Menjadi penolong agama Allah SWT,
bisa dilakukan siapa saja dengan pilihan yang sesuai dengan kemampuan. Ada yang
layak menjadi kader inti,
ada yang cukup sebagai pendukung, ada juga yang hanya simpatisan.
Rasulullah saw terkejut, hari itu
ia tak melihat wanita yang biasa menyapu di masjidnya, buru- buru beliau
bertanya kepada para sahabatnya, ternyata wanita tersebut sudah meninggal
dunia. Rasulullah saw heran dan bertanya-tanya, mengapa ia tidak diberitahu.
Abu Bakar memberikan alasan, mungkin para sahabat menganggap wanita itu sepele.
Ia hanya tukang sapu, Rasulullah saw minta agar ditunjukkan letak kuburan
wanita itu dan Rasulullah SAW segera melakukan sholat ghaib.
Kisah ini menunjukkan bahwa
sebesar apapun peranan seseorang, tak boleh diremehkan. Dalam dunia dakwah
semua peran dibutuhkan, fakta sejarah menunjukkan bahwa para penolong agama
Allah memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan pilihannya.
Ibarat permainan sepak bola, setiap kader ada tugasnya. Besar dan kecil peranan
tugas tersebut bisa berubah-ubah sesuai keadaan. Dalam satu babak, peranan
penyerang (striker) mungkin lebih besar peranannya dalam mencapai kemenangan,
tapi dalam keadaan tertentu, justru kiper yang menjadi penentu kalah menangnya
sebuah permainan. Selain itu tuntutan dakwahpun kadang beragam. Suatu saat
dakwah mem- butuhkan ketajaman lisan, disaat lain memerlukan tenaga dan
pikiran. Begitulah dakwah, karenanya para juru dakwah harus berada disemua
lini. Secara umum, mereka yang berkecimpung dalam dakwah bisa menempati salah
satu diantara tiga posisi.
1.
Kader
Inti
Mereka adalah orang-orang yang secara tulus membina dan mengkhususkan diri
untuk berkecimpung dalam dakwah. Tak ada niat lain dalam segala aktifitasnya
selain untuk menegakkan agama dan
mencari ridlo Allah, apalagi berdakwah dengan niat dan tujuan mencari penghidupan dunia. Yang paling nyata dari karakter
orang-orang ini adalah mereka bersedia melakukan transaksi hidup dan perjuangannya
hanya untuk menegakkan Islam. Harta dan nyawa mereka telah ditukar dengan
perjuangan menegakkan agama Allah. Merekalah yang disebutkan Allah dalam
firmannya
“Dan
diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari ridlo Allah. Dan
Allah Maha penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS Al Baqarah: 207).
Dalam lembaran sejarah banyak kita temukan kader inti ini. Di era
Rasulullah saw, kita menemukan sosok Abu
Bakar Ash Siddiq yang rela menginfaqkan seluruh hartanya untuk membiayai perang
tabuk. Saad bin Abi waqqas dan Thalhah bin ubaidillah siap berdiri didepan
Rosululloh saw menjadikan diri mereka sebagai tameng hidup untuk melindungi
beliau. Ali bin abi Thalib bersedia menggantikan posisi “siap terbunuh”,
tidur dengan selimut milik Rosululloh saw. Merekalah kader inti. Demi tegaknya
Islam mereka siap mencurahkan tenaga, harta bahkan nyawa. Merekalah orang-orang
yang dibeli oleh Allah SWT dengan surga-Nya. Allah berfirman
“sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau
terbunuh....(QS At Taubah 111).
Dalam ayat lain
Allah juga menegaskan janji para kader inti terhadap Allah, dan janji Allah
terhadap mereka,
” Diantara orang-orang mukmin itu ada orang orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah maka diantara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula
yang menunggu-nunggu, dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya” (QS Al
Ahzab 23)
2.
Kader
Pendukung.
Kelompok ini adalah mereka yang mendukung perjuangan Islam, tapi keter ikatannya
dengan dakwah tidak sebesar kader inti. Dalam sejarah Rosululloh saw kita
temukan sosok yang perannya cukup besar tapi tidak sama dengan para kader inti.
Mereka juga turut menjadi tenaga dakwah, tapi hanya pendukung. Kaab bin Malik
dan dua temannya yang tidak ikut perang tabuk, tentu tak bisa disamakan dengan
Abu bakar, Umar atau Ustman yang selain berkorban harta, juga ikut ke medan
perang. Tentu mereka juga mendapat imbalan pahala, tapi tak sebesar yang
didapat orang orang yang berada dilevel tenaga inti. Fakta ini dijelaskan oleh
Allah dalam firmannya:
“tidaklah
sama antara mukmin yang duduk yang tidak ikut berperang yang tidak mempunyai
udzur dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwa
mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang orang yang duduk satu derajat. Kepada masing masing mereka Allah
menjanjikan phala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang orang yang
berjihad atas yang duduk dengan pahala yang besar. (QS Annisa’ 95).
Dalam sejarah kita temukan sosok sosok seperti ini, diantaranya Utbah bin
Usaid yang lebih dikenal dengan Abu bashir, ketika terjadi perjanjian
Hudaibiyah, Abu Bashir yang sudah masuk Islam masih berada di Makkah, beberapa
saat setelah perjanjian, Abu Bashir datang ke madinah. Sesuai isi perjanjian,
penduduk yang datang ke Madinah harus dikembalikan. Untuk itu Abu Bashir harus
segera dikembalikan ke Makkah. Namun Rasulullah saw tetap menepati isi perjanjian, beliau
melarang Abu Bashir tinggal di Madinah. Namun Abu Bashir juga tak mau kembali
ke Makkah. Ia menetap di daerah Ish, pesisir pantai. Disanalah Abu Bashir
menghimpun kekuatan yang jumlahnya mencapai tujuh puluh orang. Kelompok Abu
Bashir ini jelas merepotkan kafir quraisy. Tindakan Abu Bashir dan kawan
kawannya itu berada diluar perintah Rasulullah saw. Mereka tak terikat secara
struktural dan tanggung jawab kepada Rasulullah saw. Mereka bergerak sendiri
dan punya gaya dakwah sendiri, inovasi gerakan dakwah merekapun bebas, kelompok
ini bisa menjalin kerja sama dengan siapapun
dan bergerak disektor dan wilayah mana saja. Merekalah kader lepas yang
tidak berada dibawah kontrol Rasulullah saw. Peranan kader ini tak bisa
diabaikan. Anggapan yang keliru adalah menilai orang yang tak tergabung dalam
ikatan struktural bukan sebagai bagian dari aktivis dakwah. “Mereka bukan golongan
kita,” demikian ungkapan yang sering terdengar. Padahal peranan juru dakwah
lepas ini tak kalah besar. Dengan status mereka yang tak terikat dalam
struktural tertentu membuat gerakan dakwah lebih leluasa dan mudah diterima
oleh siapapun. Tentu orang yang tergabung dalam kader tidak terikat ini tak
boleh juga berbuat diluar batas kewajaran. Karenanya koordinasi antara dua
kelompok ini tetap harus dijaga. Dengan demikian tak muncul salah paham atau
benturan dalam menghadapi objek dakwah, kader akan lebih mudah menyebar
disetiap sektor masyarakat. Meski peranan mereka tak sebesar kader inti, tapi
keberadaan kader pendukung tidak bisa disepelekan. Dalam lingkup sekarang kita
temukan banyak kader pendukung yang hanya mampu memberikan peranan dengan menyumbangkan
dana, tanpa terjun ke medan dakwah. Keberadaan orang-orang ini jelas tak bisa disamakan dengan kader inti,
dimana mereka menyumbangkan dana, meluangkan waktu dengan meninggalkan anak dan
istri, demi terjun ke medan dakwah.
Seperti Abu Bakar, kendati telah menyum- bangkan seluruh hartanya, ia tetap
terjun ke medan Tabuk.
3.
Simpatisan.
Mereka adalah orang orang yang memiliki kemampuan hanya dengan menjadi
simpatisan atau supporter dakwah. Karena alasan tertentu orang-orang tersebut
tak bisa memberikan konstribusi besar bagi dakwah. Meski peranan mereka kecil,
tapi keberadaan mereka tidak bisa diabaikan. Buktinya ketika mengetahui wanita
yang biasa mem- bersihkan
masjidnya, meninggal, Rosululloh saw menyesalkan sikap para sahabatnya yang tak
memberitahukannya, lantaran menganggap sepele pekerjaan wanita itu.
Juga ketika menghadapi tokoh quraisy yang meminta agar Rasulullah saw mengusir para pengikutnya yang miskin, Allah
segera menurunkan firmannya,
”Dan
bersabarlah kamu bersama dengan orang orang yang menyeru Tuhan dipagi dan senja
hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta
menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melampaui batas. (QS Al
Kahfi: 28).
Dibanding kader inti dan pendukung
dakwah, wilayah kader simpatisan ini tak terbatas. Bahkan ia bisa berasal dari
luar Islam. Sosok Abu Thalib termasuk kelompok ini. Peranannya dalam melindungi
Rasulullah saw dan dakwah Islam sendiri cukup besar. Begitupun sosok Amir bin
Fuhairah al Uraiqith, penunjuk jalan Rasulullah saw ketika beliau dan Abu Bakar
hijrah ke madinah. Tokoh seperti Muth’im bin Aad juga tak kalah besar
peranannya dalam melindungi Rasulullah saw
dan para sahabat dari ejekan, hinaan dan penindasan kafir quraisy. Tentu
peranan mereka tak bisa disamakan dengan kader inti dan pendukung. Tapi kaum
muslimin, khususnya juru dakwah, lebih
lagi mereka yang bergelut didunia politik, harus mampu memanfaatkan tenaga ini.
Tak sedikit mereka yang jauh dari Islam, tapi memberikan konstribusi pada
perjuangan Islam. Bahkan dalam tataran perjuangan politik, kader simpatisan ini
justru harus diperluas dan tak boleh dibatasi. Dalam lingkup ini, tak ada
syarat yang mengikat seseorang untuk menjadi kader simpatisan kecuali
kesediaannya memberikan konstribusi terhadap perjuangan. Selanjutnya, tugas
juru dakwah adalah membina para simpatisan ini untuk direkrut menjadi kader
pendukung dan kader inti. Kuantitas antara ke tiga bentuk elemen dakwah ini
harus ideal. Jumlah simpatisan harus lebih banyak dari kader pendukung. Jumlah
kader pendukung harus lebih banyak dari kader inti dengan demikian kualitas
dalam kaderisasi tetap bisa dijaga
posted by Adimin
Post a Comment