“Bermegah-megahan telah melalaikan
kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak
kamu akan mengetahui. janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka
Jahiim.” (QS. At Takatsur (102) : 1-6).
Di tengah jutaan rakyat miskin masih
banyak para pejabat yang gemar memamerkan kekayaan. Hilang
pada diri mereka rasa prikemanusiaan dan rasa takut kepada Allah
Subhanahu Wata’ala. Telah lenyap pada diri mereka kekhawatiran terhadap
perhitungan yaumul hisab. Sesungguhnya keadaan ini telah diprediksi oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
“Akan tiba bagi manusia suata masa pada saat orang tidak lagi peduli apakah harta yang diperolehnya halal atau haram.” (HR. Bukhari).
Pejabat tinggi melakukan korupsi secara
besar-besaran. Pejabat kecil melakukan korupsi kecil-kecilan. Yang
menjadi korban adalah rakyat kebanyakan. Kekayaan negara yang demikian
melimpah hanya dinikmati oleh segelintir kecil orang. Rakyat kebanyakan
harus rela hidup di bawah garis kemiskinan. Orang miskin tidak boleh
sakit. Orang miskin tidak boleh pintar. Orang miskin tidak boleh
bahagia. Terjadilah ketimpangan dalam distribusi wewnang dan hasil
pembangunan. Bertolak dari sinilah terjadinya kehancuran berbagai
negeri.
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu.” (QS. Al Hasyr (59) : 7).
Kita tidak boleh membiarkan ketimpangan
sosial ini terus terjadi. Kita harus berjuang dengan cara mencerdaskan
masyarakat kita, terutama para pejabat kita yang suka melakukan
manipulasi angka-angka. Kita ajari mereka agar memiliki kecerdasan
finansial sehingga kemakmuran rakyat yang menjadi cita-cita berdirinya
negara Indonesia itu dapat terwujud. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang makmur dan memperoleh ampunan dari Tuhan Yang Maha Pengampun).
Hidup di zaman sekarang ini memang berat.
Semua serba uang. Mau melahirkan anak memerlukan uang. Mau makan, mau
sekolah, bahkan mau ke WC di terminal pun harus mengeluarkan uang.
Apalagi kalau sakit, mati pun mengeluarkan uang.
Hal ini sesuai dengan prediksi Rasulullah. “Pada akhir zaman kelak manusia harus menyediakan harta untuk menegakkan urusan agama dan urusan dunianya.” (HR. Thabrani).
Memang dengan harta yang cukup kita dapat
memelihara harga diri kita dari meminta-minta, dan kita bisa menolong
orang lain. Dengan harta yang cukup kita dapat makan dan minum yang
halal dan thayib, bisa bersedekah dan bisa beribadah haji. Kita bisa
makan kenyang, tidur pulas, menutup aurat dan tempat tinggal yang mapan.
Justru, orang yang rakus bermental miskin.
Berapapun karunia yang diberikan oleh Allah SWT tidak dapat
mengantarkannya bermental memberi. Islam mengajarkan, orang yang kaya
itu bukanlah orang yang banyak saldonya di Bank. Orang yang kaya adalah
orang yang kaya hati.
Orang yang kaya hati, senang berbagi dan memberi orang-orang yang membutuhkannya.
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan dalam hartanya ada hak bagi peminta-minta, dan orang miskin yang menahan diri dari meminta”.
Maksudnya, ia gemar bersedekah dan
memberikan sebagian rizki yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala
kepadanya untuk orang lain yang membutuhkan. Ia yakin dengan memberi
sesungguhnya akan mendapat kan/memperoleh. Allah Subhanahu Wata’ala akan
menggantinya dan melipatgandakannya. Orang inilah yang bermental kaya.
Sebaliknya, orang yang simpanannya banyak, tetapi merasa kurang terus,
sehingga ia dihinggapi penyakit thoma’ (rakus), sesungguhnya ia
bermental miskin. Semakin menumpuk kekayaan yang dimilikinya bagaikan
minum air laut, semakin diminum semakin haus.
Orang bertakwa tidak terjangkiti penyakit
materialis. Yaitu, ketika memberi selalu mempertimbangkan untung/rugi.
Ada maksud tersembunyi dibalik pemberiannya itu. Ia khawatir jika ia
memberi, jatuh miskin. Takut hartanya berkurang. Ia tidak percaya bahwa
Allah Subhanahu Wata’ala yang melapangkan dan menyempitkan rezeki
seseorang.
Dengki (Hasud)
Dengki adalah rojaa-u zawaali ni’mati al-ghoir
(senantiasa berharap hilangnya nikmat pada diri orang lain). Dalam
sejarah kehidupan manusia sifat buruk inilah yang menjadi penyebab
pembunuhan pertama kali di dunia. Dilakukan putra seorang Nabi yang
bernama Qobil dan Habil. Habil meninggal di tangan kakak kandungnya
hanya karena persoalan wanita. Wajar jika Rasulullah mengingatkan kepada
kita bahwa sifat hasud tidak sekedar mencukur rambut bahkan mencukur
sendi-sendi agama.
Beliau juga mengingatkan: “Jauhilah oleh kalian sifat dengki, karena sesungguhnya dengki akan membakar seluruh kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.“ (al Hadist). Ummat ini akan menjadi baik selama tidak berkembang sifat dengki.
Demikian bahayanya secara individu dan
sosial, Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam mengajarkan kepada kita doa
khusus agar terhindar dari penyakit dengki.
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Ssesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr (59) : 10).
Takabur (Sombong)
Menurut Imam Al Ghozali puncak keruntuhan
kepercayaan adalah syirik (menyekutukan Allah) dan puncak kerusakan
akhlak adalah takabur. Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain (bathrul haq wa ghomthun Nas). Sifat warisan iblis
inilah yang menjadikan anak manusia tidak pandai melihat kekurangan
dirinya sendiri (intropeksi), tetapi lebih senang melihat kekurangan
orang lain. Semua orang memiliki kans untuk bersikap sombong dalam
profesi apapun. Karena keturunan (nasab), kedudukan (hasab), ketampanan
(al Jamal), kekuatan (al Quwwah), kekayaan (harta), ilmu (pengetahuan),
al atba’ (pengikut).
Tetapi, kesombongan yang paling dibenci
adalah kesombongan yang dilampiaskan tanpa alasan. Yaitu, orang miskin
yang sombong, orangtua yang berzina, dll. Seharusnya miskin harus tahu
diri. Seharusnya orangtua itu lebih cenderung kepada ketaatan. Karena,
usia yang dimilikinya semakin berkurang. Tua-tua berbudi, makin tua
makin mengabdi.
Allah sangat membenci kesombongan. Karena pada dasarnya manusia itu tempat salah dan lupa (al insanu mahalil khothoi wa an nisyan).
Sekalipun manusia memiliki potensi yang baik yang diberikan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala, tetapi dibatasi oleh berbagai kekurangan/kelemahan.
Di dalam diri manusia disamping ada sisi
terang, pula ada sisi gelap. Manusia hanya berisi tong kotoran yang
bersumber dari dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung,
lubang qubul dan lubang dubur. Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Allah
tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga seorang yang dalam
dirinya masih tersimpan sifat sombong sekalipun seberat atom.
Dendam
Sifat ini sangat berbahaya baik secara
individu maupun kelompok/kehidupan sosial. Karena sifat ini akan
mendorong seseorang untuk menjatuhkan orang lain yang berbeda dengannya.
Ia ingin melihat orang yang menjadi lawan politiknya celaka. Ia akan
berusaha agar tidak ada orang lain yang menyainginya, baik dalam aspek
jabatan, kekayaan, pengaruh, ilmu dll. Ia gembira jika melihat orang
lain bernasib buruk, dan menderita, serta jatuh, agar posisinya tetap
eksis dan diakui orang lain. Rasulullah mengingatkan kepada kita agar
senantiasa waspada terhadap penyakit jiwa ini. Sebab penyakit ini akan
mudah merusak pergaulan hidup.
Jika kita mencermati carut marutnya
kehidupan manusia dari masa ke masa pokok pangkalnya adalah efek ketiga
penyakit jiwa tersebut. Yaitu: serakah, dengki, sombong dan dendam.
Usaha yang terpenting dalam mengatasi
gejolak sosial lanjut beliau, masing-masing individu dari anak bangsa
ini mengembangkan tiga sifat berikut:
Pertama, maafkanlah orang yang pernah berbuat zalim kepadamu (wa’fu man zhalamaka).
Kedua, berilah kepada orang yang pernah menghalangi pemberian kepadamu (wa’thi man haromaka).
Ketiga, sambunglah orang yang pernah memutuskan hubungan kepadamu (wa shil man qotho’aka).
Jika sikap senantiasa memberi kepada siapa
saja, apapun bentuknya pemberian itu, baik berupa materi dan immateri,
menjalin silaturahim dan menyebarkan pintu maaf maka rahmat Allah akan
senantiasa meliputi kehidupan mereka…
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء
وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS: Ali Imran (3) : 133-134).
oleh Shalih Hasyim
posted by @Adimin
Post a Comment