Semua media besar di Jakarta menjadikan peristiwa penyerbuan Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, sebagai berita utama
(headline).
Media-media di Jakarta mengangkat tinggi-tinggi peristiwa penyerbuan itu. Bahkan, harian Kompas mengambil judul "Indonesia Dalam Keadaan Bahaya", tulisnya.
"Pemerintah harus membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus itu.
Apalagi, hal itu sudah menjadi sorotan publik internasional. Jika kasus
itu tak diungkap, Indonesia terancam bahaya, karena negara dikuasai
gerombolan bersenjata". (Kompas, 26/3).
Lebih media nasional itu, melakukan wawancara sejumlah tokoh, sebagai
langkah membentuk opini dengan mewawancarai Rektor Universitas Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, Guru Besar Sekolah
Tinggi Filsafat Driyakarya Franz Magnis Suseno dan Mudji Sutrisno, Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, Koordinator
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar, dan
Direktur Ekskutif Imparsial Poengky Indarti.
Diantara pernyataan yang dikutif harian Kompas itu, "Yang bahaya,
kalau pencarian keadilan itu kemudian menggunakan senjata. Dampak
negatifnya sangat besar, karena masyarakat seakan mendapat pembenaran
untuk melakukank kekerasan. Ini juga menambah daftar panjang pelanggaran
hak asasi manusia (HAM), pembunuhan, dan penculikan, tetapi aktornya
tidak ditemukan", ungkap Komaruddin.
"Sangat perlu Presiden membentuk tim pencari fakta. Kalau (fakta)
tidak dibuka dan pelaku tidak dihukum, negara dalam keadaan bahaya,
karena negara dikuasai kelompok preman dan penegakkan hukum tidak
jalan", ucap Frans Magnis Suseno.
Kebetulan yang mati dalam penyerbuan di Lapas Cebongan itu, berasal
dari NTT, yaitu Yohanes Yan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Rewu,
Adrianus Candra Galaya, dan Hendrik Angel Sahetapy.
Keempat warga NTT itu, terduga pelaku pembunuhan Anggota Kopassus,
Karangmenjangan, Surakarta, Sersan Satu Santoso. Diantara empat terduga
pembunuh Sersan Santoso, Juan anggaota Polrestabes Yogyakarta, yang
konon sudah dipecat.
Betapa media massa di Jakarta yang begitu dahsyat dan mengangkat
tinggi, peristiwa penyerbuan Lapas Cebongan yang menewaskan empat orang
NTT, yang diduga melakukan pembunuhan terhadap Anggota Kopassus Sersan
Santoso.
Mereka membela habis keempat orang yang terduga pelaku pembunuhan
Sersan Santoso. Media-media yang ada itu, juga mendorong kepada
pemerintah dan Presiden SBY melakukan tindakan tegas, terhadap pelaku
penyerbuan Lapas Cebongan.
Sesungguhnya apa artinya bagi media nasional yang terbit di Jakarta
itu, kemudian seakan keempat orang yang telah tewas di Lapas Cebongan
itu seperti "martyr", yang harus dibela habis.
Mereka seperti orang-orang yang sangat berharga, hanya karena mereka
tewas diserbu dengan menggunakan senjata oleh sejumlah orang yang belum
diketahui identitasnya.
Tetapi, bandingkan dengan mereka yang tewas oleh Densus 88, yang mereka hanya diberi lebel sebagai "teroris",
yang sebagian besar adalah para aktivis Islam, mereka yang memiliki
cita-cita dan idealisme terhadap prinsip-prinsip Islam, kemudian tewas
dengan sangat mengenaskan oleh Densus 88. Tanpa pernah dibuktikan secara
hukum kejahatan yang mereka lakukan.
Menurut HAM sudah lebih 83 terduga teroris yang tewas di tangan
Densus 88, belum mereka yang disiksa dan penjara. Seakan kalau mereka
yang beragama Islam itu, dibunuh dan dibantai oleh aparat menjadi "given" (dimaklukmi).Tidak ada satupun media yang membela dan bersifat adil terhadap
mereka yang menjadi terduga teroris. Mereka yang sudah tewas akibat
tindakan Densus itu, kemudia dibenarkan oleh media-media yang ada, dan
diberikan opini mereka sebagai manusia yang palihg jahat, dan berhak
dihabisi. Tanpa mengenal belas kasihan lagi.
Padahal, Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, menanggapi sikap yang
dilakukan oleh Densus 88, sangat jelas terjadi penghilangan nyawa dengan
sewenang-wenang. Seperti yang terjadi di Poso, dan berbagai penembakan
lainnya yang dilakukan oleh Densus 88. Media-media nasional tidak pernah
memberikan opini yang imbang dan objektif.
Tapi, sekarang dengan kematian empat warga NTT itu, mereka bangkti
serentak dan mengangkat sebagai peristwa yang sangat besar. Bahkan,
media seperti Kompas, mengatakan, seperti "Negara Dalam Bahaya". Tidak
pernah mengatakan tindakan yang dilakukan oleh Densus 88, yang sangat
eksessif (berlebihan) itu, sebagai membahayakan negara.
Media-media yang ada telah bertindak dengan sangat tidak adil,
khususnya dalam memberikan opininya terhadap peristiwa yang menimpa umat
Islam dengan perisitwa yang menimpa orang-orang Kristren, seperti yang
terjadi sekarang ini, yang menimpa empat orang warga NTT, yang menjadi
terduga pembunuh anggota Kopassus Sersan Santoso.
Peristiwa yang menimpa umat Islam selalu diputar-balikkan dengan
berbagai opini, yang kemudian membuat posisi umat Islam menjadi
tertuduh, dan fihak yang salah dan layak dihukum. Bahkan, dihabisi
dengan menggunakan kekerasan senjata, seperti yang terjadi di Poso.
Padahal, di Poso, yang menjadi korban adalah umat Islam. Ratusan
umat Islam tewas dibantai milisi "kelelawar" yang dipimpin Tibo Cs,
yang berasal dari NTT. Dan tidak pernah sekalipun keluar di media, yang katanya milik semua golongan itu. Tetapi, anehnya sekarang justeru umat Islam yang
sekarang dituduh menjadi pelaku kejahatan, dan melakukan tindak
terorisme di Poso.
Kasus kejahatan yang dilakukan milisi kristen tidak pernah diungkap
dengan tuntas, dan justru ditutupi, dan sekarang yang menjadi tertuduh
umat Islam. Sungguh sangat tragis.
Begitu tidak adilnya media-media sekuler menanggapi kasus
yang terjadi terutama, kasus yang dialami umat Islam dengan yang
dialami oleh orang-orang non muslim.
Bahkan, kasus yang sangat tidak penting, seperti kasus gereja Yasmin
di Bogor pun, diadukan ke Komisi HAM internasional. Sungguh sangat tidak
adil sikap media-media terhadap kasus Cebongan dibandingkan dengan
terduga teroris.
Wallahu'alam
posted by Adimin
Post a Comment