Home » » Boikot Pemimpin Dramaturgis

Boikot Pemimpin Dramaturgis

Written By @Adimin on 24 May, 2013 | May 24, 2013


Mengapa judul ini saya tertarik untuk menulisnya? Tentu hal ini berangkat dari sebuah kegelisahan saya atas sebuah realitas kekinian yang terjadi ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat kita dan ini sungguh memuakkan. Realitas kekinian apakah itu? Tentu dengan menjamurnya orang-orang yang mau memimpin atau sedang memimpin bangsa ini, akan tetapi tidak pandai memimpin karena memang tidak mempunyai kapabilitas untuk mempimpin, sehingga ini menjadi momok yang akan menghancurkan masa depan bangsa ini ke depan. Oleh karena itu, perlu persatuan dan kesatuan masyarakat untuk meng- hentikan fenomena ini.

Peran seorang pemimpin sangat penting didalam sebuah kehidupan bermasyarakat. Dalam semua lini kehidupan, baik dalam sistem bernegara, sebuah institusi perusahaan, sebuah organisasi, dan lain sebagainya, mengharuskan kehadiran seorang pemimpin. Apa jadinya jika tidak ada orang yang menjadi pemimpin, maka tentu akan terjadi kekacauan sistem dan tata aturan. Karena setiap orang akan seenaknya saja saling mengatur tanpa keteraturan. 

Oleh karena itu, setiap lembaga tersebut perlu melakukan proses pemilihan pemimpin. Dalam bidang pemerintahan, pemimpin di sini tidak dipahami hanya sebagai seorang pimpinan tertinggi dari sebuah lembaga, akan tetapi setiap orang yang punya peran penting untuk mengambil suatu keputusan bagi khalayak ramai. Di Indonesia, ada 3 lembaga yang sering kita sebut sebagai markasnya para pemimpin, yakni orang-orang yang ada di lembaga Eksekutif (mulai dari Presiden hingga pak kades), lembaga Legislatif (MPR, DPR, DPD) dan juga lembaga Yudikatif. Mereka semua pemimpin bagi masyarakat.

Setiap warga negara mempunyai hak untuk menduduki posisi tersebut, selagi syarat administratif dan ketentuan terpenuhi. Di sebuah negara demokrasi, syarat untuk menjadi pemimpin pada lembaga formal seperti diatas sangat dipersempit. Ia diatur sedemikian rupa dengan ukuran-ukuran yang telah baku. Misalnya, untuk menjadi Hakim, minimal dari segi pendidikan harus strata satu, dan sebagainya. Sehingga, jika seorang tidak memenuhi syarat administratif yang baku tersebut jangan harap untuk menduduki posisi tersebut, walaupun secara integritas dan kapabilitas ia sangat mumpuni.

Salah satu peluang di negara demokrasi adalah adanya kebebasan dalam berkompetisi. Setiap orang yang memenuhi syarat administratif untuk menduduki jabatan tertentu, maka ia sah-sah saja untuk mengajukan dirinya tanpa ada yang berhak melarang. Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh, sistem demokrasi juga menimbulkan permasalahan yang cukup pelik. Dengan adanya kebebasan tersebut, maka setiap orang berlomba-lomba mendaftarkan diri untuk menjadi pemimpin -tanpa sadar akan integritas dan kapabilitasnya- sehingga melahirkan pemimpin yang tidak dapat memimpin dengan baik. Bahkan cenderung menipu dan membodohi orang-orang yang dipimpinnya.

Ternyata tidak semua orang dapat menjadi pemimpin. Pemimpin yang dimaksud disini adalah pemimpin yang mahir memimpin. Karena banyak orang yang bisa kalau hanya menjadi “pemimpin”, akan tetapi sedikit sekali orang yang pandai dalam “memimpin”. Oleh karena itu perlu kepekaan dan kecermatan bagi pemilihnya.

Makna dari simbol pemimpin itu sebenarnya adalah mewakili orang-orang yang dipimpinnya dalam rangka mengelola sumber daya yang ada. Dengan ditunjuknya seseorang menjadi seorang pemimpin, maka pada dasarnya ia mendapatkan amanah/perintah dari orang-orang yang dipimpinnya untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang dimiliki bersama, untuk digunakan secara bersama-sama agar tercapai tujuan bersama pula. Apa itu tujuan bersama? Tujuan bersama itu pastilah hal-hal yang positif. Karena di manapun kelompok masyarakat di dunia ini tentu menginginkan kehidupan yang berkeadilan, berkemakmuran dan berkesejahteraan.

Lalu apa itu pemimpin dramaturgis? Kenapa pula ia harus diboikot? Saya rasa moment untuk menyuarakan pendapat ini adalah saat yang tepat. Karena tahun ini adalah tahun politik, yang mana masing-masing orang/partai mulai menyiapkan diri untuk menghadapi pemilihan pemimpin bangsa ini 5 tahun kedepan secara besar-besaran pada tahun 2014 nanti. Saya berharap juga bahwa pemilu pada 2014 ini nanti adalah tahun perubahan untuk bangsa ini dengan cara memilih para pemimpin yang bersih, peduli, dan merakyat serta betul-betul mempunyai kapasitas dan integritas untuk memimpin bangsa ini.

Konsep dramaturgis ini merupakan konsep dalam sosiologi. Konsep ini diambil berhubung penulis juga merupakan warga dari disiplin sosiologi. Konsep dramaturgis ini diperkenalkan oleh seorang ahli sosiologi yang bernama Erfing Goffman yang lahir di Canada. Serang doctor lulusan Universitas Chicago. Beliau wafat pada tahun 1982 ketika sedang mengalami kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor dijurusan sosiologi Univ. Calivornia Barkeley.

Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.

Dalam mazhab di sosiologi, Goffman termasuk tokoh dari aliran paradigma definisi sosial. Paradigma ini menyatakan bahwa yang menjadi kajian sosiologi adalah individu, bukan masyarakat. Jadi teori dramaturgis sendiri menganalis tingkah individu dalam bertindak. Dalam teori dramaturgi-nya, Goffman menjelaskan bahwa kehidupan setiap manusia di dunia ini seperti pertunjukan sebuah drama. Setiap individu pasti mempunyai Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Pada front stage/ di depan publik, maka setiap orang pasti melakukan hal-hal yang menarik untuk dipuji, baik perkataannya maupun perbuatannya. Sedangkan pada back stage-nya, bisa jadi individu tersebut melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya di front stage.

Memang tidak semua asumsi teori dramaturgi Goffman penulis jelaskan secara rinci ditulisan ini. Penulis hanya mengambil intisarinya saja sesuai dengan pemahaman penulis terhadap asumsi teori itu. Lalu penulis pinjam istilah dramaturgis ini untuk mengelari para pemimpin yang penulis anggap mirip dengan apa yang dijelaskan dalam teori Goffman tersebut.

Pada level tertentu, penulis sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Goffman. Akan tetapi tentu tidak semua apa yang dikatakan teori ini benar adanya. Salah satu contoh misalnya, seorang yang melakukan sholat berjama’ah dimasjid. Menurut teori ini, bahwa orang itu hanya ingin dipuji, dan sebenarya ia tidak seperti itu di kesehariannya. Atau sesorang bersedkah di depan umum. Pendek kata, menurut teori ini semua apa yang individu lakukan di front stage, pasti berbeda dengan back stagenya. Padahal tidak semua individu demikian, banyak juga orang-orang yang betul-betul jujur, konsisten dalam berbuat baik di front stage maupun back stage-nya.

Akan tetapi, jika melihat sistem kepemimpinan dalam pemerintahan bangsa kita saat ini, saya mengapresiasi atas sumbangan teori ini. Mengapa demikian? Karena saya melihat banyak pemimpin –walaupun banyak juga yang tidak- yang menjadi pemimpin dramaturgis saat ini, yang mana tidak sesuai apa yang ia katakan dan apa yang ia perbuat. Untuk mendukung argumen tersebut, maka penulis mengemukakan data yang diperoleh dari beberapa situs berikut ini :
  • Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 24 kepala daerah terjerat kasus korupsi sepanjang 2012 (www.suaramerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
  • Selain kepala daerah, ICW juga mencatat ada 25 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi 2012 (www.suaramerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
  • Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Jumlah itu mereka yakini akan membengkak hingga 300 akhir tahun ini (www.rakyatmerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
  • Selain dari lembaga eksekutif, dan legislatif, juga menyeret para Aparatur birokrasi yang terseret jumlahnya saat ini 1.221 orang. Yang telah berstatus tersangka 185 orang, terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang. Sedangkan yang masih saksi mencapai 46 orang,” (www.rakyatmerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
Dari segelintir data tersebut, dapat kita bayangkan betapa dramaturgisnya para pemimpin kita itu. Jika kita ikuti perkataan mereka pada saat kampanye dahulu (front stage), maka tidak ada satupun dari mereka yang terjerat ini yang menyatakan akan melakukan kejahatan. Semua yang mereka janjikan adalah mimpi-mimpi indah tentang kemajuan bangsa dan masyarakat. Akan tetapi, setelah mereka terpilih, tanpa sepengetahuan masyarakat (back stage) mereka mencuri dan merampas harta milik bersama. Dan naifnya, mereka lakukan itu berulang-ulang sebelum ketahuan oleh penegak hukum. Mereka inilah yang penulis sebut sebagai pemimpin dramaturgis, yakni mereka yang tidak konsisten antara perkataan dan perbuatan. Mereka bermain sandiwara di front stage dan back stage.

Untuk lebih jelasnya, penulis akan coba paparkan beberapa indikasi ataupun ciri yang dapat kita lihat dari seorang pemimpin dramaturgis. Pertama, pemimpin dramaturgis memiliki ciri yakni banyak bicara sedikit kerja. Dimanapun dan kapanpun, ia sedikit-sedikit bicara (bukan bicara sedikit-sedikit), sedikit-sedikit memerintah, sedikit-sedikit berceloteh (di televisi atau media cetak), sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk bicara saja tanpa ada kerja yang nyata. Padahal pemimpin sejati itu tidak harus banyak bicara, akan tetapi lebih banyak meluangkan waktu untuk mendengar serta lebih banyak bekerja.

Kedua, pemimpin dramaturgis adalah pemimpin yang lebih berorientasi pada popularitas daripada integritas. Inginnya selalu dipuji dan dipuja oleh setiap orang, walaupun cara-cara yang ditempuh mengorbankan integritas. Kita bisa ambil contoh misalnya, seorang pemimpin yang hobi memberikan bantuan kemana-mana, agar terlihat dermawan, dan kadangkala tidak lupa menghubungi media agar ikut peliputan juga. Padahal dana-dana yang dipakai tidak jelas sumbernya, atau sebenarnya uang itu milik negara, akan tetapi sering diklaim sebagai dana pribadi. 

Ketiga, pemimpin dramaturgis biasanya lebih suka kampanye lewat foto daripada ketemu langsung dengan masyarakat. Beribu poster, famflet ataupun baliho ditebar dan dipasang ke setiap pelosok. Kadangkala banyak masyarakat bertanya, bagaimana wajah yang aslinya. Karena kalau melihat wajah yang ada digambar, luar biasa mulusnya (bahkan tanpa bintik hitam sedikitpun) dan begitu mempesona dengan atribut kopiah dan selendang sebagai lambang kesucian. Padahal belum tentu demikian kondisi aslinya. Secara tidak langsung, jika ini terjadi, merupakan sebuah penipuan juga namanya, yakni penipuan lewat gambar. Dari awal kampanye saja sudah kelihatan tidak jujurnya. Bagaimana kalau nantinya sudah terpilih?

Keempat, ciri berikutnya adalah kemunculannya tiba-tiba, layaknya sebagai “dewa penolong”. Biasanya ia mulai tampak ke publik hanya mendekati moment pilkada saja (jika kalah maka akan hilang lagi). Saat ini sangat banyak kita lihat bagaimana kemunculan orang-orang baru saat mendekati proses pilkada. Sering kita dibuat bingung tentang siapa mereka, darimana asal usul mereka, dan apa tujuan mereka. Memang tidak ada salahnya ketika mereka ingin ikut sebuah pesta demokrasi, toh mereka juga anak bangsa. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan bagi kita adalah, kemana mereka selama ini? Apa yang telah mereka perbuat terhadap masyarakat? Kadang-kadang yang juga membingungkan kita adalah ketika mendekati moment pilkada, muncul wajah-wajah mereka diberbagai media, diikuti pula oleh berbagai cercaan mereka terhadap kelemahan dan kekurangan pemerintah yang berkuasa. Padahal selama ini mereka diam -entah bersemedi atau bersembunyi- tanpa ikut menawarkan solusi kepada pemerintah.

Penulis rasa cukup dengan beberapa indikator tersebut untuk meng- gambarkan pemimpin dramaturgis, karena penulis berkeyakinan kita semua telah tau ciri-ciri mereka sebenarnya. Ciri-ciri ini dibuat berdasarkan analisa penulis saja. Oleh karena itu bagi yang bersepakat alhamdulillah, kalaupun tidak maka silahkan saja.

Sebagai sesama anak bangsa, perbuatan mereka sungguh menyakitkan hati kita. Tentu kejadian ini jangan terulang kembali! Cukup sudah penderitaan rakyat. Kita harus jeli dalam menilai dan memilih pemimpin kita kedepan. Saat ini moment yang tepat bagi kita untuk melakukan perubahan. Boikot pemimpin dramaturgis!

Tahun 2014 tinggal hitungan bulan. Saat ini semua partai sibuk melakukan penyeleksian bagi orang-orang yang mau mencalonkan diri menjadi para pemimpin bangsa ini. Tidak hanya di DPR, juga disemua lembaga negara, semua orang ingin mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin negeri ini. 

Terkhusus untuk kota padang, pesta rakyat lima tahunan akan segera tiba. Masing-masing kandidat mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan. Genderang perang siap ditabuh. Rakyat mulai dijajahi dengan berbagai macam dagangan politik. Setiap pedagang melakukan berbagai macam trik dan ragam untuk mempengaruhi selera konsumen. 

Mari kita awasi orang-orang tersebut. Cermati track recordnya. Jangan sampai kita tertipu lagi. Pilihlah pemimpin yang yang benar-benar baik dan pandai dalam memimpin di antara mereka. Bagaimana mereka yang baik dan pandai tersebut? Mereka adalah bukan pemimpin dramaturgis. Masih banyak pemimpin sejati di negeri ini. Jangan pilih hanya karena saudara apalagi karena rupiah. Boikot pemimpin dramaturgis!. (*)

Sepri Yunarman 
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Unand


posted by @Pengusaha Sukses Bengkulu
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Web | PKS Padang | Mas Temp
Copyright © 2011. PKS KOTA PADANG - All Rights Reserved
Template Created by PKS Padang Published by Mas Temp
Proudly powered by Blogger