Agar da’wah kita berhasil maka seorang da’i harus memiliki dua sifat ini: “cerdas dan bersih.”
Yang saya maksud adalah cerdas akalnya
dan bersih hatinya. Saya tidak mensyaratkan kecerdasan yang brilian.
Cukuplah apabila dapat memandang segala sesuatu secara proporsional,
tidak ditambah atau diku-rangi. Sebab, saya menyaksikan sebagian orang
memiliki pola pikir yang kacau. Tidak tepat ketika mempersepsi realita,
sehingga menganggap adat sebagai ibadah, sunah sebagai hal wajib, dan
penampilan fisik sebagai hal yang utama. Hal inilah yang dapat
mengacaukan terapi penyelesaian kasus-kasus yang timbul dan menyebabkan
da’wah mengalami kegagalan yang serius.
Sifat “bersih” menyangkut kondisi hati
yang saya kehendaki bukanlah seperti “bersihnya malaikat” tetapi hati
yang dapat mencintai dan menyayangi orang lain. Tidak bersuka ria di
atas kesalahan dan penderitaan orang lain. Bahkan, merasa sedih atas
kesalahan mereka dan berharap agar mereka mendapat jalan kebenaran.
Saya pernah didatangi oleh seorang
mahasiswa yang memberitahukan bahwa beberapa orang akan mengada-kan
pentas musik. ia bersama teman-temannya akan mencegah pentas ini dengan
jalan apa pun, termasuk dengan cara kekerasan. Saya katakan padanya,
“Saya sepakat dengan kalian dalam menghentikan pesta ini.
Tetapi, sampaikanlah pendapat dan
nasihatku ini kepada mereka. Tidak pantas bersuka ria di saat banyak
peristiwa menyedihkan, baik lokal maupun internasional.
Bagaimana kita bernyanyi-nyanyi
sementara puluhan ribu kaum Muslimin terbunuh, terluka, dan terusir.
Bencana Palestina dan Afghanistan masih terus berlangsung dan masa depan
Islam di kedua negara tersebut masih suram. Sementara itu perang
saudara di Somalia telah menelan korban ratusan kali lipat daripada
perang saudara di Yugoslavia. Musibah banjir besar telah merenggut
korban di Iskan-daria, serta musibah-musibah lain di berbagai tempat.
Lalu untuk apa kita bernyanyi-nyanyi? Apakah hati kita sekeras batu?”
“Mereka tidak akan menerima saran ini!” ujar mahasiswa tersebut.
Lalu saya katakan, “Coba tanya mereka,
apa yang akan dinyanyikan? Apakah syair cinta murahan dan lagu selera
rendah? Kalau memang demikian berarti masyarakat ini sedang sakit
perasaannya dan tidak akan memunculkan sesuatu kecuali keburukan.
Seharusnya pada masa-masa krisis yang sedang mengepung kita ini, kita
menjauhi suara-suara yang tidak berguna.”
“Saya tidak akan mengatakan seperti yang
Anda anjurkan tadi, tetapi akan saya katakan kepada mereka, bahwa Allah
telah mengharamkan nyanyian dan kami akan bubarkan pesta itu di depan
panitia penyeleng-gara!” jawab mahasiswa tersebut.
Kemudian saya katakan kepadanya, “Kamu
ini masih tergolong baru di kancah da’wah, mengapa tidak mengambil
pelajaran dari pengalaman para pendahulumu? Apalagi Islam banyak
mempunyai musuh yang sedang menanti, jadi jangan tunjukkan kepada mereka
kekurangpahaman dan keburukan tmdakan kita!”
Ternyata ia menolak dan tetap pada prinsip semula. Akhirnya mereka ditangkap polisi dan sebagian masuk penjara.
Saya selalu memberi nasihat kepada
aktivis Islam untuk senantiasa bersikap bijaksana dalam da’wah. Saya
tekankan agar tidak memberi peluang kepada musuh-musuh Islam untuk
menyerang dan memojok-kan Islam maupun para da’i hanya gara-gara
semangat yang dibarengi sikap ceroboh.
Hendaklah tujuan utamanya adalah
pembinaan aqidah, akhlak, dan ibadah. Adapun masalah-masalah khilafiyah,
tidak ada hubungannya dengan da’wah dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Nabi
Daud ‘Alaihis Salam dan Sulaiman ‘Alaihis Salam saja tidak berselisih
dalam masalah tanaman yang dirusak dan dimakan kambing.
Sebagian ulama, ada yang berpendapat
bahwa menyusui sewaktu besar sama hukumnya dengan ketika masih kecil.
Bila timbul khilaf, hendaknya dibahas pada bidangnya (pada masalah
fiqihnya saja). Adapun menga-lihkannya ke bidang da’wah merupakan
kesalahan besar.
Seorang da’i yang tidak memiliki
kecerdasan akal dan kebersihan hati, akan membuat problem yang rumit di
tengah perkembangan Islam. Saya pernah pergi ke Kanada dan Amerika
Serikat —ketika saya menjadi utusan Rabithah Alam Islami— . Di sana
banyak da’i yang meletakkan “bebatuan” di tengah-tengah jalan Islam,
yang mereka ambil dari lingkungan hidup zaman dahulu agar laju
perkembangan da’wah berhenti di tengah-tengah dunia baru. Mereka marah
karena membela madzhab dan kepentingannya dengan mengatasnamakan Islam.
Tetapi Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka memperlukan orang yang
dapat menyinari akal pikiran mereka dan membersihkan hatinya.
Muhammad Al Ghazali
posted by @Adimin
Post a Comment