Gludak....gluduk... kerompyang….
Beberapa waktu lalu datanglah utusan HAMAS ke Balikpapan, Syaikh Shiyam
dan Syaikh Abdul Azis bersama para pegiat peduli Palestina dari Komite
Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) Jakarta. Mereka datang dalam
rangka penggalangan dana untuk Palestina. Saat itu sedang terjadi perang
Hijaratus sijjil di bumi Gaza.
Siang itu terik tak terperi. Baling-baling kipas anginku sudah mematung
lantaran dinamonya telah tamat riwayatnya. Mati mendadak beberapa hari
silam terserang stroke hebat karena kebanyakan berputar sementara
terjadi penyumbatan-penyumbatan debu pada celah kumparannya. Kipas angin
itu tak ubahnnya hanya sebuah patung maniken yang tidak laku.
Aku dan isteriku duduk berhadapan sambil bercakap-cakap dalam suasana
rumah panas karena bias matahari yang mengurung rumah kami.
Aku: “Mi… kau tahu kan betapa kalau mendengar Palestina bergetar rasa
tubuhku ini. Mendidih darahku hendak pergi berperang melawan Israel
terlaknat. Tapi tak mungkin pula aku kesana. Paling-paling nanti
ngerepotin tentara HAMAS saja, mereka repot jagain aku karena tak paham
medan. Besok ada penggalangan dana untuk Palestina oleh KNRP. Masih
adakah uang kita?”
Isteriku: “Aih, tak ada uang lagi kita abi, kecuali buat makan 10 hari. Tahu kan ini bulan tua? Belum gajian”.
“Ah iya… kenapa pula bulan, kau ini cepat kali tuanya? Ini KNRP juga
tak pandailah cari momen. Masak menggalang dana bulan-bulan tua begini.
Tak punya almanak kah mereka ini bah? Ah memang kantor aja yang tidak
mau beda dikit. Coba gajian tiap hari aja, tak usah tunggu akhir bulan.”
Menggerutu aku cari kambing hitam. Padahal memang begitulah saban
bulan. Besar pasak daripada tiang.
Isteriku semakin cepat mengibas-ngibaskan potongan kardus aqua yang
dibuatnya kipas angin manual. Keringatnya mulai kering. Akhirnya aku
perintahkan ia untuk mengumpulkan semua uang yang tersisa untuk
disumbangkan ke Palestina dalam penggalangan dana besok. Kecuali hanya
sedikit untuk beli bensin kendaraan. Urusan makan nanti ajalah, Allah
yang atur ujarku. Isteriku yang solehah itu mengangguk saja menurut.
Singkat cerita esoknya ramailah manusia berdesakan menyaksikan konser
amal Opik, Sulis dan Grup Nasyid Shoutul Harokah di hotel Novotel
Balikpapan.
Setiap ada yang menyumbang atau membeli barang lelang amal dalam jumlah
besar, hatiku merinding. Ada yang membeli sorban Opik lima juta. Ada
yang menawar delapan juta. Airmataku bercucuran. Aku demi Allah iri
terhadap mereka. Seolah mereka berlomba memboking kamar di Surga. Aku
tersudut dalam jasad miskin nan papa ini melantunkan potongan ayat
Al-qur’an yang menurutku sangat cocok dengan kondisiku: “...lalu
mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan,
lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infaqan” (QS: At-Taubah :92).
Ketika tiba waktu melelang syal rajutan keluarga Ismail Haniya dan
ditandatangani oleh perdana menteri Hamas itu, suasana tegang. Dibuka
harga dua puluh juta. Lalu naik perlahan-lahan dua puluh delapan juta,
tiga puluh juta, enam puluh juta. Aku hampir pingsan tak berdaya.
Kembali surah at-taubah ayat 92 mengiang-ngiang di telingaku. Akhirnya
syal itu tutup harga tujuh puluh dua juta rupiah. Dibeli oleh sepasang
pengantin muda yang tengah menanti kelahiran anak pertama mereka.
Lututku bergetar dan akhirnya jatuh terantuk ke atas lantai. Disusul
jatuhnya airmataku setetes demi setetes. Allah… betapa beruntungnya
orang kaya hari ini. Sungguh tak pernah aku iri kepada seorang kecuali
hari ini. Aku hancur lebur dalam keharuan dan penyesalan. Dadaku
berdegup kencang.
Belum selesai hatiku berdebam-debam dimumumkan pula kalau ada yang
menyumbangkan rumahnya di Samarinda dan ada yang menyumbangkan mobilnya.
Hampir saja aku pingsan. Kering kerontang tenggorokanku. Dehidrasi
menahan dahaga iman yang bergejolak. Sungguh Allah hadirkan aku dalam
suasana iman yang misterius ini dan menyaksikan iman orang berkelebatan
menyambut seruan jihad maali. Aku hanya ternganga menatap
langit-langit gedung. Hanya sanggup memancang niat, andai saja aku punya
sekarung emas, akan ku-infaq-an hari ini untuk jihad Al-Aqsa.
Sudahlah tak sanggup lagi bercerita banyak mengisahkan hari indah itu.
Aku dan isteriku beserta keempat anakku pulang kembali ke rumah.
Tiba di rumah aku kembali dalam suasana panas terik mengepung rumah. Aku
dan isteriku duduk berhadapan. Di samping mayat kipas angin. Isteriku
mengambil kembali potongan kardus untuk menjadi kipas angin manualnya.
Aku: “Umi aku lapar, ayo makan yok!”
Aku sedikit berteriak kepada isteriku yang beranjak sebentar
menghidupkan mesin cuci tua. Dari pagi pakaian itu disitu belum sempat
dicuci.
Isteriku: “Hendak makan apa kita bi? Tak ada beras. Tak ada lagi uang.”
Aku: “Astaghfirullah. Iya ya? Wah bagaimana ini? Kasihan anak-anak belum makan semua lagi.”
Suasana hening. Aku menepuk jidatku sendiri dan menggenggam rambut
berpikir keras cari akal untuk menghadirkan makanan. Aku butuh uang
paling tidak lima puluh ribu rupiah untuk beli beras lima kiloan cap
kura-kura. Supaya bisa hidup sepuluh hari dengan itu. Atau paling tidak
seminggu sampai gajian.
Lama aku terdiam buntu pikiran dan tak karuan rasa. Anak-anak sudah
bergelimpangan di lantai lemas lapar bercampur ngantuk. Tiba-tiba ada
suara gemuruh: “gludak-gluduk kerompyang…. gludak-gluduk kerompyang…. gludak-gluduk kerompyang….”
Aku saling bertatapan dengan isteriku. Lalu kami sama-sama berlari
menuju sumber suara. Ternyata berasal dari mesin cuci yang memutar
cucian tidak balance sehingga inner bucket-nya menyentuh housing tidak karuan menghasilkan suara ribut (noise) yang ekstrim.
Isteriku membuka penutup mesin cuci. Demi melihatnya kedalam betapa
terkejutnya kami berdua. Pakaian yang ada semua membentuk lingkaran
menempel pada dinding inner bucket dan membuat pola huruf O. Ini
wajar karena efek sentrifugal akan membuat pakaian itu terlempar ke
radius terluar dinding itu. Namun yang membuat kami terkesima adalah di
bagian tengah lingkaran pakaian itu tepat didasar bucket bercokol sebuah
lembaran kertas kumal berwarna kebiru-biruan.
Subhanallah. Maha suci Allah yang mengirimkan selembar uang lima
puluh ribu rupiah ke dalam mesin cuci kami. Secara spiritual tentu saja
Malaikat lah yang telah diperintahkan Allah untuk mengirim uang itu ke
dalam mesin cuci kami dan mendramatisirnya dengan senandung
“gludak-gluduk kerompyang….”. Tapi secara ilmiah tentu saja ini adalah
lembar uang yang terlupa di kantong celana dan ikut tercuci. Secara
tidak sengaja keluar dari kantong karena efek sentrifugal putaran mesin
cuci. Tapi entah kapan dan di kantong celana yang mana aku tak tahu.
Kami bersorak kegirangan. Aku tancap gas ke mini market membeli beras
cap kura-kura lima kilo. Kami pun hidup bertahan sampai gajian. Meski
hanya dengan lauk kerupuk dan kecap.
Balikpapan-Batuampar, 26 Shafar 1434H
*Ibnu Ismail, Kabid GMPro DPD PKS kota Balikpapan - Kaltim
posted by Adimin
Post a Comment