Masyumi dan Kesederhanaan Hidup
Sesungguhnya kita tidak perlu merasa heran dengan sikap para tokoh
Masyumi yang anti korupsi. Karena sikap itu telah ditunjukkan oleh
paratokohnya dengan kasat mata dalam kesehariannya. Mereka adalah
pemimpin yang seringkali dikenal hidup sederhana dan taat beragama. Jika
kita menilik kembali pada saat Masyumi beserta tokoh-tokohnya, umumnya
kita akan mendapatkan kesan kehidupan mereka yang jauh dari kemewahan.
Meskipun memegang jabatan tinggi di pemerintahan, hidup mereka tak
lekat dengan gelimang harta. Sebut saja kisah kesederhanaan M. Natsir,
yang diakui oleh Indonesianis, George McTurnan Kahin.
Nama Natsir dikenal oleh Kahin, lewat H. Agus Salim. Beliau (H. Agus
Salim) merekomendasikan nama Natsir sebagai narasumber untuk Republik.
“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang Menteri. Namun demikian
dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau anda
hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam Republik, anda seharusnya
bicara dengannya,” jelas H. Agus salim.
Kahin membuktikan dengan matanya sendiri, ia melihat Natsir sebagai
Menteri Penerangan, berdinas dengan kemeja bertambal. Sesuatu yang belum
pernah Kahin lihat di menteri pemerintahan manapun. Muhammad Natsir. [70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan. (Buku Peringatan Mohammad Natsir / Mohamad Roem 70 Tahun), Pustaka Antara. 1978. Jakarta].
Bahkan ketika menjabat sebagai Perdana Menteri pun, Natsir tak mampu
membeli rumah untuk keluarganya. Hidupnya selalu di isi dengan kisah
pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.
Kisah kesederhanaan Natsir terus berlanjut, tahun 1956, ketika telah
berhenti menjadi Perdana Menteri dan menjadi pemimpin partai Masyumi,
Natsir pernah akan diberikan mobil oleh seseorang dari Medan. Ia
ditawari Chevrolet Impala, sebuah mobil ‘wah’, yang sudah diparkir
didepan rumahnya. Namun Natsir menolaknya. Padahal saat itu mobil Natsir
hanya mobil kusam merek DeSoto.
(Politik Santun Diantara Dua Rezim. Majalah Tempo. 20 Juli 2008)
Jabatan yang tinggi menghindarkan mereka dari penyalahgunaan amanah.
Hal ini berlaku juga pada Sjafrudin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi
yang kental dengan dunia ekonomi. Tahun 1951, setelah menjabat sebagai
Menteri Keuangan, Sjafruddin ingin terjun di sektor swasta. Nafkahnya
sebagai menteri, sangat pas-pasan, bahkan kurang.
Bagi menteri Sjafruddin, haram baginya menyalahgunakan kekuasaan,
termasuk sambil berbisnis ketika menjabat, atau menerima komisi.Setelah
tak menjabat, ketika itu datang tawaran untuk menjadi Presiden De Javasche Bank (kemudian dikenal dengan Bank Indonesia). Tawaran ini diberikan langsung oleh salah seorang direksinya, Paul Spies.
Sjafruddin menolaknya, dengan berbagai alasan, termasuk keinginannya mendapatkan penghasilan lebih. Ia merasa De Javasche Bank,
yang akan dinasionalisasi oleh pemerintah, pasti akan turut mengalami
penurunan gaji. Ia merasa keberatan karena harus mendapatkan
penghasilan pas-pasan, seperti menjadi menteri dahulu. Namun justru
prinsip kejujuran inilah yang dicari oleh Paul Spies. Hingga akhirnya
pemerintah menyetujui tak akan menurunkan gajinya. Akhirnya jabatan itu
pun diterimanya.
Gejala lain dari hidup para tokoh ini adalah, kondisi mereka serupa
saja, baik saat sebelum menjabat, saat menjabat, atau pun setelah
menjabat. Tetap sederhana. Hidup mereka hanya mengandalkan gaji saat
menjadi pejabat. Hidup para tokoh Masyumi yang sederhana semakin
terlihat tatkala mereka ramai-ramai dipenjara oleh rezim Soekarno, tentu
saja bukan karena tuduhan korupsi. Tetapi melawan pemerintahan. Ketika
masing-masing masuk bui, para istri mereka yang mengambil alih posisi
mencari nafkah. Tak ada tabungan, atau harta melimpah yang disimpan
suami mereka. Isteri dari Buya Hamka merasakan betul keadaan itu.
Semenjak Buya Hamka di tahan, ia sering berkunjung ke pegadaian.
Seringkali perhiasannya tak dapat lagi ditebus. Nasib serupa dialami
Ibu Lily, istri dari Sjafruddin Prawiranegara, hidup menumpang di rumah
kerabat danmenjual perhiasan. Rumah mereka yang dibeli dengan mencicil
ke De Javasche Bank, pun turut di sita.
Kisah-kisah para tokoh Masyumi yang tak punya rumah seringkali
terdengar. Setelah bebas dari penjara, Natsir akhirnya bisa memiliki
rumah, setelah membeli rumah milik kawannya, itu pun dengan cara
mencicil dan meminjam sana-sini.
Begitu pula dengan Boerhanoeddin Harahap, ketika baru bebas, ia hidup
menumpang di rumah adiknya yang sempit, di sebuah gang kecil, di
Manggarai Selatan. Boerhanoeddin akhirnya memiliki rumah, dengan cara
mencicil rumah yang dipinjamkan seseorang di daerah Tebet, Jakarta
Selatan.
Teladan hidup sederhana ini menghindarkan mereka dari godaan hidup
mewah, dan kemungkinan tuduhan korupsi. Bagaimana mungkin akan dituduh
korupsi, jika rumah pun tak punya? Kesadaran tinggi akan amanah dan
kesalehan merekalah yang menghindarkan mereka dari gaya hidup mewah yang
seringkali memicu korupsi. Mereka lebih memilih hidup sederhana,
ketimbang hidup mewah dengan mengumbar berbagai dalil sebagai dalih.
Teringatlah kita akan pesan Buya Hamka bagi para pejabat, untuk menghindai gaya hidup mewah;
“Sejak dari kepala negara sampai kepada
menteri-menteri dan pejabat-pejabat tinggi telah ditulari oleh
kecurangan korupsi. Sehingga yang berkuasa hidup mewah dan mengumpulkan
kekayaan untuk diri sendiri, sedangkan rakyat banyak mati kelaparan,
telah kurus-kering badannya.”
Buya pun melanjutkan dengan gamblang, ketika menjelaskan surat Ali Imran ayat 161 ini dalam Tafsir Al Azhar,
“…Nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh
seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu
penguasa luarnegeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa
halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakana menurut
rasa halusiman dan Islam adalah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat
tinggi suatu negara, bahwa lebih baik bersih dari kecurigaan ummat.”
Maka cerminan dari masa lampau tak pernah bisa kita hapuskan jika
ingin melangkah. Sebaiknya para pengusung, pendukung dan terutama
partai-partai berbendera Islam, mulai memikirkan kembali amanah mereka
dan mulai bersikap hidup sederhana, menghempaskan gaya hidup bergelimang
harta-dengan berbagai dalih-, seperti yang telah ditunjukkan oleh para
pendahulu kita.*
sebelumnya masyumi dan korupsi (1)
Oleh: Beggy Rizkiyansyah
Penulis adalah pemerhati masalah sejarah
posted by @Adimin
Post a Comment