“Tidak ada
seorang hamba yang dipercaya memimpin rakyatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan Jannah
baginya.” (HR Bukhari)
Dalam ilmu
psikologi sosial, teori kepemimpinan sering digunakan dalam menganalisis
kelompok kecil (small groups). Dalam sosiologi umum, kepemimpinan dianalisis
sebagai pengaruh kekuasaan dalam kolektifitas sosial.
Max Weber (1946) menulis teorinya yang sangat terkenal tentang 3 tipe
kepemimpinan yang dihubungkan dengan perbedaan bentuk wewenang dan legitimasi.
Pemimpin karismatik menurutnya memimpin berdasarkan kekuatan pesona dari dalam
dirinya, sementara pemimpin tradisional memimpin berdasarkan adat atau status
kebangsawanan yang sudah diakui oleh masyarakatnya. Sementara pemimpin
legaladalah mereka yang memimpin berdasarkan keahlian dan sesuai dengan aturan
formal dalam masyarakat modern.
Dalam hadits di
atas, Islam memperingatkan kepada para pemimpin, siapapun dia dan dari kelompok
manapun dia dan berapa pun orang yang dipimpinnya agar hendaklah menjauhkan
diri sejauh-jauhnya dari menipu rakyat atau pun menipu bawahannya. Di dalam
hadits yang lain juga ditegaskan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa
setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawaban atas rakyat yang dipimpinnya
pada Hari Kiamat kelak.
Bahkan di dalam salah satu riwayat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia
malah menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam: “Ya Allah, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku
lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi
kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia.” Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan
kebutuhan, kedukaan dan kemiskinanummat maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat
kelak.
Islam
menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi,
yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk
kelompok pertama yang dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala diantara 7
kelompok utama yang dinaungi-Nya pada Hari Kiamat kelak, ia pun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari
Kiamat. Dan pemimpin yang demikian akan senantiasa dicintai dan didoakan
oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya. Sehingga dalam salah satu haditsnya, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3 golongan
manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping yang kedua
adalah orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang
menjaga dirinya dari meminta-minta.
Oleh karena itu
di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan
diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (tafsir QS An Nisaa’, 4: 59) dan
bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifatsebaliknya
maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati (dalam ayat di atas, sebenarnya juga disebutkan bahwa syarat taat
pada pemimpin adalahmu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atau tidak, dimana
cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam jika terjadi perbedaan pendapat atau pun
perselisihan).
Sehingga pemimpin yang memiliki sifat demikian maka ia
sebenarnya telah menjadi pewaris nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang wajib
ditaati, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang
taat kepadaku, maka sama dengan taat kepada Allah, dan barangsiapa yang tidak
taat kepadaku maka ia sama dengan tidak taat kepada Allah, barangsiapa yang
taat kepada pemimpin (yang sesuai dengan syariat) maka ia sama dengan taat
kepadaku dan barangsiapa yang tidak taat kepada pemimpin (yang sesuai dengan
syariat) maka ia sama dengan tidak taat kepadaku.”
Dan ketaatan
kepada pemimpin yang adil dan menjalankan syariat adalah wajib, barangsiapa
yang keluar dari ketaatan atas pemimpin yang demikian maka ia akan bertemu
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada Hari Kiamat nanti tanpa punya alasan apapun
untuk membela dirinya. Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan
kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati,
sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan
buah-buah anggur (saking hitamnya). Islam oleh karenanya tidakmembeda-bedakan
warna kulit, ras atau pun bahasa dalam masalah kepemimpinan, yang dinilai
adalah ketaqwaannya dalam menjalankan aturan dan syariat Allah dan kemampuannya
memimpin.
Dan bagi mereka yang meremehkan pemimpin yang adil dan menghinanya, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menghina dan meremehkannya.
Seorang
pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakilwakil dan menteri-menteri
yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik akan mengangkat atau memilih
wakil dan menteri yang merupakan para musuh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti
para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing (QS Al Mumtahanah,
60: 1). Karena tidak ada gunanya berpura-pura membela Islam atau seolah-olah
tiba-tiba menjadi Muslim yang sangat taat, karena kaum Muslimin yang cerdas
akan bisa menilai siapa saja teman-teman mereka dahulunya, dan siapa
orang-orang yang dekat dengan kelompok-kelompok mereka (sebelum ada maunya),
atau bagaimana sikap mereka terhadap para ulama serta hukum syariat.
Benarlah
pernyataan pemimpin abadi kita Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa,
maka Ia akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika
ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu
dibantu/didorong. Dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki keburukan
kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya para menteri yang
jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka
tidak didorong/dibantu.”
Hadits Riwayat: 1. Bukhari,
juz-XIII/112-113. 2. Muslim, juz III/1460, hadits no.21-22.
From Max Weber: Essay in
Sociology (1946), London, Routledge & Kegan Paul, edited by H.H Gerth &
C.W. Mills.
HR. Bukhari II/317 juga
XIII/100; dan Muslim no. 1829; dan Abu Daud no. 2928.
HR. Muslim no. 1828.
HR. Abu Daud no. 2948;
Tirmidzi no. 1332; Al Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih
karena ada syahid dari hadits Muadz Radhiyallahu ‘Anh yang diriwayatkan oleh
Ahmad V/238-239; demikian pula menurut Albani dalam Ash Shahihah no. 629.
HR. Bukari II/119 dan 124;
Muslim no. 1031.
HR. Muslim no. 1827; Nasa’i
VIII/221; Ahmad II/160.
HR. Muslim no. 1855.
HR. Muslim no. 2865.
HR. Bukhari XIII/109;
Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160.
HR. Bukhari XIII/99; Muslim
no. 1835; Nasa’i VII/154.
HR. Muslim no. 1851.
HR. Bukhari XIII/108.
HR. Tirmidzi no. 2225 dan
ia berkata hasan dan disepakati oleh Imam Al Mundziri; Ahmad V/42;
Thayalisi II/167.
HR. Abu Daud no. 2932,
dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasa’i VII/159 dengan sanad
yang shahih.
Hadits Riwayat:
1. Bukhari, juz-XIII/112-113. 2. Muslim, juz III/1460, hadits no.21-22.
From Max Weber: Essay in
Sociology (1946), London, Routledge & Kegan Paul, edited by H.H Gerth &
C.W. Mills.
HR. Bukhari II/317 juga
XIII/100; dan Muslim no. 1829; dan Abu Daud no. 2928.
HR. Muslim no. 1828.
HR. Abu Daud no. 2948;
Tirmidzi no. 1332; Al Hakim IV/93-94; menurut Imam al-Mundziri sanad-nya shahih
karena ada syahid dari hadits Muadz Radhiyallahu ‘Anh yang diriwayatkan oleh
Ahmad V/238-239; demikian pula menurut Albani dalam Ash Shahihah no. 629.
HR. Bukari II/119 dan 124;
Muslim no. 1031.
HR. Muslim no. 1827; Nasa’i
VIII/221; Ahmad II/160.
HR. Muslim no. 1855.
HR. Muslim no. 2865.
HR. Bukhari XIII/109;
Muslim no. 1839; Abu Daud no. 2626; Tirmidzi no. 1707; Nasa’i VII/160.
HR. Bukhari XIII/99; Muslim
no. 1835; Nasa’i VII/154.
HR. Muslim no. 1851.
HR. Bukhari XIII/108.
HR. Tirmidzi no. 2225 dan
ia berkata hasan dan disepakati oleh Imam Al Mundziri; Ahmad V/42;
Thayalisi II/167.
HR. Abu Daud no. 2932,
dengan sanad yang baik menurut syarat Muslim; juga Nasa’i VII/159 dengan sanad
yang shahih.
posted by @Adimin
Post a Comment