Suatu ketika seorang musafir tiba di madinah. Laki yang baru pertama kali
menginjakkan kaki di madinah itu membawa barang dagangan yang sangat banyak. Kelelahan
setelah berjalan jauh musafir itu duduk beristirahat. Saat itulah muncul
seorang laki2 yang kelihatan miskin dengan baju penuh tambalan. Tanpa piker panjang
sang musafir meminta orang itu untuk
membawakan barnag dagangannya ke pasar. Orang itupun mengiyakan. Ditengah jalan
orang orang saling berbisik menyaksikan laki2 itu memanggul barang layaknya kuli
pasar.
“tahukah kamu siapakah yang membawakan barang barang daganganmu itu
..?? bisik seseorang pada musafir.
“tidak..”, jawabnya. “dia adalah Amirul
Mukminin Umar bin Khattab.
Alangkah terkejutnya sang musafir. Ia memang belum pernah bertemu dengan Umar
bin Khattab, tergopoh gopoh sang musafir meminta maaf dan membujuk Umar ra agar
mau meletakkan barang bawaannya. Tapi Umar bersikeras membawanya ketempat
tujuan sesuai dengan janjinya tanpa sedikitpun terbersit rasa marah atau kesal.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab tarikhnya, dan Ibnu Mardawiyah dari
Tsumamah bin Hazan ra. Suatu hari ketika Umar sedang menunggang keledainya ia
berpapasan dengan seorang wanita tua. Wanita tua itu menghentikan langkah Umar
dan menegurnya dengan nada marah (tidak dijelaskan secara pasti apa yang dikeluhkan wanita itu kepada Umar). Mendapat
perlakuan seperti itu sedikitpun Umar tidak marah. Bahkan ia tetap menerima dan
menanggapinya dengan ramah tamah.
Melihat sikap Umar ada orang yang dengan penasaran bertanya,” wahai Amirtul
mukminin, mengapa engkau berlaku selemah lembut itu kepadanya……??. Umar tersenyum dan menjawab “ aku tidak berani
dengan wanita tua itu, sebab keluhannya pernah didengar oleh ALLAH swt dari
balik tujuh lapis langit sehingga ALLAH menurunkan ayat pertama dari surat Al
Mujadalah. Wanita itu adalah Khaulah binti Tsa’labah yang telah di dzihar oleh
suaminya Aus bin Shamit.
Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab diatas adalah teladan yang sangat
berharga bagi siapa saja yang sedang berkuasa atau merasa memiliki kekuasaan
sebesar apapun. Bahkan kekuasaan seberapapun besarnya mestinya tidak harus
sampai melahirkan arogansi dan kepongahan. Tak bisa dipungkiri orang-orang yang memiliki
kekuasaan seringkali diliputi rasa
gengsi. Itulah sebabnya seandainya mereka diminta untuk melakukan pekerjaan “rendahan”
akan muncul rasa enggan. Bagaimana perasaan seorang ustadz dihadapan murid
muridnya bila diperintah orang yang tak kenal layaknya kuli saja. Padahal dia
begitu dihormati murid muridnya, bahkan oleh masyarakat umum..?? bagaimana
perasaan seorang camat, gubernur, menteri, jenderal atau presiden bila tiba
tiba diperintah oleh rakyat jelata..??
Sayangnya orang orang yang memiliki kedudukan tinggi, cenderung sulit menerima
nasehat apalagi teguran dari orang yang lebih rendah kedudukannya. Banyak alasan
yang enggan menerima koreksi bawahan. Kondisi ini akan semakin buruk bila
menimpa sebuah komunitas tertentu, organisasi tertentu atau kelompok tertentu. Artinya
arogansi pribadi sudah sangat buruk, apalagi bila dilakukan secara kolektif. Lebih
lebih bila arogansi itu berlindung dibalik payung agama.
Mengapa kita tidak belajar dari sikap Umar ketika diomeli perempuan tua
didepan umum..??. Padahal kelebihan wanita tersebut “hanya” menjadi sebab
turunnya satu ayat saja dari al qur’an. Bukankah bisa saja Umar berkata “ kau
ini siapa hai wanita tua, aku adalah Amirul Mukminin dan menjadi sebab turunnya
empat ayat al qur’an. Tapi Umar tidak melakukan hal itu.
Siapakah kita bila dibandingkan Umar ra…?? Dizaman ia menjadi khalifah
wilayah kekuasaannya meliputi dua pertiga dunia. Atas segala pribadi baiknya, Rasullullah
bersabda “ kalaulah ada seorang nabi sepeninggalku, tentulah Umar orangnya..”
Siapakah kita bila dibandingkan Umar ra…?? Sementara kita paling hanya
seorang ustadz, pimpinan partai, pemimpin ormas, atau segala macam jabatan
lainnya. Tanpa bermaksud merendahkan setinggi apapun kekuasaaan kita, tak ada yang
bisa menyamai kekuasaan Umar.
Ajaibnya sikap tawadhu dan
rendah hati justru sangat dominan pada diri Umar yang terkenal keras. Ia keras
dalam membela yang benar, tapi juga tunduk dan luluh menerima kebenaran. Pernah
terjadi di masa Umar para gadis mensyaratkan mahar yang amat tinggi. Tentu saja
hal itu menyulitkan banyak pemuda yang ingin menikah. Melihat keadaan itu Umar
mematok mahar tertinggi. Seorang wanita tua memprotes kebijakan Umar dihadapan
orang banyak.”Wahai Umar, apakah ketentuan itu dari ALLAH dan rasulnya ataukah
dari dirimu sendiri..??? Mendengar hal itu Umar langsung membatalkan keputusannya.
Keteladanan Umar adalah
hasil didikan langsung Rasulullah saw. Mereka memang para pemimpin agung yang mewarisi
akhlak yang mulia. Mereka mengajarkan bagaimana mencintai kebenaran, menjunjung
tinggi hokum dan keadilan. Selain itu mereka juga mengajarkan bahwa arogansi
dan kepongahan tidak akan menghasilkan dan menyelesaikan apapun, justru merendahkan
pelaku arogansi sendiri.
Tampaknya kita masih harus
banyak belajar. Siapapun kita, sebagai rakyat, sebagai penguasa, pemimpin ormas,
pemimpin keluarga, Kepala desa bahkan Presiden sekalipun, harus banyak
mencontoh akhlak mulia para pendahulu kita. Jangan sampai kekuasaan seberapapun
besarnya malah melahirkan sikap arogan dan kepongahan.
Baru dipanggil ustadz, syaikh,
buya atau sebutan terhormat lainnya, tidak mau menyapa dulu sebelum disapa
duluan, belum bentuk-bentuk arogansi lainnya.
Seharusnya semakin tinggi ilmu seseorang, semakin dianggap tinggi oleh masyarakat atau suatu komunitas, maka seharusnya semakin tawadhu, semakin rendah hati, dan semakin lebih mengerti dengan keadaan sekitar, bukan merasa lebih tinggi, semakin pongah… semoga kita tidak seperti itu.
Seharusnya semakin tinggi ilmu seseorang, semakin dianggap tinggi oleh masyarakat atau suatu komunitas, maka seharusnya semakin tawadhu, semakin rendah hati, dan semakin lebih mengerti dengan keadaan sekitar, bukan merasa lebih tinggi, semakin pongah… semoga kita tidak seperti itu.
Wallahualam bishawab
posted by @Adimin
Post a Comment