Datanglah kala itu seseorang bersama anaknya kepada Umar bin
Khaththab. Dengan segera, sesaat selepas bertemu, ia mengadukan perihal
anaknya, “Wahai Umar, anakku ini telah berlaku durhaka kepadaku.”
Guna mengetahui duduk persoalannya, anak al-Khaththab ini bertanya
kepada sang anak, “Apakah engkau tidak takut kepada Allah Swt karena
telah durhaka kepada bapakmu, hai anak muda?” Umar menerangkan bahwa
berbakti kepada orangtua adalah hak yang layak diterimanya karena mereka
telah mengurus sang anak.
Sang anak yang merasa dituduh itu menukasi, “Wahai Amirul Mukminin,” katanya sebagaimana disebutkan dalam Tanbihul Ghafilin yang dikutip oleh Ahmad al-Habsi dalam buku Ada Surga di Rumahmu, Mukjizat Orangtua Sempurnakan Suksesmu. Lanjut anak itu, “Bukankah anak juga memiliki hak atas orangtuanya?”
Sosok yang terkenal dengan al-Faruq (Pembeda antara yang baik dan
buruk) itu menjawab singkat, “Kamu benar.” Anak itu lantas melanjutkan,
“Apa sajakah hak-hak anak atas orangtuanya itu, wahai Amirul Mukminin?”
Sahabat yang sekaligus menantu Rasulullah Saw ini pun menjelaskan.
Bahwa hak anak atas orang tuanya adalah dipilihkan ibu yang baik
baginya, diberikan nama yang bagus dan diajarkan al-Qur’an kepadanya.
Tepat seketika setelah Umar menerangkan, sang anak sudah menyiapkan
jawabannya, lugas. Kata anak itu, “Demi Allah, ayahku tidak memilihkan
ibu yang baik untukku,” lanjutnya, “Ibuku adalah seorang budak yang
dibeli di pasar dengan harga 400 dirham.” Berarti, hak pertama yang
disampaikan oleh Umar, telah dilanggar oleh ayahnya.
Tentang hak bahwa anak berhak diberikan nama yang baik, ia
melanjutkan pembelaannya, “Ia juga tidak memberikan nama yang baik
kepadaku. Dia menamaiku Ju’al.” Makna dari Ju’al adalah sejenis kumbang yang hidupnya akrab dengan kotoran hewan. Aduhai, malangnya sang anak ini.
Kemudian, tentang hak ketiganya, ia memungkasi lirih, “Dia juga tidak
mengajarkan al-Qur’an kepadaku, kecuali satu ayat saja.” Akhirnya,
semuanya jelas sudah.
Selepas pengakuan sang anak, Umar langsung menoleh kepada sang ayah,
kemudian menyampaikan, agak keras, “Kau bilang anakmu telah
mendurhakaimu?!” Hentinya sesaat, lantas melanjutkan, “Padahal, kau
telah mendurhakai anakmu sebelum ia mendurhakaimu.”
Bagi seorang anak, kisah ini adalah sebuah pengingat. Bahwa kelak, ia
juga akan menjadi orangtua. Maka, belajar amatlah penting agar tak
tergelincir karena ketiadaan ilmu. Dengan adanya ilmu, bahagia adalah
jaminan bagi seorang individu. Tentu, ini juga bukan sebuah “tiket” bagi
anak untuk menggugat orangtuanya. Sebab bisa jadi, banyak orangtua yang
tidak mengetahui, sehingga perlu diingatkan.
Bagi para orangtua, inilah ajaran yang mesti diamalkan sebelum
menuntut apa pun dari anak-anak kita. Sebab, alangkah meruginya ketika
dalam hisab kelak kita mengadu kepada Allah Swt bahwa anak-anak telah
mendurhakai kita, sementara ternyata, kita sudah terlebih dahulu
mendurhakai anak-anak kita itu
posted by @Adimin
Post a Comment