Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang terhormat Bapak Presiden RI yang baru…
Semoga Bapak Presiden dan keluarga senantiasa mendapat perlindungan
dan bimbingan Allah SWT dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Saya
menulis surat terbuka ini tepat pada 17 Agustus 2014, pagi hingga siang
hari, dari sebuah perkampungan. Mudah-mudahan surat ini merupakan bentuk
pemenuhan kewajiban saya sebagai Muslim dan rakyat Indonesia. Juga,
semoga ini merupakan upaya sekedarnya, dalam rangka mensyukuri
kemerdekaan RI ke-69 ini, karena kemerdekaan RI merupakan rahmat Allah Subhanahu Wata’ala.
Bapak Presiden yang terhormat…
Sekedar mengenang kembali sejarah kemerdekaan kita. Proklamasi
Kemerdekaan RI terjadi pada hari Jumat, 9 Ramadhan 1364 Hijriah,
bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan dikatakan
sebagai titik kulminasi perjuangan fisik dan diplomasi bangsa Indonesia
dalam meraih kemerdekaan. Selama ratusan tahun bangsa Indonesia,
terutama dipelopori oleh para ulama, telah melakukan berbagai bentuk
perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang. Penjajahan Belanda,
utamanya menjalankan politik kolonial dengan berporos kepada tiga bentuk
penjajahan, yaitu “gold, gospel, and glory”.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika para ulama Islam menjadi
motor dalam perjuangan melawan penjajah, yang dalam istilah Islam
disebut sebagai Perang Sabil. Sebagai contoh, adalah surat yang dikirim
oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani, seorang ulama terkenal asal
Palembang yang menetap di Mekkah, kepada Sultan Mangkubumi
(Hamengkubuwono I). Surat bertanggal 22 Mei 1772 itu berbunyi sebagai
berikut: “Tuhan telah menjanjikan bahwa para Sultan akan memasuki
(surga), karena keluhuran budi, kebajikan, dan keberanian mereka yang
tiada tara melawan musuh dari agama lain (sic!). Di antara mereka ini
adalah raja Jawa yang mempertahankan agama Islam dan berjaya di atas
semua raja lain, dan menonjol dalam amal dalam peperangan melawan
orang-orang agama lain (sic!).”
Dalam suratnya yang lain kepada Pangeran Paku Alam, atau
Mangkunegara, Syekh al-Palimbani juga antara lain menulis: ”Selanjutnya,
Yang Mulia hendaknya selalu ingat akan ayat al-Quran, bahwa sebuah
kelompok kecil akan mampu mencapai kemenangan melawan kekuatan besar.
Hendaklah Yang Mulia juga selalu ingat bahwa dalam al-Quran dikatakan:
”Janganlah mengira bahwa mereka yang gugur dalam perang suci itu mati”
(al-Quran 2:154, 3:169)… Alasan panji-panji ini dikirimkan kepada Anda
adalah bahwa kami di Makkah telah mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai
seorang pemimpin raja yang sejati, sangat ditakuti di medan perang.
Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh
Anda dan semua orang kafir.” (Surat al-Palimbani dikutip dari buku
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
karya Prof. Dr. Azyumardi Azra, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.
360-361).
Dalam Babad Cakranegara disebutkan bahwa Pangeran Diponegoro
menolak gelar putra mahkota dan merelakan kedudukan itu untuk adiknya,
R.M Ambyah. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan
kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku,
bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun
seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya
sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa
lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro,
jilid 1 hal. 39-40).”
Begitulah, tingginya semangat para pejuang dan pahlawan dalam melawan
penjajahan. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia melihat Proklamasi
Kemerdekaan pada 9 Ramadhan 1364 Hijriah atau 17 Agustus 1945 sebagai
suatu berkat dan rahmat dari Allah Allah Subhanahu Wata’ala,
seperti ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alenea ketiga: ”Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa” dan seterusnya. Bagi bangsa Indonesia,
kemerdekaan dipandang sebagai rahmat Allah, bukan hanya sekedar hasil
perjuangan manusia.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk sampai kepada kemerdekaan,
sejatinya telah melalui jalan yang panjang; telah dilakukan dengan
sungguh-sungguh bahkan telah mengorbankan jiwa, harta, dan segala
sesuatu yang tidak sedikit nilainya. Bahkan, perjuangan itu juga terus
disertai dengan doa, sehingga bangsa Indonesia meyakini, bahwa
Kemerdekaan adalah anugerah Allah Allah Subhanahu Wata’ala.
Karena itu, sebagai kepala negara dan pemerintahan, Bapak Presiden
memiliki tanggung jawab yang mulia untuk mengajak masyarakat kita agar
dapat mensyukuri kemerdekaan kita dengan benar, sesuai dengan tata cara
dan panduan dari Allah Allah Subhanahu Wata’ala.
Ulama besar kita, Imam al-Ghazali, sudah mengingatkan para pemimpin melalui karya monumentalnya, yaitu Kitab Ihya’ Ulumiddin:
“Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para
penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan
kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang
siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat
kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan”
(Ihya’ Ulumuddin II hal. 381). (Lihat,
http://insistnet.com/nasihat-politik-imam-al-ghazali/).
Jadi, mengikuti nasehat Imam al-Ghazali
tersebut, Bapak Presiden dan segenap jajaran pemimpin bangsa, berpotensi
besar untuk memperbaiki atau merusak masyarakat Indonesia. Namun, Imam
al-Ghazali juga mengingatkan bahwa pemimpin rusak karena tindakan para
ulama yang telah rusak, karena mereka terjebak dalam penyakit cinta
harta dan kedudukan. Bahkan, pada bagian-bagian awal Kitab Ihya’ ini,
Imam al-Ghazali banyak mengingatkan bahaya ulama yang jahat (ulama
as-su’), yang disebut sebagai “ulama dunia”.
*****
Melalui surat ini, saya juga ingin mengungkap kembali, bahwa tujuan
kemerdekaan kita telah dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945: “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Bapak Presiden,… jelas sekali negara kita berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Makna Ketuhanan Yang Maha Esa pun sudah sangat dijelaskan
oleh para pendiri bangsa dan para ulama kita, yakni “Tauhid”. Konsep
Tauhid tidak patut disejajarkan dengan ateisme atau sekulerisme. Dalam
makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat
dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan
Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq,
menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang
Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama
menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian
bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan,
sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian
tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas).
Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan
berdoa.”
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo,
Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah
Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, diantaranya: “Sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia
menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai
sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam
Islam.”
Bapak Presiden Yang Terhormat…
Semoga Bapak Presiden senantiasa diberi kekuatan oleh Allah Allah Subhanahu Wata’ala
untuk menjaga dan mengembangkan kalimah Tauhid yang Bapak yakini
sebagai seorang Muslim. Kemudian, dalam Pembukaan UUD 1945 juga
disebutkan, bahwa tujuan pembentukan negara merdeka ini adalah untuk:
“mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Bapak Presiden… Nabi kita, Nabi Muhammad saw, pernah mengabarkan,
bahwa salah satu dari tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah
pada hari Kiamat, dimana saat itu tidak ada naungan kecuali
naungan-Nya, adalah “Pemimpin yang adil”. Sila kedua Pancasila juga
menekankan pentingnya manusia Indonesia punya sifat adil dan beradab.
Bapak Presiden,… bersyukurlah kita sebagai Muslim… karena diberi
panduan yang jelas tentang makna kata “adil”. Sebagai contoh dalam
al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah
memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga
yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya.
Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).
Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil
dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang
salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya
dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu
memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri;
mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah
kawan atau keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat
dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula
pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,”
tulis Hamka.
Jadi, adil bukanlah tidak berpihak. Tidak adil, jika seorang memberi
kedudukan yang sama antara penjahat dengan polisi. Tidak adil pula orang
yang menyamakan antara yang “sesat” dengan yang “lurus”; antara yang
“berilmu” dengan yang “jahil”. Iman dan kufur tidak sama derajatnya. Pun
tidak adil jika seseorang memberi fasilitas yang sama antara pelacur
dengan perempuan yang shalihah.
Semoga Bapak Presiden termasuk dalam deretan “pemimpin yang adil”
yang dapat menjalankan amanah sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya,
sehingga nanti berhak mendapatkan perlindungan dari Allah Allah Subhanahu Wata’ala di Hari Akhir.
Terkait dengan masalah adil dan beradab, pendiri NU, KH Hasyim
Asy’ari juga menjelaskan makna adab dalam kitab beliau, Adabul Alim
wal-Muta’allim: ”Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain
menjelaskan, ”Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan
seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah (yakni dengan
membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena,
apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah.
Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan
syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum
memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan
syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada
hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman
serta bertauhid kepada Allah.
Oleh: Dr. Adian Husaini
posted by @Adimin
Post a Comment