Sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang aktivitas yang
dilakukannya selama ini. Apakah sudah murni karena Allah, ada interes
atau kepentingan semu lainnya?
KETIKA seseorang melakukan kebaikan namun tidak
diiringi dengan keikhlasan maka bisa dipastikan bahwa ia akan senantiasa
diliputi perasaan kecewa, lebih-lebih kala kebaikan yang dilakukannya
tidak diapresiasi orang lain.Ia bahkan akan mengalami penurunan motivasi
yang sangat drastis, hingga tidak ada lagi semangat sedikitpun untuk
melakukan kebaikan.
Sebaliknya, jika ada apresiasi dari orang lain, semangat melakukan
kebaikan akan kembali meningkat tajam disertai gairah yang sangat luar
biasa. Akan tetapi, motivasi yang demikian, sebenarnya tidak
mendatangkan apa-apa selain hanya menipu diri sendiri. Sebab, kita
beramal tidak lagi karena Allah tapi karena manusia.
Padahal, Allah Ta’ala, memerintahkan kita beramal baik hanya karena-Nya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan;
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي
“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).
Mengenai bahasan ini, Syeikh Musthafa Masyhur dalam bukunya Fiqh
Dakwah Jilid I mengutip pendapat seorang inspirator dari negeri
piramida, Mesir, yakni Hasan Al-Banna.
Menurut Hasan Al-Banna, ikhlas itu adalah menunjukkan semua ucapan,
amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan
kebaikan pahala-Nya, tapa mengharapkan keuntungan popularitas,
kehormatan, reputasi, kemajuan dan keterbelakangan. Dengan keikhlasan
ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal
kepentingan dan keberuntungan.
Dengan demikian, maka sudah sepatutnya seorang Muslim senantiasa
menimbang-nimbang aktivitas yang dilakukannya selama ini, apakah sudah
murni karena Allah atau ada pretensi, interes, atau kepentingan semu
lainnya?
Sebab jika tidak, maka amat disayangkan, amal baik yang dilakukan
menjadi tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang
tergambar dalam satu hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.
“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari radhiyallahu
anhu berkata, ‘Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang yang
berperang karena ingin dikatakan berani, fanatisme golongan dan riya’.
Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barangsiapa yang
berperang agar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah
berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).
Dan, demikianlah sesungguhnya inti dari hidup ini, yakni ikhlas
karena mengharap ridha-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana ditegaskan
Allah di dalam Al-Qur’an;
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah [98]: 5).
Tegas, Komitmen & Lemah Lembut
Apabila seorang Muslim memahami ikhlas dengan baik dan mengamalkannya
sepenuh hati, maka ia akan tampil sebagai sosok yang tegas, komitmen
dan lemah lembut. Hal inilah yang terjadi pada sosok Abu Bakar
radhiyallahu anhu.
Siapa tidak mengenal watak asli Abu Bakar, beliau adalah sosok
sahabat yang pemalu, mudah menangis kala mendengar ayat-ayat Al-Qur’an
dan sangat lemah lembut. Tetapi, kala ajaran Allah hendak dipisahkan,
yakni antara zakat dan sholat, ia berubah 180 derajat menjadi pribadi
Muslim yang sangat tegas.Bahkan, Sayyidina Umar yang terkenal sangat
tegas pun seketika tidak bisa memilih apapun selain tunduk pada
kebijakan khalifah pertama umat Islam itu.
Komitmen Abu Bakar terhadap kebenaran tidak tergoyahkan oleh apa pun
juga. Entah itu senioritas, keilmuan atau pun prestise lainnya yang
masih diyakini sebagian bangsa Arab. Jika ditanya, mengapa Abu Bakar
demikian, tidak lain karena keikhlasannya dalam menjalankan perintah
Allah.
Ikhlas seperti itulah yang diperlukan oleh setiap Muslim di negeri
ini, khususnya para pemimpin dan pemangku kebijakan. Jika hal itu mampu
diwujudkan, maka secara bertahap, segala permasalahan keumatan,
kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan akan bisa diatasi dengan
sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, mari senantiasa perbaiki diri, terutama keikhlasan
diri kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sebab, ikhlas inilah
sebaik-baik jalan bagi setiap Muslim untuk benar-benar bisa mencapai
kebahagiaan yang hakiki. Semoga Allah memberikan kekuatan diri kita
untuk terus ikhlas dalam amal sholeh, dakwah dan jihad fii sabilillah.
posted by @Adimin
Post a Comment