Diceritakan dalam
Musnad Ahmad, bahwasanya ada seorang laki-laki yang membatalkan puasanya
pada bulan Ramadhan lantaran bersetubuh dengan istrinya di siang hari.
Rasulullaah SAW memberikan pilihan kepada pemuda tersebut untuk memerdekakan
budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan kepada
enam puluh fakir miskin, dalam rangka menebus kesalahannya. “Aku tidak mampu,
ya Rasul,” jawab pemuda itu dengan pesimis.
“Ambillah kurma
ini,” sabda Rasulullaah SAW sambil memberikan seikat kurma. “Dan
sedekahkanlah!” Lelaki itu kemudian menjawab, “Ya Rasul, tidak ada orang yang
lebih miskin di antara dua gunung ini daripada aku!” Mendengar jawaban polos
tersebut, Rasulullaah SAW-pun tertawa hingga gigi taring beliau yang putih
bersih terlihat.
Para sahabat juga
pernah mencandai Rasulullaah SAW. Dalam Tarikh Dimasyqa karya Ibnu Asakir
rahimahullaah, diceritakan saat Nu’aiman masuk ke kota Madinah, beliaupun
menemui orang yang dicintainya, Rasulullaah SAW. “Ya Rasul, oleh-oleh ini aku
hadiahkan untukmu!”, kata Nu’aiman sambil memberi- kan makanan. Tetiba, datanglah
sang pemilik makanan tersebut, untuk meminta uang kepada Nu’aiman. Ternyata
Nu’aiman belum membayarnya. Dan tanpa sungkan-sungkan, Nu’aiman langsung
membawanya kepada sang Nabi dan meminta kepada Nabi SAW untuk membayarkan
oleh-oleh tersebut.
“Bukankah engkau
telah menghadiahkannya kepadaku?”, tanya Rasulullaah SAW. “Demi Allah, aku
tidak mempunyai uang (untuk membayarnya), tetapi aku ingin engkau memakannya.”
Mendengar jawaban Nu’aiman, sang Nabi SAW-pun tertawa.
Manusia dengan
berbagai problematika yang dialaminya, dan kesibukan yang dijalaninya terkadang
menyebabkan kelelahan dan terbebannya jiwa. Dalam kondisi seperti ini,
celetukan canda tawa sangat dinantikan dan dirindukan untuk mengobati kepenatan
yang dialami. Candaan bisa mengubah suasana yang kaku dan hampa menjadi ceria,
penuh tawa dan terkesan akrab. Namun demikian, perlu kita akui juga bahwa
candaan sewaktu-waktu bisa menghilangkan sifat malu dan mengurangi kewibawaan pada
diri kita.
Ketika Islam hadir
di muka bumi, dengan karakternya yang menyeluruh dan universal, ia tidak
mengenyampingkan fitrah manusia yang pada dasarnya membutuhkan canda tawa.
Hanya saja, canda yang diajarkan Islam mengandung unsur pendidikan yang dapat
memupuk kegersangan jiwa.
Suatu ketika,
seorang laki-laki datang kepada Abu Hanifah rahimahullah dan bertanya
kepadanya: “Jika aku menanggalkan pakaianku lalu menceburkan diri ke sungai
untuk mandi, haruskah aku menghadap ke kiblat atau boleh ke arah lainnya?” Abu
Hanifah menjawab:”Yang lebih utama adalah pusatkan pandanganmu kepada pakaianmu
agar tidak dicuri orang!”
Ajaran Islam
memberikan adab tertentu dalam bercanda supaya kehormatan dan kemuliaan orang
yang bercanda tetap terpelihara. Sebab, diakui atau tidak, bercanda dan tertawa
bisa menghapuskan rasa duka lara dan memberikan ketenangan kepada jiwa.
Rasulullaah SAW
bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah...” (HR. at-Tirmidzi).
Beliau SAW juga pernah membersamai sahabat-sahabatnya dengan canda sehingga
rasa jenuh dan sedih sirna dari hati mereka. “Ya Rasulullaah, engkau juga
bercanda dengan kami?”, tanya para sahabat. “Sungguh aku tidak mengatakan
sesuatu (termasuk canda) kecuali yang kukatakan itu adalah benar”, jawab beliau
SAW (HR. at-Tirmidzi).
Dengan demikian,
bercanda dan tertawa merupakan manhaj Islam yang diisyaratkan langsung oleh
Rasulullaah SAW. Hanya saja, beliau menggariskan agar candaan tersebut tidak
mengandung unsur maksiat kepada Allah, tidak menodai rasa malu dan tidak
disisipkan ucapan dusta.
Dalam Syamail
Muhammadiyah, kitab yang berisikan mengenai kepribadian dan budi pekerti
Rasulullaah SAW, karya Imam Tirmidzi rahimahullaah, diceritakan bahwasanya saat
itu seorang nenek tua mendatangi Rasulullaah SAW dan meminta kepada beliau
untuk dido’akan masuk surga. “Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek
tua”, jawab Rasulullaah SAW kepada sang nenek. Seketika itu juga nenek tua itu
pergi sambil menitikkan air mata. Rasa sedih dan shock atas jawaban Rasulullaah
SAW bercampur aduk dalam benaknya. Beliau pun berkata, “Kabarkanlah kepadanya
bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan tua.” Pada
kisah ini kita kan dapati, bahwa candaan Rasulullaah SAW tidak mengandung
kedustaan dan pasti mengandung kebenaran.
Sebaiknya kita juga
jangan terlalu sering untuk bercanda dan tertawa, dan berusaha untuk melatih
lisan ini untuk berbicara pada hal-hal yang bermanfaat saja. Seorang penyair
terkenal, Abul-Fath al-Busti rahimahullaah pernah mengatakan:
Berikanlah waktu
senggang pada tabiatmu yang tegang...
Rilekskanlah sejenak dan hiasilah dengan sedikit canda...
Tetapi, jika engkau berikan canda kepadanya...
Jadikanlah ia seperti engkau memasukkan garam pada makanan...
Makanan, apabila tak
dibubuhi garam maka akan terasa hambar. Akan tetapi, jika terlalu banyak
diberikan garam, maka makanan akan terasa asin dan tak enak untuk dimakan.
Begitupun canda dan tawa apabila tak pernah dilakukan, maka hidup akan kering,
garing dan gersang. Tetapi jika berlebihan, akan mengakibatkan banyak
keburukan. “Janganlah banyak tertawa!”, sabda Rasululullaah SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. “Sesungguhnya banyak tawa akan mematikan
hati!”
Kawan mari kita
sejenak mengisi waktu dengan bercanda dan melepaskan tawa seadanya... Tapi jangan
sampai berlebihan dan jangan pula ditinggalkan...
Wallaahu a’lam...
Fais al-Fatih
posted by @Adimin
Post a Comment