebut akan diangkat sebagai majikan, sebaliknya
siapa saja yang mencoba menghentikan akan dianggap sebagai lawan. Di
situlah proses cuci otak terjadi. Hak Asasi diartikan kebebasan
mengumbar nafsu syahwat, sementara melarangnya berarti menentang HAM,
akan siap berhadapan dengan majikannya.
Secara otomatis otak sudah tercuci, “kawan dan lawan” diukur siapa
yang memberikan candu dan siapa yang melarang. Bagi yang memberi itu
kawan dan yang melarang itu lawan. Dalam keadaan sakau pula orang bisa
nekat yang penting bisa mendapatkan candu. Saat itulah seseorang bisa
jadi raja tega karena sudah hilang akal sehatnya dan sudah putus urat
malunya.
Seorang yang ingin mempertahankan kedaulatan negaranya, menjaga
kehormatan dan harga diri bangsanya, mengajak untuk bisa berdiri
sendiri, akan sangat bertentangan dengan keinginan Negara-negara
Imperialis yang menjadi majikan Neo KNIL tersebut. Mereka menginginkan
Negara jajahan terus berada dalam keadaan ketergantungan yang
terus-menerus, sehingga mudah dikendalikan.
Saat itulah dua kepentingan bertemu. Si majikan bagaimana bisa terus
menjajah, si Neo KNIL yang sudah sakau berkeinginan bagaimana roti dan
keju plus candu syahawat tadi tidak boleh putus. Ketika Negara
berdaulat, kehormatan dan harga diri terjaga disitulah nafsu liar yang
akan merusak negara sangat dibatasi, sehingga si Jongos tadi merasa
terancam kepentingannya
Oleh. M. Fuadz
posted by @Adimin
Post a Comment