Mengapa judul ini saya tertarik untuk menulisnya? Tentu
hal ini berangkat dari sebuah kegelisahan saya atas sebuah realitas kekinian
yang terjadi ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat kita dan ini sungguh
memuakkan. Realitas kekinian apakah itu? Tentu dengan menjamurnya orang-orang
yang mau memimpin atau sedang memimpin bangsa ini, akan tetapi tidak pandai
memimpin karena memang tidak mempunyai kapabilitas untuk mempimpin, sehingga
ini menjadi momok yang akan menghancurkan masa depan bangsa ini ke depan. Oleh
karena itu, perlu persatuan dan kesatuan masyarakat untuk meng- hentikan fenomena
ini.
Peran seorang pemimpin sangat penting didalam sebuah
kehidupan bermasyarakat. Dalam semua lini kehidupan, baik dalam sistem
bernegara, sebuah institusi perusahaan, sebuah organisasi, dan lain sebagainya,
mengharuskan kehadiran seorang pemimpin. Apa jadinya jika tidak ada orang yang
menjadi pemimpin, maka tentu akan terjadi kekacauan sistem dan tata aturan.
Karena setiap orang akan seenaknya saja saling mengatur tanpa keteraturan.
Oleh
karena itu, setiap lembaga tersebut perlu melakukan proses pemilihan pemimpin. Dalam bidang pemerintahan, pemimpin di sini tidak
dipahami hanya sebagai seorang pimpinan tertinggi dari sebuah lembaga, akan
tetapi setiap orang yang punya peran penting untuk mengambil suatu keputusan
bagi khalayak ramai. Di Indonesia, ada 3 lembaga yang sering kita sebut sebagai
markasnya para pemimpin, yakni orang-orang yang ada di lembaga Eksekutif (mulai
dari Presiden hingga pak kades), lembaga Legislatif (MPR, DPR, DPD) dan juga
lembaga Yudikatif. Mereka semua pemimpin bagi masyarakat.
Setiap warga negara mempunyai hak untuk menduduki posisi
tersebut, selagi syarat administratif dan ketentuan terpenuhi. Di sebuah negara
demokrasi, syarat untuk menjadi pemimpin pada lembaga formal seperti diatas
sangat dipersempit. Ia diatur sedemikian rupa dengan ukuran-ukuran yang telah
baku. Misalnya, untuk menjadi Hakim, minimal dari segi pendidikan harus strata
satu, dan sebagainya. Sehingga, jika seorang tidak memenuhi syarat
administratif yang baku tersebut jangan harap untuk menduduki posisi tersebut,
walaupun secara integritas dan kapabilitas ia sangat mumpuni.
Salah satu peluang di negara demokrasi adalah adanya
kebebasan dalam berkompetisi. Setiap orang yang memenuhi syarat administratif
untuk menduduki jabatan tertentu, maka ia sah-sah saja untuk mengajukan dirinya
tanpa ada yang berhak melarang. Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh, sistem
demokrasi juga menimbulkan permasalahan yang cukup pelik. Dengan adanya
kebebasan tersebut, maka setiap orang berlomba-lomba mendaftarkan diri untuk
menjadi pemimpin -tanpa sadar akan integritas dan kapabilitasnya- sehingga
melahirkan pemimpin yang tidak dapat memimpin dengan baik. Bahkan cenderung
menipu dan membodohi orang-orang yang dipimpinnya.
Ternyata tidak semua orang dapat menjadi pemimpin.
Pemimpin yang dimaksud disini adalah pemimpin yang mahir memimpin. Karena
banyak orang yang bisa kalau hanya menjadi “pemimpin”, akan tetapi sedikit
sekali orang yang pandai dalam “memimpin”. Oleh karena itu perlu kepekaan dan
kecermatan bagi pemilihnya.
Makna dari simbol pemimpin itu sebenarnya adalah mewakili
orang-orang yang dipimpinnya dalam rangka mengelola sumber daya yang ada.
Dengan ditunjuknya seseorang menjadi seorang pemimpin, maka pada dasarnya ia
mendapatkan amanah/perintah dari orang-orang yang dipimpinnya untuk mengatur
dan mengelola sumber daya yang dimiliki bersama, untuk digunakan secara
bersama-sama agar tercapai tujuan bersama pula. Apa itu tujuan bersama? Tujuan
bersama itu pastilah hal-hal yang positif. Karena di manapun kelompok
masyarakat di dunia ini tentu menginginkan kehidupan yang berkeadilan,
berkemakmuran dan berkesejahteraan.
Lalu apa itu pemimpin dramaturgis? Kenapa pula ia harus
diboikot? Saya rasa moment untuk menyuarakan pendapat ini adalah saat yang
tepat. Karena tahun ini adalah tahun politik, yang mana masing-masing
orang/partai mulai menyiapkan diri untuk menghadapi pemilihan pemimpin bangsa
ini 5 tahun kedepan secara besar-besaran pada tahun 2014 nanti. Saya berharap
juga bahwa pemilu pada 2014 ini nanti adalah tahun perubahan untuk bangsa ini
dengan cara memilih para pemimpin yang bersih, peduli, dan merakyat serta
betul-betul mempunyai kapasitas dan integritas untuk memimpin bangsa ini.
Konsep dramaturgis ini merupakan konsep dalam sosiologi.
Konsep ini diambil berhubung penulis juga merupakan warga dari disiplin
sosiologi. Konsep dramaturgis ini diperkenalkan oleh seorang ahli sosiologi
yang bernama Erfing Goffman yang lahir di Canada. Serang doctor lulusan
Universitas Chicago. Beliau wafat pada tahun 1982 ketika sedang mengalami
kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor dijurusan
sosiologi Univ. Calivornia Barkeley.
Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori
dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan
tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan
sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah
Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi
diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang
lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut
dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dalam mazhab di sosiologi, Goffman termasuk tokoh dari
aliran paradigma definisi sosial. Paradigma ini menyatakan bahwa yang menjadi
kajian sosiologi adalah individu, bukan masyarakat. Jadi teori dramaturgis
sendiri menganalis tingkah individu dalam bertindak. Dalam teori
dramaturgi-nya, Goffman menjelaskan bahwa kehidupan setiap manusia di dunia ini
seperti pertunjukan sebuah drama. Setiap individu pasti mempunyai Front
stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung
belakang). Pada front stage/ di depan publik, maka setiap orang pasti
melakukan hal-hal yang menarik untuk dipuji, baik perkataannya maupun
perbuatannya. Sedangkan pada back stage-nya, bisa jadi individu tersebut
melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya di front
stage.
Memang tidak semua asumsi teori dramaturgi Goffman
penulis jelaskan secara rinci ditulisan ini. Penulis hanya mengambil
intisarinya saja sesuai dengan pemahaman penulis terhadap asumsi teori itu.
Lalu penulis pinjam istilah dramaturgis ini untuk mengelari para pemimpin yang
penulis anggap mirip dengan apa yang dijelaskan dalam teori Goffman tersebut.
Pada level tertentu, penulis sepakat dengan apa yang
disampaikan oleh Goffman. Akan tetapi tentu tidak semua apa yang dikatakan
teori ini benar adanya. Salah satu contoh misalnya, seorang yang melakukan
sholat berjama’ah dimasjid. Menurut teori ini, bahwa orang itu hanya ingin
dipuji, dan sebenarya ia tidak seperti itu di kesehariannya. Atau sesorang
bersedkah di depan umum. Pendek kata, menurut teori ini semua apa yang individu
lakukan di front stage, pasti berbeda dengan back stagenya. Padahal tidak semua
individu demikian, banyak juga orang-orang yang betul-betul jujur, konsisten
dalam berbuat baik di front stage maupun back stage-nya.
Akan tetapi, jika melihat sistem kepemimpinan dalam
pemerintahan bangsa kita saat ini, saya mengapresiasi atas sumbangan teori ini.
Mengapa demikian? Karena saya melihat banyak pemimpin –walaupun banyak juga
yang tidak- yang menjadi pemimpin dramaturgis saat ini, yang mana tidak sesuai
apa yang ia katakan dan apa yang ia perbuat. Untuk mendukung argumen tersebut,
maka penulis mengemukakan data yang diperoleh dari beberapa situs berikut ini :
- Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 24 kepala daerah terjerat kasus korupsi sepanjang 2012 (www.suaramerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
- Selain kepala daerah, ICW juga mencatat ada 25 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi 2012 (www.suaramerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
- Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Jumlah itu mereka yakini akan membengkak hingga 300 akhir tahun ini (www.rakyatmerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
- Selain dari lembaga eksekutif, dan legislatif, juga menyeret para Aparatur birokrasi yang terseret jumlahnya saat ini 1.221 orang. Yang telah berstatus tersangka 185 orang, terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang. Sedangkan yang masih saksi mencapai 46 orang,” (www.rakyatmerdeka.com, diakses pada 07/03/2013)
Dari segelintir data tersebut, dapat kita bayangkan
betapa dramaturgisnya para pemimpin kita itu. Jika kita ikuti perkataan mereka
pada saat kampanye dahulu (front stage), maka tidak ada satupun dari mereka
yang terjerat ini yang menyatakan akan melakukan kejahatan. Semua yang mereka
janjikan adalah mimpi-mimpi indah tentang kemajuan bangsa dan masyarakat. Akan
tetapi, setelah mereka terpilih, tanpa sepengetahuan masyarakat (back stage)
mereka mencuri dan merampas harta milik bersama. Dan naifnya, mereka lakukan
itu berulang-ulang sebelum ketahuan oleh penegak hukum. Mereka inilah yang
penulis sebut sebagai pemimpin dramaturgis, yakni mereka yang tidak konsisten
antara perkataan dan perbuatan. Mereka bermain sandiwara di front stage dan
back stage.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan coba paparkan beberapa
indikasi ataupun ciri yang dapat kita lihat dari seorang pemimpin dramaturgis. Pertama,
pemimpin dramaturgis memiliki ciri yakni banyak bicara sedikit kerja. Dimanapun
dan kapanpun, ia sedikit-sedikit bicara (bukan bicara sedikit-sedikit),
sedikit-sedikit memerintah, sedikit-sedikit berceloteh (di televisi atau media
cetak), sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk bicara saja tanpa ada kerja
yang nyata. Padahal pemimpin sejati itu tidak harus banyak bicara, akan tetapi
lebih banyak meluangkan waktu untuk mendengar serta lebih banyak bekerja.
Kedua, pemimpin dramaturgis adalah pemimpin yang lebih
berorientasi pada popularitas daripada integritas. Inginnya selalu dipuji dan
dipuja oleh setiap orang, walaupun cara-cara yang ditempuh mengorbankan
integritas. Kita bisa ambil contoh misalnya, seorang pemimpin yang hobi
memberikan bantuan kemana-mana, agar terlihat dermawan, dan kadangkala tidak
lupa menghubungi media agar ikut peliputan juga. Padahal dana-dana yang dipakai
tidak jelas sumbernya, atau sebenarnya uang itu milik negara, akan tetapi
sering diklaim sebagai dana pribadi.
Ketiga, pemimpin dramaturgis biasanya lebih suka kampanye lewat
foto daripada ketemu langsung dengan masyarakat. Beribu poster, famflet ataupun
baliho ditebar dan dipasang ke setiap pelosok. Kadangkala banyak masyarakat
bertanya, bagaimana wajah yang aslinya. Karena kalau melihat wajah yang ada
digambar, luar biasa mulusnya (bahkan tanpa bintik hitam sedikitpun) dan begitu
mempesona dengan atribut kopiah dan selendang sebagai lambang kesucian. Padahal
belum tentu demikian kondisi aslinya. Secara tidak langsung, jika ini terjadi,
merupakan sebuah penipuan juga namanya, yakni penipuan lewat gambar. Dari awal
kampanye saja sudah kelihatan tidak jujurnya. Bagaimana kalau nantinya sudah
terpilih?
Keempat, ciri berikutnya adalah kemunculannya tiba-tiba,
layaknya sebagai “dewa penolong”. Biasanya ia mulai tampak ke publik hanya
mendekati moment pilkada saja (jika kalah maka akan hilang lagi). Saat ini
sangat banyak kita lihat bagaimana kemunculan orang-orang baru saat mendekati
proses pilkada. Sering kita dibuat bingung tentang siapa mereka, darimana asal
usul mereka, dan apa tujuan mereka. Memang tidak ada salahnya ketika mereka
ingin ikut sebuah pesta demokrasi, toh mereka juga anak bangsa. Akan tetapi,
yang menjadi permasalahan bagi kita adalah, kemana mereka selama ini? Apa yang
telah mereka perbuat terhadap masyarakat? Kadang-kadang yang juga membingungkan
kita adalah ketika mendekati moment pilkada, muncul wajah-wajah mereka
diberbagai media, diikuti pula oleh berbagai cercaan mereka terhadap kelemahan
dan kekurangan pemerintah yang berkuasa. Padahal selama ini mereka diam -entah
bersemedi atau bersembunyi- tanpa ikut menawarkan solusi kepada pemerintah.
Penulis rasa cukup dengan beberapa indikator tersebut
untuk meng- gambarkan pemimpin dramaturgis, karena
penulis berkeyakinan kita semua telah tau ciri-ciri mereka sebenarnya.
Ciri-ciri ini dibuat berdasarkan analisa penulis saja. Oleh karena itu bagi
yang bersepakat alhamdulillah, kalaupun tidak maka silahkan saja.
Sebagai sesama anak bangsa, perbuatan mereka sungguh
menyakitkan hati kita. Tentu kejadian ini jangan terulang kembali! Cukup sudah
penderitaan rakyat. Kita harus jeli dalam menilai dan memilih pemimpin kita
kedepan. Saat ini moment yang tepat bagi kita untuk melakukan perubahan. Boikot
pemimpin dramaturgis!
Tahun 2014 tinggal hitungan bulan. Saat ini semua partai
sibuk melakukan penyeleksian bagi orang-orang yang mau mencalonkan diri menjadi
para pemimpin bangsa ini. Tidak hanya di DPR, juga disemua lembaga negara, semua
orang ingin mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin negeri ini.
Terkhusus untuk kota padang, pesta rakyat lima tahunan
akan segera tiba. Masing-masing kandidat mulai bermunculan bak jamur dimusim
hujan. Genderang perang siap ditabuh. Rakyat mulai dijajahi dengan berbagai
macam dagangan politik. Setiap pedagang melakukan berbagai macam trik dan ragam
untuk mempengaruhi selera konsumen.
Mari kita awasi orang-orang tersebut. Cermati track
recordnya. Jangan sampai kita tertipu lagi. Pilihlah pemimpin yang yang
benar-benar baik dan pandai dalam memimpin di antara mereka. Bagaimana mereka
yang baik dan pandai tersebut? Mereka adalah bukan pemimpin dramaturgis. Masih
banyak pemimpin sejati di negeri ini. Jangan pilih hanya karena saudara apalagi
karena rupiah. Boikot pemimpin dramaturgis!. (*)
Sepri
Yunarman
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Unand
Post a Comment